tirto.id - Sejumlah murid Sekolah Dasar (SD) 210 Bontominasa, Bulukumba, Sulawesi Tengah dilaporkan ke polisi. Mereka dilaporkan kepala sekolahnya sendiri karena diduga merusak fasilitas sekolah.
Murid-murid SD itu kemudian diperiksa penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resor Bulukumba. Setelah itu, foto mereka sedang diperiksa polisi viral di media sosial. Namun, tak jelas siapa yang menyebarkan foto tersebut.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bulukumba, AKP Bery Juana mengkonfirmasi kebenaran foto tersebut.
"Iya betul, ada kepsek yang melaporkan siswanya. Foto yang beredar adalah saat interogasi terlapor tentang perusakan yang dilakukan murid salah satu SD Negeri di Bulukumba," ujar Bery seperti diberitakan Beritabulukumba.com, Senin (21/1/2019)
Terlepas dari viralnya foto pemeriksaan itu, tindakan kepala sekolah melaporkan murid-muridnya ini mendapat kecemana dari sejumlah kalangan. Salah satunya dari Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susianah Affandi. Ia mempertanyakan seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan para murid sampai harus dilaporkan ke polisi.
Susianah justru menilai perusakan ini akibat pihak sekolah lalai mengawasi murid-muridnya. Ia menganggap masalah ini tidak tepat jika di bawa ranah hukum.
"Dalam perspektif perlindungan anak, mereka adalah korban dari lalainya orangtua, keluarga dan sekolah dalam pembinaan," ujar Susianah kepada reporter Tirto, Selasa (22/1/2019).
Tak hanya itu, Susianah juga menyayangkan ketidakpahaman kepala sekolah soal Sistem Pidana Peradilan Anak (SPPA). Sistem itu memungkinkan masalah pidana anak bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan pembinaan atau disebut diversi.
“Sanksi bagi anak-anak pelaku sebaiknya berupa sanksi disiplin positif seperti baca satu jus Al-quran dan olahraga keliling lapangan seperti zaman dulu,” ujarnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo menerangkan polisi punya dua cara dalam menghadapi kasus yang melibatkan anak sebagai terlapor. Apabila itu termasuk kasus pelanggaran pidana berat, Dedi menyebut, anak terlapor akan diproses sesuai prosedur hukum dengan perlakuan khusus terhadap anak. Namun apabila itu tindak pidana ringan, Dedi berkata polisi akan memediasi sehingga penyelesaian kasus dilakukan di luar pengadilan.
"Kalau anak-anak yang terlibat kejahatan-kejahatan ringan, maka upaya restorative justive yang dikedepankan," ujar Dedi.
Pelaksanaan Diversi Belum Maksimal
Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu sependapat dengan KPAI, kasus pidana yang melibatkan anak sebagai terlapor tidak perlu sampai ke kepolisian.
"Kalau pakai logika SPPA, tidak semua harus diproses atau dipolisikan," kata Erasmus kepada reporter Tirto.
Erasmus sepakat penyelesaian kasus dilakukan dengan cara diversi. Namun dalam pelaksanaannya, kata dia, cara diversi ini masih banyak masalah.
“Kasus pidana anak juga meski sudah berkurang namun masih banyak juga kasus yang harus bisa didiversi,” ujarnya.
Senada dengan Erasmus, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana juga menilai diversi ini belum maksimal. Dari hasil riset yang dikelola LBH Jakarta selama kurun waktu 2013-2016, kata Arif, menunjukkan pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan anak belum maksimal karena tindak pidana yang dilaporkan bukan kategori khusus yang bisa diversi.
Arif menyarankan pemerintah melakukan legislative review terkait syarat pelaksanaan diversi dan merinci kembali jenis-jenis tindak pidana yang dapat diversi. Review ini dikhususkan untuk tindak pidana dengan ancaman penjara lebih dari tujuh tahun namun tak menimbulkan korban.
Selain itu, LBH Jakarta juga mendorong pemerintah mengawasi pelaksanaan diversi di kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan. "Intinya masih belum [maksimal]. Masih jauh panggang dari api," tandas Arif.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan