tirto.id - Dick Gelael memulai bisnis ayam gorengnya dari satu gerai makanan cepat saji pertama di Melawai, Jakarta Selatan pada 1979. Gerai itu secara cepat tumbuh dan membawa Dick Gelael sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia versi Forbes 2013. Dick Gelael adalah pemegang hak waralaba tunggal Kentucky Fried Chicken (KFC) di Indonesia melalui PT Fastfood Indonesia Tbk.
Selama hampir empat dekade, posisi KFC sebagai merek ternama di Indonesia makin kuat. Sampai dengan 2017, ada 628 gerai KFC yang tersebar di segala pelosok Indonesia. Nilai pendapatannya yang diraup menembus Rp5,3 triliun.
Pemegang lisensi KFC di Indonesia, Fastfood Indonesia (FAST) masih berambisi untuk berekspansi. Salah satu caranya adalah dengan menambah jumlah food truck dan food bus. Dalam laporan keuangan tahunan FAST 2017, disebutkan perseroan akan menambah beberapa unit KFC Foodbus pada 2018. Rencananya, KFC Foodbus akan diarahkan ke luar Jakarta.
Layanan food truck dari KFC terbilang baru. KFC mulai melayani ini pada Mei 2017 di rest area KM 40 ketika bertepatan dengan arus mudik Lebaran 2017. Rata-rata penjualan dari KFC Foodbus ini sebesar Rp4 juta per hari dengan keuntungan operasional bisa 13,53 persen.
Perseroan juga memiliki 2 unit KFC Foodtruck. Bedanya, KFC Foodtruck ini memiliki ukuran lebih besar yang lebih besar. Rata-rata penjualannya juga lebih besar, yakni sekitar Rp12 juta per hari.
Pengembangan "gerai berjalan" tersebut merupakan strategi perseroan dalam jangka pendek. Gerai berjalan ini hanya digunakan untuk acara atau momen-momen tertentu saja.
“Food bus itu untuk momen tertentu. Tapi kalau food truck, itu untuk melayani kabupaten, di mana belum ada gerai KFC di sana. Waktunya bisa sampai 2 bulan,” kata Justinus D. Juwono, Sekretaris Perusahaan Fast Food kepada Tirto. Rencananya, unit foodbus akan ditambah 5 unit lagi tahun ini.
Justinus tidak menampik bahwa layanan gerai berjalan itu juga bertujuan untuk memperkuat merek KFC di daerah. Apalagi, waralaba-waralaba sejenis, dari asing maupun lokal saat ini kian menjamur. Namun, Justinus menilai hal itu bukan ancaman bagi KFC. Menurutnya, segmen pasar KFC berbeda dengan waralaba lokal. Penetrasi KFC pun saat ini belum sampai pelosok-pelosok daerah.
Pria lulusan Universitas Krisnadwipayana Jakarta ini menambahkan food truck memiliki peluang untuk berkembang di Indonesia. Hanya saja, hingga saat ini, belum ada aturan yang memadai bagi food truck untuk lebih jauh berkembang.
Mengepung Pasar dengan Food Truck
Masuknya merek-merek besar ke layanan gerai berjalan ini bukan hal yang baru. Merek-merek besar dunia lainnya juga ikut masuk dalam layanan gerai berjalan ini, misal Victoria Secret, American Express, ESPN dan lain sebagainya. Ada sejumlah faktor yang membuat perusahaan-perusahaan dengan merek terkenal masuk ke dalam layanan gerai berjalan ini di antaranya untuk memikat ribuan orang per hari.
Karakter bus bisa ditempatkan dimanapun, sehingga aktivitas operasi menjadi leluasa mengincar lokasi yang strategis. Bus juga bisa menjadi sarana menggelar acara live guna menarik konsumen untuk melihat promosi yang ditawarkan.
Di sisi lain, layanan food truck mendisrupsi bisnis restoran konvensional. Bagi perusahaan besar, menjamurnya food truck ini mengancam keberlangsungan usaha, lantaran pangsa pasar mereka tergerus sangat cepat.
Kekhawatiran restoran konvensional juga bukan alasan. Di AS, industri food truck tumbuh 8 persen per tahun dalam 5 tahun terakhir ini. Pada saat bersamaan, industri restoran hanya naik 2 persen per tahun, menurut data Asosiasi Restoran di AS (PDF).
Menurut data IBISWorld Survey, sebanyak 5.000 food truck sudah tersebar di segala penjuru AS. Dari jumlah truk, layanan food truck diperkirakan menyerap 14.000 tenaga kerja, dan menjadi salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat di industri makanan.
Dalam konteks strategi KFC dengan layanan barunya melalui food truck dan food bus, tak bisa dipisahkan dari strategi merespons pasar yang kian berkembang.
Menurut Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), strategi yang dilakukan FAST sebenarnya hal yang perlu dilakukan di dunia waralaba.
“Apalagi, waralaba yang sejenis saat ini juga sudah sangat beragam, baik lokal maupun asing. Tentunya, brand awareness menjadi penting agar tetap dipilih konsumen,” kata Ketua Umum WALI Levita Supit kepada Tirto.
Strategi KFC dalam mengembangkan brand awareness di pelosok sebenarnya menjadi sinyal yang baik bagi waralaba lokal. Karena dengan begitu, waralaba-waralaba lokal akan terpacu untuk lebih kreatif dalam produknya.
“Sebenarnya pelaku waralaba kita ini menyadari pentingnya brand awareness ini. Mungkin bagi yang baru-baru saja yang suka luput. Rencana KFC ini jadi mengingatkan kita lagi untuk tidak lupa bahwa brand itu penting,” jelas Levita.
Levita melihat, upaya KFC untuk meningkatkan brand awareness di pelosok daerah tidak akan menjadi ancaman bagi waralaba lokal. Alasannya, waralaba dengan bahan dasar ayam goreng memang memiliki pangsa pasar yang sangat luas. Menurut Levita, makanan yang menjadi kegemaran kebanyakan orang Indonesia ada dua, yakni mie dan ayam. Kedua makanan ini memiliki segmen pasar yang tidak terbatas, mau tua muda atau kaya miskin, semuanya suka.
Penilaian Levita terkait pangsa pasar ayam goreng yang luas mungkin ada benarnya. Meski waralaba lokal menjamur, penjualan FAST dalam 5 tahun terakhir terus naik. Pada 2017, penjualan FAST mencapai Rp5,3 triliun, tumbuh 8,6 persen dari 2016 senilai Rp4,88 triliun.
Kenaikan penjualan FAST pada 2017 itu agak lebih lambat ketimbang 2016 yang tumbuh 9,11 persen. Namun jika ditarik lebih ke belakang, penjualan 2017 tetap lebih baik ketimbang 2015 yang naik 6,13 persen, dan 2014 yang tumbuh 6,28 persen.
Dengan pertumbuhan yang semakin melambat itu, FAST harus mulai waspada, terutama dengan pesaing-pesaing lokal yang menawarkan produk yang lebih bervariasi dengan harga yang lebih murah. Misalnya saja Sabana Fried Chicken misalnya, melalui aplikasi Go-Jek, harga ayam goreng plus nasi tercatat hanya Rp17.000-Rp19.500.,
Di Quick Chicken, harga ayam goreng plus nasi sekitar Rp14.500-Rp17.000,. Lalu di C-Bezt, harga ayam goreng plus nasi sekitar Rp20.500-Rp22.500,. Sementara di KFC, harganya agak lebih mahal sekitar Rp25.000,.
Di lain pihak, waralaba lokal tampaknya tidak takut dengan upaya KFC yang meraba-raba peluang di segmen menengah. Pasalnya, persaingan antarwaralaba fried chicken di segmen menengah cukup ketat, meski pasarnya masih terbilang luas.
"Enggak mudah jika ingin mengambil segmen pasar baru. Saat ini, kami juga masih fokus di segmen menengah, belum berpikir naik ke segmen atas seperti KFC. Fokus kami sampai 2020 adalah meningkatkan keterjangkauan dBesto," kata Irviady Hartoto, Marketing Manager Dbesto kepada Tirto.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti