Menuju konten utama
Al-Ilmu Nuurun

Kajian Tubuh dan Jiwa ala Abu Sayd al-Balkhi

Pemikiran tentang keterkaitan jiwa dan tubuh telah dicetuskan al-Balkhi jauh sebelum ilmu kejiwaan berdiri mapan di dunia pendidikan modern.

Kajian Tubuh dan Jiwa ala Abu Sayd al-Balkhi
Ilustrasi Abu Zayd Al balkhi. tirto.id/Sabit

tirto.id - Wacana psikologi telah dimulai sejak ribuan tahun silam oleh para filsuf Yunani seperti Hippokrates, Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka memandang keberadaan manusia tidak hanya ditandai oleh tubuh yang kasat mata, tetapi juga oleh jiwa atau pikiran. Dalam perkembangan ilmu psikologi, ide tentang tubuh dan jiwa yang berkelindan juga diselidik oleh Abu Sayd al-Balkhi, salah satu ilmuwan dari jazirah Arab.

Al-Balkhi merupakan pakar berbagai bidang keturunan Persia yang hidup antara abad 9-10 M, masa-masa keemasan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Ia menguasai sejumlah ilmu mulai dari matematika, geografi, astrologi, kedokteran, psikologi, hingga filsafat.

Gagasan-gagasannya yang dianggap signifikan dalam perkembangan ilmu psikologi termaktub dalam buku bertajuk Al-Masalih al-Abdan wal-Anfus. Pada 2013, karyanya ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Malik Badri dengan judul Sustenance of the Soul: The Cognitive Behaviour Therapy of a Ninth Century Physician.

Sebagai seorang pakar medis, al-Balkhi mengkritik dunia kedokteran yang pada masa itu lebih berkonsentrasi pada penyakit fisik para pasien alih-alih menilik aspek psikologis mereka. Al-Balkhi meyakini bahwa bila tubuh seseorang sakit, ia akan kehilangan kemampuan kognitif dan gagal menikmati beragam aspek kehidupan lainnya. Begitu pun sebaliknya, saat kondisi psikologis seseorang melemah atau pikirannya terganggu, fisiknya akan lebih rentan terserang penyakit.

Aspek psikologi dan kondisi fisik manusia yang saling mempengaruhi sebagaimana dijabarkan al-Balkhi ini dikenal dengan sebutan psikosomatis dalam kajian ilmu kejiwaan sekarang ini.

Dalam karya ilmiah Deuraseh dan Talib (2005) yang diterbitkan The International Medical Journal, disebutkan bahwa al-Balkhi menganjurkan pelibatan perawatan psikologis pada saat ahli-ahli medis menyembuhkan penyakit fisik pasien. Menurut al-Balkhi, penyembuhan fisik dengan metode-metode seperti operasi dan penggunaan obat-obatan akan banyak membawa konsekuensi bagi pasien, mulai dari rasa nyeri yang mesti dialami sampai besarnya biaya pengobatan yang harus dibayarkan.

Di lain sisi, perawatan psikologis yang bagi al-Balkhi lebih penting, akan mampu memangkas banyak biaya dan merupakan cara penyembuhan yang lebih menyenangkan bagi pasien daripada mesti mengonsumsi obat-obatan.

Kesedihan sebagai Sumber Penurunan Kondisi Fisik

Al-Balkhi membagi gangguan mental ke dalam empat kategori: kemarahan (al-ghadab), kesedihan dan depresi (al-jaza), ketakutan dan fobia (al-faza), serta obsesi (wasawes al-sadr). Terkait kesedihan, pakar psikologi Muslim ini menyatakan terdapat dua jenis rasa sedih yang bisa dialami seseorang. Pertama, kesedihan yang dapat teridentifikasi penyebabnya seperti kematian anggota keluarga atau kebangkrutan. Cara penanganan kesedihan jenis ini menurut al-Balkhi adalah dengan melakukan terapi eksternal dan internal.

Terapi eksternal melibatkan perbincangan persuasif atau nasihat dari ahli-ahli kejiwaan maupun orang-orang terdekat pasien yang dapat dipercaya. Terapi internal meliputi upaya-upaya swadaya pasien untuk menanamkan pikiran-pikiran positif guna menangkal kesedihan dan depresinya. Pasien mesti menyadari risiko besar yang menantinya bila terus menerus membiarkan pikirannya dirusak oleh hal-hal negatif.

Selain kesedihan yang bisa diidentifikasi, al-Balkhi juga menemukan kesedihan yang tidak jelas diketahui dari mana sumbernya yang dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit. Kesedihan semacam ini dapat datang tiba-tiba dan menetap untuk jangka panjang, serta menghambat seseorang dalam beraktivitas fisik maupun merasakan kebahagiaan dari hal-hal yang semula ia nikmati. Kesedihan yang tidak teridentifikasi sumbernya ini potensial menimbulkan gangguan pada tubuh sehingga tidak hanya perawatan mental saja yang diperlukan, tetapi juga penanganan fisik secara medis.

Sehubungan dengan pemikiran al-Balkhi ini, pakar kesehatan Arab lainnya, Ali bin al-Abbas al-Majusi menelurkan gagasan serupa dalam karyanya, Kamil al-Sina'ah al-Tibiyyah. Ia menyatakan, kesehatan seseorang dipengaruhi oleh caranya mengekspresikan dan mengarahkan emosi. Orang yang mampu mengendalikan amarah, kesedihan, atau kecemasan akan dapat mempertahankan kesehatan mental dan fisiknya.

Infografik Abu Zayd Al balkhi al ilmu

Gangguan Obsesi dalam Gagasan al-Balkhi

Referensi mengenai gangguan obsesi yang dilekatkan dengan perilaku kompulsif banyak diperoleh dari tulisan-tulisan ilmuwan Barat sejak abad ke-17. Pada masa itu, gangguan obsesi didefinisikan oleh pejabat-pejabat institusi agama.

Salah satu pendefinisian gangguan obsesi disampaikan oleh Jeremy Taylor, Uskup Down and Connor, Irlandia. Ia berpendapat bahwa keraguan yang bersifat obsesif merupakan masalah yang muncul setelah suatu masalah berakhir, keraguan yang hadir selepas keraguan sebelumnya dientaskan. Sementara, John Moore, Uskup Norwich, Inggris melihat obsesi terkait dengan pemikiran-pemikiran yang menghina Tuhan pada saat seseorang mempraktikkan ajaran agamanya.

Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders versi kelima (DSM-V) yang dijadikan kitab pegangan pakar-pakar psikologi saat ini, gangguan obsesi didefinisikan sebagai pemikiran, dorongan, atau keinginan yang muncul berulang kali, tidak diinginkan, dan membahayakan diri seseorang atau menyebabkan kecemasan.

Jauh sebelum gagasan-gagasan ini dikemukakan, al-Balkhi telah menjelaskan bahwa gangguan obsesi melibatkan pikiran-pikiran mengganggu yang tidak nyata yang dialami seseorang, menghambatnya menikmati hidup dan menjalani keseharian, memengaruhi konsentrasi dan menciptakan ketakutan dalam dirinya.

Dalam keseharian, bisa saja seseorang yang mengalami gangguan obsesi mengalihkan perhatiannya dengan melakukan kegiatan lain seperti menceburkan diri dalam perbincangan atau menjalani rutinitas. Namun, tidak lama setelah kegiatan-kegiatan tersebut terhenti, ia akan kembali tenggelam dalam pikiran-pikiran yang mengganggu.

Dalam tulisan Awaad dan Ali (2015) yang mencantumkan gagasan al-Balkhi seputar gangguan obsesi, ilmuwan Arab itu menyatakan bahwa penderita umumnya memiliki cara pandang pesimis terhadap dunia. Seorang pengidap gangguan obsesi lebih percaya hal buruk akan menimpanya dan ketika diberikan sejumlah pilihan, mereka akan memilih yang paling rumit. Menurut al-Balkhi, orang tersebut juga bersikap keras terhadap dirinya sendiri.

Ketika melakukan kajian-kajian psikologi di tengah budaya Islam, al-Balkhi menyadari ada beberapa hambatan yang ditemui dalam melakukan penyembuhan gangguan obsesi. Pertama, kepercayaan budaya tentang obsesi. Pada masa itu, masih banyak orang percaya bahwa gangguan obsesi yang dialami seseorang terkait dengan kekuatan jahat atau keracunan pada empedu. Kedua, pilihan penyembuhan yang masih menitikberatkan pada penanganan fisik. Psikologi masih jauh dari populer sehingga pendekatan-pendekatan yang dilakukan al-Balkhi dianggap tidak efektif oleh masyarakat.

Kendala ketiga yang al-Balkhi temukan dalam masyarakat yang masih memegang erat keyakinan religiusnya adalah hilangnya harapan untuk sembuh. Menghadapi kenyataan ini, al-Balkhi dengan gigih menjelaskan kepada orang-orang bahwa gangguan obsesi bisa sembuh. Lebih jauh, ia meyakinkan orang-orang bahwa Tuhan menciptakan pengobatan untuk setiap penyakit sehingga para penderita gangguan obsesi tidak semestinya kehilangan harapan untuk sembuh.

Tumbuh di lingkungan budaya Islam bukanlah hal mudah bagi seorang al-Balkhi untuk memperkenalkan pendekatan alternatif dalam menyembuhkan penyakit yang diderita seseorang. Meski demikian, karya-karyanya yang ditulis ratusan tahun sebelum psikologi modern berkembang berhasil menorehkan sejarah, bahkan masih dikatakan relevan dan berguna dalam proses diagnosis pasien-pasien gangguan kejiwaan.

Sepanjang Ramadan, redaksi menayangkan naskah-naskah yang mengetengahkan penemuan yang dilakukan para sarjana, peneliti dan pemikir Islam di berbagai bidang ilmu pengetahuan, dan teknologi. Kami percaya bahwa kebudayaan Islam—melalui para sarjana dan pemikir muslim—pernah, sedang, dan akan memberikan sumbangan pada peradaban manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Naskah-naskah tersebut akan tayang dalam rubrik "Al-ilmu nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani