tirto.id - DKI Jakarta menjadi kota atau provinsi di Asia Tenggara (ASEAN) yang memiliki kasus COVID-19 atau Corona terbanyak per 17 Agustus 2020. Situasi ini bukan berarti menggambarkan kondisi pandemi di Indonesia secara menyeluruh sebagaimana yang kerap dikatakan para epidemiolog. Penyebabnya, tes Polymerase Chain Reaction (PCR) sampai sekarang masih sangat timpang.
Ketua terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman mengatakan banyaknya kasus COVID-19 di Jakarta berbanding lurus dengan jumlah tes PCR yang dilakukan. Jumlah orang yang diperiksa hingga 19 Agustus ada 524.584. Angka ini hampir setengah dari akumulasi orang yang dites secara nasional.
“Ketimpangan tes ini harus diperhatikan. Jakarta memang harus dikendalikan tetapi daerah lain bukan berarti kondisinya baik karena jumlah tesnya masih minim,” ujarnya kepada reporter Tirto.
Fakta Jakarta ini diungkapkan PandemicTalks. Mereka menggunakan data-data resmi yang sudah ada lantas dianalisis.
PandemicTalks adalah sebuah inisiatif yang didirikan untuk mengisi gap informasi ke masyarakat terkait COVID-19. PandemicTalks digawangi oleh tiga orang, yakni seorang doktor di bidang bedah saraf Muhammad Kamil, biomedical scientist Mutiara Anissa, dan data scientist Firdza Radiany.
“Yang ingin kami tunjukkan dari data itu bahwa level wabah di Indonesia tinggi banget. Representasinya adalah Jakarta karena jadi salah satu episentrum,” kata Kamil kepada reporter Tirto, Rabu (19/8/2020).
Ia mengilustrasikan jika DKI Jakarta adalah sebuah negara, maka dari total 10 negara termasuk Indonesia, DKI Jakarta menempati jumlah kasus tertinggi nomor empat di ASEAN. Nomor satu adalah Filipina, 164.474 kasus dengan total penduduk 109,7 juta; Indonesia 141.370 dengan 270 juta penduduk; Singapura 55.838 dengan 5,8 juta penduduk; kemudian Jakarta 30.092 dengan 10,5 juta penduduk.
Di Filipina, provinsi/kota yang mencatatkan kasus tertinggi adalah Quezon City dengan total kasus 16.752 per 19 Agustus 2020.
Dilihat dari jumlah kematian, kasus Jakarta juga cukup tinggi. Ada 1.011 kasus kematian dan angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan total kasus kematian di Laos, Brunei, Myanmar, Kamboja, Thailand, Vietnam, Malaysia, atau Singapura.
Perbandingan dengan negara-negara ASEAN ini, menurut Kamil, jauh lebih masuk akal karena karakter dan infrastruktur kesehatannya tidak jauh berbeda.
Ketimpangan Tes & Tracing Buruk
Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana Agus Wibowo, awal Agustus lalu, mengakui ketimpangan jumlah tes di daerah memang terjadi. “Belum semua wilayah di Indonesia memenuhi saran dari WHO 1:1000 per pekan,” katanya.
Tes paling banyak memang dilakukan di Jakarta, katanya. Dari target sekitar 10 ribu tes per pekan, Jakarta mampu melakukan hampir 10 kali lipat. Berbeda dengan daerah-daerah lain yang hingga periode pekan terakhir Juli lalu belum memenuhi syarat seperti di Jambi, Lampung, NTT, dan NTB.
Jakarta menjadi kota/provinsi yang paling banyak melakukan tes karena memiliki infrastruktur yang memadai. Tes-tes di tempat konsentrasi warga seperti perkantoran juga dilakukan sehingga secara otomatis meningkatkan jumlah tes.
Kolaborator LaporCOVID-19 yang juga merupakan epidemiolog, Iqbal Elyazar, menjelaskan jumlah kasus bergantung pada jumlah pasien yang datang ke rumah sakit dengan gejala COVID-19 dan hasil tracing kasus yang dilakukan oleh petugas. Jika jumlah pasien sedikit dan kontak tracing tidak jalan, sampel swab yang harus dites otomatis jumlahnya juga akan sedikit.
Oleh karena itu ketika jumlah tes di satu daerah masih minim, itu mengindikasikan “jumlah pasien sedikit atau karena memang kontak tracing tidak jalan,” kata Iqbal kepada reporter Tirto.
Masalah lain, tes yang dilakukan kepada kontak tracing semakin minim ketika hanya dipilih mereka yang bergejala saja. Padahal, mereka yang melakukan kontak dengan kasus positif baik bergejala atau tidak harusnya juga dilakukan tes PCR.
Jumlah tes ini semestinya bisa ditingkatkan dengan melakukan tes masal di fasilitas umum yang dinilai memiliki risiko penularan tinggi. Selama daerah tidak menjalankan kontak tracing dengan baik dan tidak melakukan tes massal, maka jumlah tes akan terus minim dan timpang.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Reja Hidayat