tirto.id - Dalam film Kartini (2017), tergambar kekompakan Kartini dengan adik-adiknya, Roekmini dan Kardinah. Mereka sempat menghabiskan masa remaja di balik tembok Kadipaten, lengkap dengan kebahagiaan dan kesedihan. Mereka tinggal di sana hingga datangnya priyayi peminang yang barangkali akan menjadikan mereka sebagai istri pertama, kedua, dan seterusnya.
Usia mereka pun terus bertambah, terus memasuki usia kawin, makin menuju ke “hidup yang yang penuh dengan pergulatan batin serta derita,” tulis Kartini dalam suratnya kepada Nellie van Kol (21/07/1902).
Seorang laki-laki lalu datang ke Kadipaten. Dia adalah Raden Mas Haryono, putra dari Bupati Tegal Pangeran Ario Reksonegoro yang masih sepupu Bupati Sosronegoro, ayah mereka. Menurut catatan Sitisoemandari Soeroto dalam bukunya Kartini: Sebuah Biografi (1982), kala itu Haryono sudah punya posisi yang cukup mentereng untuk ukuran bumiputra: Patih Kadipaten Pemalang.
Kelak, dia akan menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Tegal. Kedatangan Haryono yang sudah beranak tiga itu tak lain adalah untuk melamar Kardinah, adik Kartini. Walau berat hati, Kardinah harus bilang “ya.” Dalam film Kartini (2017) karya Hanung Bramantyo, kesedihan Kartini dan Kardinah tergambar, tapi tak serinci yang ditulis Sitisoemandari.
Menjelang pernikahannya, ketiga bersaudari itu melakukan hal yang sulit dilakukan perempuan ningrat yang hendak menikah: keluar masuk toko di Semarang. Pernikahan Kardinah terjadi pada 24 Januari 1902.
Setelah enam tahun bersama, akhirnya kakak-beradik ini harus berpisah. “Enam tahun yang baru lalu ini adalah tahun-tahun yang paling bahagia bagi kami. Kami telah banyak menangis, tetapi juga banyak bersuka-ria,” Kartini menulis kalimat itu dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon (03/01/1902). Kardinah bukan lagi seorang Raden Ajeng, tapi sudah Raden Ayu.
“Mula-mula Kartini dan Roekmini tidak merasa sedih,” tulis Sitisoemandari. Keramaian resepsi pernikahan itu membuat mereka tak sadar mereka akan berpisah. “Bahkan tatkala pada 31 Januari 1902 Kardinah diboyong ke Pemalang oleh suaminya dan pada saat perpisahan yang sungguh-sungguh telah tiba, mereka tidak menunjukkan sesuatu emosi.”
Sampai pada suatu malam, Kartini memainkan lagu kesayangan mereka dengan piano. Kartini pun harus merayakan kesedihannya karena “kehilangan adik si kecil.”
Kartini sempat bertemu Kardinah ketika menjenguk kakak mereka, Soelastri. Kardinah menghabiskan waktunya sebagai istri priyayi dengan mendidik anak-anak tirinya. Dia pun kemudian membangun sekolahnya sendiri, seperti yang pernah dia lakukan bersama Kartini. Beberapa priyayi menyukainya dan menitipkan anak mereka pada Kardinah. Hal yang pernah menjadi idenya bersama Kartini diperjuangkannya.
Sitisoemandari mencatat, “Kardinah tanpa ragu-ragu melakukan berbagai tindakan ke arah modernisasi. Dalam usaha itu, ia mendapat dukungan sepenuhnya dari suaminya yang progresif dan berkobar-kobar.” Kardinah terbantu dengan statusnya sebagai Nyonya Bupati. Suami Kardinah menjadi Bupati Tegal sejak Juni 1908 saat Haryono menggantikan ayahnya. Namanya pun menjadi Raden Mas Adipati Ario Reksonegoro.
Menurut Sitisoemandari, Kardinah setidaknya menulis dua buku soal masakan dan dua buku soal batik. Hasil penjualannya, ditambah sumbangan lain, digunakan Kardinah untuk membangun Sekolah Kepandaian Putri Wisma Pranowo pada 1 Maret 1916. Residen Pekalongan juga mendukungnya. Tak lupa, Kardinah juga berhubungan dengan tokoh pendidikan lain macam Ki Hadjar Dewantara, yang memberinya banyak nasihat soal pendidikan.
Selain sekolah, sebuah rumah sakit kecil juga dibangun. Rumah sakit itu lalu membesar dan dikenal sebagai Kardinah Ziekenhuis alias Rumah Sakit Kardinah. Menurut Sitisoemandari, uang penjualan buku-bukunya terpakai juga untuk rumah penampungan orang miskin. Atas kerja sosialnya, Kerajaan Belanda memberi bintang kepada Kardinah, yakni: Ridder van Oranje Nassau.
Suaminya, Haryono, juga mendapat bintang Ridder in de Orde van de Nederlandsche Leeuw. Ia menjadi bupati hingga 1930. Di tahun-tahun tersebut, kesehatannya semakin menurun. Setelahnya, mereka berdua menetap di kota kecil sejuk, Salatiga. Salah satu putrinya menikah dengan Raden Sunarjo, yang di tahun 1944-1945 menjabat Bupati Tegal.
Sekitar bulan Oktober 1945, Kardinah berada di Tegal lagi, bersama anak-mantu dan juga cucunya. Kala itu revolusi Indonesia mulai bergolak dan revolusi sosial mengikuti. Kosongnya kekuasaan dan tidak adanya otoritas memungkinkan kaum kromo membalas dendam. Kaum ini ratusan tahun tertindas Belanda, Jepang, dan tentu saja feodalisme Jawa.
Mereka bergerak dan menjadikan kaum priyayi yang pernah jadi alat kekuasaan Belanda juga Jepang sebagai sasaran, tak terkecuali keluarga bupati. Peristiwa semacam itu terjadi di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan—dan dikenal sebagai Revolusi Tiga Daerah.
Gerombolan itu semula berusaha mencari Sunarjo yang tak mereka temukan. Kardinah, yang kala itu sudah berusia 64 tahun, kebetulan berada di Kadipaten. Hari itu tanggal 13 Oktober 1945, gerombolan menyerbu masuk. Pakaian kebesaran bupati, yang bagi mereka simbol feodalisme, mereka obrak-abrik. Sunarjo, Bupati Tegal menantu Kardinah itu, tak mereka tangkap. Tapi keluarganya, termasuk Kardinah, dijadikan bulan-bulanan.
“Kardinah menjadi korban revolusi sosial pada Peristiwa Tiga Daerah,” tulis Anton Lucas dalam bukunya Peristiwa Tiga Daerah (1989). “Istri Bupati beserta ibunya, R.A. Kardinah (kakak kandung R.A. Kartini), dan cucu perempuannya beserta pembantu mereka diberi pakaian goni dan diarak keliling dan berhenti di depan rumah sakit yang didirikan RA Kardinah.”
Kardinah yang tua renta itu lalu pura-pura sakit sehingga dia pun digotong ke rumah sakit dan akhirnya diselamatkan. Setelahnya, dia tinggal di Salatiga. Kardinah trauma dengan apa yang dialaminya di Tegal dan menjalani masa tuanya di Salatiga sampai meninggal dunia pada 5 Juli 1971 di usia 90 tahun. Kardinah dimakamkan di Tegalarum, Tegal, daerah yang dia tinggali setelah terpisah dari Kartini.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani