tirto.id - Karya seni, terutama lukisan sudah sejak lama menjadi sarana investasi para investor karya seni. Bagi beberapa investor, investasi lukisan bisa setara dengan investasi saham, emas, maupun investasi keuangan lainnnya. Imbal hasil dari investasi lukisan dianggap menguntungkan
Nilai kenaikannya memang kurang dari nilai investasi emas, dan wine. Namun, investasi lukisan tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam bukunya yang berjudul Art as an Investment, Melanie Gerlis menyatakan dari seluruh riset nilai barang seni, nilai rata-rata Return on Investment (ROI) barang seni selama 5-10 tahun di kisaran 4 persen.
Penelitian lain menunjukkan karya-karya seni yang terlelang selama 1957-2007 menghasilkan ROI rata-rata per tahun dalam dolar US, setara dengan imbal hasil surat utang perusahaan. Lukisan cat minyak menghasilkan ROI sebesar 4,63 persen per tahun, dan lukisan pop menghasilkan jauh lebih tinggi hingga 10 persen per tahun.
Investasi lukisan sudah mulai dilirik pada era 1980-an, pada masa itu, lukisan berjudul Three Flags karya Jasper Johns laku seharga $1 juta. Di era yang sama, tepatnya pada 1987 lukisan Sun Flower karya Van Gogh, terjual $38 juta dalam Balai Lelang Christie’s London. Lalu juga ada lukisan Portrait of Dr. Gachet terjual $82,5 juta dalam lelang di New York pada Mei 1990. Lukisan perempuan dengan senyum misteriusnya, Monalisa karya Leonardo da Vinci yang berada di Museum Louvre, Paris bahkan berani sampai diasuransikan sebesar $100 juta. Bagaimana dengan di Indonesia?
Geliat di Indonesia
Di Indonesia, karya seni lukisan sebagai sarana investasi mulai marak semenjak lukisan Berburu Rusa karya Raden Saleh terjual seharga S$2,8 juta pada 1996. Lukisan Hendra Gunawan, Suasana di Pasar laku HK$2,4 juta atau setara Rp7 miliar dalam lelang April 2002.
Bila saja Affandi masih hidup, pelukis legendaris ini akan menikmati investasi karyanya. Lukisannya yang berjudul Ayam Jago terjual Rp 3,9 miliar saat dilelang di Hong Kong. Belum lagi lukisan-lukisannya yang lain seperti Skiing yang pernah ditawar Rp 1,5 miliar, untung Rp 1,3 miliar dari selisih harga belinya..
Tak hanya Affandi, pelukis kenamaan lain yang namanya diabadikan sebagai museum, Basuki Abdullah pernah menorehkan nilai karyanya yang berjudul Black Phanter hingga $40.000 dalam sebuah lelang. Jangan kaget, bahkan repro dari Black Phanter masih laku seharga Rp40 juta.
Beberapa angka fantastis lainnya datang dari harga penjualan lukisan Putu Sutawijaya seharga Rp 600 juta, padahal lukisan ini awalnya hanya diestimasikan terjual Rp40 juta. Lukisan I Nyoman Masriadi berjudul Sudah Biasa Ditelanjangi juga menjadi salah satu yang fenomenal karena laku dengan angka Rp5 miliar.
Selain urusan harga yang fantastis, karya seni lukis di Indonesia sempat mengalami masa sukacita seni lukis pada dekade sebelumnya. Pada 1980-an ada sekitar 4.000 lukisan laris terjual dalam 200 pameran resmi. Pada dekade terakhir, demam invetasi lukisan sempat menghinggapi para artis, seperti Anjasmara, seorang aktor yang lebih sering keranjingan lukisan sekitar tahun 2001, membeli lukisan dengan mempertimbangkan latar belakang pelukis, tema, gradasi warna, dan garis.
Anjasmara pernah menjual satu dari puluhan koleksi pribadinya berjudul Footbal Series di angka Rp125 juta pada 2008, padahal, harganya dibelinya pada 2004 hanya Rp5 juta.
Tak Mudah
Edwin Rahardjo, pemilik Galery Edwin di Kemang masih menilai perlu adanya edukasi bagi masyarakat mengenai esensi menikmati seni lukis. Minimnya informasi dan cita rasa seni, bisa membuat seseorang menjadi korban penipuan saat membeli lukisan. Apalagi banyak jenis lukisan replika yang diperjualbelikan, sehingga perlu ketelitian dan rasa seni yang tinggi untuk membedakannya. Karya yang bagus belum tentu mahal, dan sebaliknya, karya yang mahal belum tentu pula dapat dikatakan bagus.
Apa yang jadi standar karya lukisan yang bagus daan dapat dijadikan investasi? Jawabannya tidak ada yang pasti.
“Karena pengetahuan masyarakat kita terhadap seni masih sangat minim. Ditambah, di sini tak ada museum resmi yang dikuratori beberapa orang untuk menilai nilai lukisan itu sendiri seperti yang ada di Eropa,” kata Edwin kepada tirto.id di galerinya, September lalu.
Terkadang suatu karya lukisan yang dianggap bagus hanya didasarkan pada persepsi semata. Sementara, penikmat seni lukis, dibagi menjadi tiga sudut pandang: kolektor, investor, dan spekulator. Ketiga sudut pandang tersebut ikut memengaruhi persepsi nilai sebuah karya lukisan.
Perbedaannya, sudut pandang sebagai kolektor tak akan peduli terhadap investasi, karya yang dibeli biasanya hanya untuk dinikmati dan tak diperjualbelikan. Sedangkan seorang investor, mengutamakan untung dan rugi dan melihat seni lukis dari ketertarikan pasar.
“Spekulator ya hanya menduga saja, mana yang bagus, sebenarnya membicarakan investasi lukisan dengan masyarakat Indonesia masih terlalu muda, takutnya malah menjadi pembodohan publik,” katanya.
Apa yang disampaikan Edwin barang kali ada benarnya, karena seni tak memiliki standar baku untuk dinilai. Namun, ada sedikit patokan umum yang bisa jadi pegangan bagi mereka yang berminat dengan investasi lukisan.
Amir Sidharta, kurator Seni Lukis Indonesia sempat menyatakan beberapa faktor yang memengaruhi harga pasar lukisan, antaralain latar belakang sang pelukis, medium, dan tema yang diusung. Tingkatan Kolektor pemula, biasanya lebih sering menyukai tema yang mudah dicerna secara umum.
Sementara itu, kritikus karya seni Brian Sewell yang lebih suka menyebut seni sebagai kesenangan dan pencerahan, karena tak semua setuju menjadikan seni sebagai alat investasi. Sewell menyarankan para investor lukisan untuk membeli karya seni yang juga dibeli orang lain.
“Ini adalah pasar yang palsu dan suatu hari ini akan meledak. Dan pada saat meledak itu lah keuntungan terbesar akan Anda raih,” kata Sewell.
Persoalan lain yang menjadikan kendala dalam investasi lukisan di Indonesia, seperti nilai perawatan yang tinggi, tak ada asuransi khusus lukisan yang dicover oleh perusahaan asuransi di Indonesia. Kondisi ini justru berlawanan dengan di Eropa. Asuransi untuk lukisan-lukisan di Indonesia hanya asuransi general seperti asuransi kebakaran. Berbagai masalah ini masih jadi nilai minus para investor lukisan di Indonesia.
Apakah masih berminat berinvestasi dari sebuah coretan-coretan di kanvas yang nilainya masih tak pasti?
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra