tirto.id - Titanic meninggalkan Southampton pada 10 April 1912. Mengangkut 2.200 orang, ia berlayar antarbenua menuju Amerika Serikat. Beberapa hari pertama, ia berjalan lancar. Sebelumnya bahkan sempat singgah di Cherbourg, Prancis untuk mengangkut penumpang lain dan sejumlah surat, serta singgah di Queenstown, Irlandia sebelum melaju melewati Atlantik.
Titanic adalah kapal paling megah kala itu, dinakhodai kapten paling berbakat pada masanya, bernama Edward John Smith. Pengalaman sang kapten bukan main. Ia pernah mengomandani empat kapal paling besar sebelum Titanic: Baltic, Majestic, New Baltic, dan Adriatic. Jadi, tak ada yang ragu atas keselamatan pelayaran mereka karena nama besar sang nakhoda. Setidaknya demikian yang diketahui para penumpang kelas satu.
14 April, sebuah peringatan datang. Katanya ada bongkahan es di jalur yang akan dilewatinya, orang-orang masih tak ragu kalau mereka akan sampai pada tujuan. Tapi EJ Smith tak tinggal diam. Ia melaporkan pesan ini pada Joseph Bruce Ismay, pemilik Titanic di bawah perusahaan White Star Line. Ismay juga turut dalam pelayaran pertama Titanic itu.
Kapal megah mereka diancang-ancang sebagai kapal paling megah dan paling besar yang pernah dibuat. Ia dicitrakan sebagai kapal yang tak mungkin tenggelam, karena dirancang sedemikian rupa untuk mengejar titel tersebut. Ismay sempat menahan laporan dari EJ Smith, dan tidak buru-buru mengabarkannya pada penumpang dan seisi kapal. Mereka percaya pada kekuatan sang kapal.
Peringatan tentang bahaya bongkahan es juga dikabarkan oleh Baltic, Californian, dan Mesaba, kapal lain yang menangkap kabar bongkahan es. Tapi operator di Titanic melewatkan peringatan-peringatan itu karena dibanjiri pesan telegrafik untuk para penumpang.
Sekitar pukul 11:40 malam, salah satu awak kapal melihat ada bongkahan besar es di jalur Titanic. Tapi semua sudah terlambat. Dengan kecepatannya malam itu, Titanic tak berhasil menghindari bongkahan es tepat waktu. Bagian kiri depannya rusak karena tabrakan itu. Beberapa lobang besar langsung tercipta dan jadi sumber masuk air dengan debit tinggi.
Sisa ceritanya sudah jelas. Malam nahas itu jadi penanda kedahsyatan Titanic, bukan karena segala kecanggihannya yang diagung-agungkan White Star Line, tapi sebagai salah satu kecelakaan moda transportasi laut terbesar sepanjang sejarah manusia.
Salah satu kisah menarik dalam tragedi Titanic justru datang dari sang Kapten, EJ Smith. Ia yang dikenal sebagai nama besar di dunia pelayaran akhirnya mangkat di laut pula, di atas kapal yang merupakan karier terbesar sepanjang hidupnya.
Kematian EJ Smith punya banyak versi. Ada yang bilang ia mati setelah menembak dirinya sendiri di dalam kabinnya; yang lain bilang kalau sang kapten sempat terlihat menyelamatkan seorang bayi ke atas kapal sekoci sebelum tenggelam kedinginan di Laut Atlantik. Ada pula yang bilang ia sengaja berenang ke arah tenggelamnya kabin nakhoda.
James Cameron bahkan menggambarkannya lebih dramatis dalam film Titanic yang legendaris itu. EJ Smith masuk ke kabinnya yang mulai tenggelam. Ia sendiri dalam ruangan kecil itu sambil pura-pura memutar pedal kendali. Sebelumnya, EJ Smith sudah berusaha menyelamatkan seluruh penumpang sebanyak-banyaknya, tapi Titanic memang tak dirancang untuk tenggelam sehingga kekurangan sekoci untuk menampung semua penumpangnya.
EJ Smith, sebagai salah satu orang yang tahu fakta itu, sekaligus nakhoda sang kapal raksasa, memutuskan untuk tidak ikut menyelamatkan diri. Ia memilih tenggelam bersama kapal dan puncak kariernya.
Penyelidikan atas tragedi itu menyebut tenggelamnya Titanic bukan salah sang kapten.
Alih-alih dramatis, yang dilakukan EJ Smith memanglah prosedur yang harus dihadapi nakhoda kapal. Bukan tentang bagaimana cara EJ Smith memilih kematian, tapi bagaimana ia memilih untuk jadi yang paling terakhir menyelamatkan diri setelah memastikan bisa menyelamatkan sebanyak-banyaknya nyawa. Kisah hidup sang kapten direkam oleh biography.com.
Sosok macam EJ Smith dari Indonesia bernama Abdul Rivai. Ia adalah nakhoda kapal Tampomas II yang dikenal sebagai kapal Titanic dari Indonesia. Bedanya, Titanic jelas-jelas kapal baru mega-mewah yang jauh di atas atmosfer bila disandingkan dengan Tampomas II, yang jelas-jelas kapal bekas.
Tapi kedua nakhodanya sama-sama bernyali besar dan berjiwa pahlawan. Baik Kapten EJ Smith dan Kapten Rivai tak meninggalkan bahteranya ketika kematian mengancam, bahkan keduanya mangkat saat gelar nakhoda masih dijabat.
Tenggelamnya kapal Tampomas II merupakan salah satu tragedi terburuk dalam sejarah Indonesia. Mengenai tenggelamnya kapal Tampomas bisa dibaca dalam artikel TirtoTenggelamnya Kapal Bekas Tamponas.
Sayangnya, tak semua mereka yang bergelar nakhoda punya nyali semegah keduanya. Cerita nakhoda lain yang ngacir lebih dulu sebelum selesai mengevakuasi penumpangnya adalah milik Lee Seon Jook, Kapten feri Sewol yang tenggelam 16 April 2014 lalu. Ia bahkan sempat terekam foto saat loncat menyelamatkan diri ke sekoci menggunakan jaket pelampung, meninggalkan penumpangnya yang disuruh tenang di dalam kapal tenggelam. Tindakan pengecut yang dilakukannya membuat 295 orang dari total 476 penumpang kehilangan nyawa. The New York Times mengabarkan, sang kapten dan enam awak kapal yang dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan dihukum seumur hidup mendekam di balik bui.
Francesco Schettino juga punya cap yang sama sebagai kapten pengecut karena meninggalkan Costa Concordia yang tenggelam di lepas pantai Isola del Giglio, Italia. Akibat insiden itu, 25 orang dari total 4 ribu penumpang meninggal. Schettino pun dihukum karena dianggap berperan terhadap kecelakaan Concordia, dan tingkahnya mengabaikan kapal yang sedang sakaratul maut.
Dalam insiden tragis terbaru di Indonesia, terbakarnya kapal Zahro Ekspress, keberadaan nahkoda kapal, M Nali jadi perdebatan. Ia sempat dikabarkan pergi duluan, meninggalkan para penumpangnya. Namun, polisi belakangan menyebut Nali merupakan orang yang paling terakhir menyelamatkan diri.
"Keterangan dari penumpang selamat tidak, ternyata (nahkoda) belakangan. Nahkodanya terakhir lompat ke air," kata Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Mochamad Iriawan kepada pewarta saat berada di Rumah Sakit Polri Jakarta Timur, Senin (2/1/2017) petang, seperti dikutip dari Kompas.
Pernyataan Kapolda itu disampaikan setelah Direktur Jenderal Perhubungan Laut A. Tonny Budiono mengatakan Nali tidak layak disebut nakhoda. Menurut dia, kapten kapal seharusnya turun paling belakang, seperti kapten kapal Titanic.
"Nanti kami akan cabut lisensinya dan dia tidak boleh berlayar," kata Tonny di kantornya, Jakarta, Minggu (1/1/2016), seperti dilansir dari Tempo. "Akan kami sidang siapa yang bersalah, siapa yang berbuat, itu juga yang akan mendapat hukuman."
Tonny menjelaskan, Nali mempunyai sertifikat pelaut. "Informasi awal masih berlaku, tapi dia tidak layak sebagai nakhoda. Sebab, sebagai nakhoda, kewajibannya adalah terjun paling akhir setelah penumpang selesai dievakuasi," ujarnya.
Kewajiban Nakhoda
Baik di laut, darat, dan udara, peran kapten moda transportasi memang vital. Dalam sebuah perjalanan, mereka adalah pemegang kendali agar perjalanan nyaman dan tertib. Peran itu tak main-main, bahkan di banyak negara termasuk Indonesia, didukung dalam konstitusi.
Khusus untuk nakhoda, Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 1992, UU Nomor 17 Tahun 2008.
Menilik aturan tersebut, maka yang disebut nahkoda kapal ialah mereka yang telah menandatangani Perjanjian Kerja Laut (PKL) dengan perusahaan kapal yang menaunginya. Secara eksplisit, di mata perundangan, tanggung jawab kapal dan seluruh kejadian di atasnya selama pelayaran berada di tangan nakhoda. Kecuali perbuatan kriminal yang tak dilakukan sendiri oleh sang nakhoda. Melanggar perintahnya pun punya sanksi pidana.
Dalam UU Nomor 17 Tahun 2008, bahkan jelas diatur bagaimana proses nakhoda dan kapal berhak berlayar, sampai tata cara pemeriksaan pendahuluan saat kecelakaan kapal terjadi. Dan aturan itu mewajibkan nakhoda jadi orang terakhir yang menyelamatkan diri saat kapalnya disimbah musibah.
Saat berlayar, peran seorang nakhoda amat tinggi. Dalam UU nomor 21 Tahun 1992, tugas nakhoda meliputi: sebagai pemegang kewibawaan umum di atas kapal, penegak hukum, pegawai pencatatan sipil, terkait jika terjadi kelahiran atau kematian saat berlayar, dan sebagai notaris.
Mengutip Paman Ben di film Spiderman, harusnya tanggung jawab besar memang cuma untuk orang-orang besar saja.
Update 5 Januari 2015 (jam 19.30): UU Nomor 21 Tahun 1992 sudah tidak berlaku menyusul ditetapkannya UU Nomor 17 Tahun 2008. Namun, tugas-tugas nakhoda dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 masih sama seperti yang termaktub dalam UU Nomor 21 Tahun 1992. Dalam naskah di atas, tugas-tugas nakhoda memang masih merujuk UU Nomer 21 Tahun 1992.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti