tirto.id - Amnesty International membahas kasus penyerangan Novel Baswedan pada sesi dengar pendapat di Kongres Amerika Serikat, Kamis (25/7/2019) pukul 10.00 waktu setempat atau pukul 21.00 waktu Indonesia.
Kasus itu menjadi salah satu topik pembahasan pada forum 'Human Rights in Southeast Asia: A Regional Outlook' di Subcommittee on Asia, the Pacific, and Nonproliferation House Foreign Affairs Committee.
Pembahasan ini dilakukan hampir sepekan setelah Tim Pencari Fakta yang dibentuk Kapolri Jenderal Tito Karnavian merilis hasil investigasi mereka selama enam bulan. Hasilnya: sejumlah rekomendasi dan “menyalahkan Novel Baswedan”.
Jauh hari sebelum pembahasan ini, Kongres AS ternyata sudah memberikan perhatian terhadap kasus Novel dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ini termaktub dalam ringkasan laporan tahun 2018 tentang praktik HAM di Indonesia yang dirilis Maret 2019. (PDF)
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengaku sengaja mengangkat kasus Novel ke Amerika, bahkan juga ke Badan-badan PBB, dengan tiga alasan.
“Isu korupsi adalah isu global yang sangat penting. Kami menilai serangan yang ditujukan terhadap Novel Baswedan sangat memperlihatkan hubungan erat antara isu korupsi dan HAM,” ujar Usman dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Jumat (26/7/2019) siang.
Usman menyebut, ada penyidik KPK selain Novel Baswedan yang juga diintimidasi dan diserang saat mengusut korupsi di sektor sumber daya alam. Ini tentunya jadi alasan Amnesty untuk mengalang dukungan bagi KPK dari dunia internasional.
Alasan kedua, kata Usman, serangan terhadap Novel tak cuma soal Novel belaka. Serangan ini mengindikasikan masalah serius yang mengancam kelanjutan pelaksanaan agenda reformasi di Indonesia khususnya dalam pemberantasan korupsi dan penegakan HAM.
Terakhir, kata Usman, kasus Novel adalah ancaman terhadap siapapun yang memperjuangkan tegaknya negara hukum yang bebas korupsi maupun kekerasan dan pelanggaran HAM.
“Kasus Novel harus jadi pemersatu kerja sama komponen bangsa. Bukan cuma aktivis antikorupsi, HAM, lingkungan dan kesetaraan gender tapi juga aktivis dan para penegak hukum dan pemerintahan,” jelas Usman.
Karena Pemerintah Tak Peka
Sejak awal, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana menilai ada konflik kepentingan serta independensi Polri dalam menangani kasus tersebut. Dua masalah ini jadi faktor penghambat dalam mengungkap kasus.
“Pemerintah tidak peka terhadap hal Ini. Bahkan presiden masih memberikan kesempatan kepada kepolisian yang terbukti gagal mengungkap kasus Novel,” ucap Arief saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (26/7/2019).
Senada dengan Arif Maulana, Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati menyatakan dibahasnya kasus Novel di Kongres AS menunjukkan Polri tak serius mengusut kasus ini. Asfin juga menyebut pembahasan ini juga menjadi tamparan keras bagi pemerintah dan aparat penegak hukum.
“Ini menunjukkan bahwa komunitas internasional lebih peduli daripada pemerintah Indonesia dan berlarut-larutnya kerja Polri,” kata Asfinawati kepada reporter Tirto.
Apa Dampaknya?
Pada sisi lain, Asfin menyebut pembahasan ini bisa bikin nama baik dan kepercayaan publik internasional kepada penegak hukum Indonesia menurun. Ini lantaran kasus Novel merupakan kasus HAM, dan kasus HAM adalah urusan semua umat manusia.
“Sekarang ini batas antarnegara tidak membatasi orang. Bukan tidak mungkin orang dari negara lain berurusan dengan Polri,” ujar dia.
Dosen Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Arie Afriansyah tak menampik pandangan Asfin. Menurut Arie, pembahasan kasus Novel di Kongres AS menjadikan kasus tersebut diperhatikan dunia internasional.
“Biasanya jika negara besar menaruh perhatian artinya kasus itu dianggap penting,” kata Arie kepada reporter Tirto, Jumat sore.
Arie tak mempersoalkan langkah Amnesty International Indonesia mengangkat kasus ini ke Kongres AS. Ia menekankan Amnesty atau AS tak bisa mengintervensi penegakan hukum di Indonesia, meski Indonesia harus tetap waspada.
“Proses hukum yang terjadi di Indonesia merupakan kewenangan mutlak negara ini, bukan tekanan dari Amnesty International maupun Amerika,” kata Arie.
Polisi Membela Diri
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra angkat bicara soal pembahasan kasus ini di Kongres AS. Menurut Asep, Polri sudah bekerja sejak Novel pertama kali disiram pada 11 April 2017.
“Pada prinsipnya semua ini sedang berproses. Pemerintah dalam hal ini juga sangat concern terhadap peristiwa tersebut,” ucap Asep di Mabes Polri, Jumat siang.
Menurut Asep, Polri bahkan sudah membentuk tim pencari fakta yang sudah menerbitkan hasil investigasi selama enam bulan. Pembentukan TPF--yang hasilnya dinilai tak memuaskan publik dan hanya menyalahkan Novel--diklaim Asep jadi bukti Korps Bhayangkara berkonsentrasi mengungkap kasus ini.
“Tim Teknis sekarang akan kembali bekerja. Inilah bukti kesungguhan dan keseriusan kami, jadi tidak benar kalau kami tidak punya kemauan,” tutur alumnus Akpol 1994 ini.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Mufti Sholih