Menuju konten utama

Kapolri Sebut Guru di Wamena Tak Mengatakan 'Kera' tapi 'Keras'

Kapolri sebut guru hendak mengatakan 'jangan bicara keras', tapi huruf 'S' terdengar lemah.

Kapolri Sebut Guru di Wamena Tak Mengatakan 'Kera' tapi 'Keras'
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (Kanan) dan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kiri) menggelar konferensi pers tentang pengawasan rehabilitasi pascabanjir Kabupaten Konawe Utara di Rujab Bupati Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Sabtu (22/6/2019). Panglima TNI dan Kapolri siap turunkan personelnya jika dibutuhkan untuk rehabilitasi pascabanjir di Kabupaten Konawe Utara. ANTARA FOTO/Jojon/wsj.

tirto.id - Wamena memanas, Senin (23/9/2019), peristiwa itu bermula dari tersebarnya isu seorang guru SMA PGRI yang berkata rasis. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan isu guru guru tersebut mengatakan 'keras' bukan 'kera'.

"Terdengar oleh murid ini [kata] 'kera', sehingga dikatakan ke temannya [si murid] bahwa dikatakan monyet. Padahal yang dikatakan 'jangan bicara keras'. Hanya saja mungkin tone-nya dan [huruf] S-nya terdengar lemah," kata Tito di kantor Kemenko Polhukam, Selasa (24/9/2019).

Lantas, lanjut Tito, muncul informasi di masyarakat seolah-olah guru itu bersikap rasis, mengatakan kata-kata tidak pantas yang melukai hati. Kemudian para pelajar berkumpul dan bergabung, Tito menduga mereka diprovokasi oleh pihak KNPB yang menyamar sebagai siswa.

"Saat itu ada petugas dengan cepat datang dari Polres, Kodim, tapi massa sudah terlanjur besar. Lebih kurang 2.000 orang," kata Tito. "Kami yakin yang mengembangkannya adalah kelompok Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang menggunakan seragam SMA. Kami sedang cari orangnya," imbuh dia.

Massa anarkis dengan melempar batu, membakar ruko dan kendaraan bahkan masyarakat pendatang di Papua turut jadi sasaran. Isu hoaks itu muncul sekitar pukul 07.30 WIT dan massa aparat berhasil meredam massa sekitar pukul 15.00 WIT.

Tito menyatakan hingga pukul 12.00 WIB hari ini, ada 26 orang tewas, dengan rincian 22 masyarakat pendatang tewas karena luka bacok, akibat rumah atau rukonya dibakar. Sedangkan empat orang asli Papua tewas, juga 66 orang luka.

Jenderal bintang empat itu mengklaim situasi di Wamena saat ini sudah terkendali. Namun ia mengerahkan pasukan guna mengantisipasi potensi ancaman.

"Kami tambah pasukan lagi, tidak perlu sebut berapa. Kami perkuat karena pendatang banyak yang mengungsi. Kami pertebal keamanan," sambung Tito.

Akibat dari peristiwa itu, kemarin pemerintah kembali memblokir layanan internet di Wamena. Pemblokiran itu berdasarkan keterangan pers Kemenkomindo Nomor 187/HM/KOMINFO/09/2019 pada Senin, 23 September 2019 pukul 19.00 WIB tentang Pembatasan Layanan Data di Wamena.

Pemblokiran internet masuk kategori internet shutdown. Hal ini mencakup gangguan yang disengaja pada internet atau komunikasi elektronik sehingga menjadikannya tidak dapat diakses atau secara efektif tidak dapat digunakan.

Executive Director SAFENet, Damar Juniarto menyebut, pemblokiran itu meremehkan masyarakat Papua karena dinilai tidak cerdas dalam mengelola informasi berbasis internet.

Padahal, kata dia, banyak dari mereka yang justru dapat memberikan informasi nyata dan sesuai fakta kepada sanak keluarganya di luar Papua sehingga dapat meredam kekhawatiran.

“Tindakan internet shutdown telah menjadi salah satu alat represi pemerintah di abad ke-21. Karena ini kembali dilakukan untuk ketiga kalinya," ujar Damar dalam keterangan tertulis, Selasa (24/9/2019).

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Irwan Syambudi