tirto.id - Dayat, 51 tahun, punya pengalaman pahit saat naik KM Ciremai milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) 17 tahun silam. Setiap kali pulang ke tanah kelahirannya di Ternate, Maluku Utara, ia harus dihadapkan dengan praktik calo tiket hingga premanisme di atas kapal.
“Di atas kapal tiket dan nomor kelas tidak lagi berlaku. Tempat kita berdasarkan tiket sudah dijaga oleh preman untuk diberi kepada orang lain yang udah bayar mereka. Jadi kalau mau dapat tempat ya harus bayar dua kali,” kenang Dayat.
Pengalaman yang tak menyenangkan konsumen seperti Dayat saat memakai jasa transportasi kapal laut, rupanya dijawab dengan kemunculan maskapai penerbangan bertarif murah (Low-cost Carrier/LCC) sekitar satu dekade lalu. Harganya yang tak terpaut jauh, sedikit lebih mahal memang, tapi bisa menghemat waktu berhari-hari perjalanan membuat konsumen seperti Dayat berpindah ke lain hati.
"Dulu tahun 2000-an kalau mau pulang ke Maluku Utara tiket pesawat mahal, baru ada Merpati dan Pelita Air seingat saya. Sekarang tarif pesawat sudah terjangkau, cuma 3-4 jam sampai. Sekarang saya lebih pilih naik pesawat," kata Dayat.
Cerita Dayat yang bermigrasi jenis moda transportasi dari kapal laut ke pesawat terbang jadi fakta yang harus dihadapi oleh Pelni, BUMN pelayaran yang sejak puluhan tahun lalu jadi andalan transportasi antar pulau di Indonesia. Namun, zaman telah berubah, kemampuan kantong konsumen, dan hasrat menikmati layanan perjalanan yang lebih singkat dan nyaman tak bisa dibendung.
Catatan statistik menunjukkan adanya keterkaitan di atas kertas dengan di lapangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 1999 jumlah penumpang pesawat baru sekitar 6,6 juta penumpang. Kemudian dalam waktu tiga tahun jumlah tersebut meningkat drastis menjadi 12 juta penumpang.
Hingga 2013, pertumbuhan penumpang pesawat tak terbendung. Jumlah penumpang angkutan udara pada 2013 sudah ada 73 juta penumpang atau sudah 10 kali lipat bertambah kurang dari 15 tahun. Pada tahun lalu, bahkan sudah mencapai 83 juta penumpang.
Kenaikan penumpang jasa angkutan udara ternyata berimbas pada moda lainnya khususnya kapal laut. Bila merujuk data angkutan penumpang Pelni, pada periode yang sama di 2013, perusahaan plat merah ini hanya mampu mengangkut 4,6 juta penumpang. Padahal tahun sebelumnya Pelni masih bisa mengangkut 5,1 juta penumpang. Tahun lalu, saat jasa angkutan pesawat udara mencapai puncaknya, Pelni hanya bisa mengangkut 3,5 juta penumpang.
"Peningkatan layanan Low Cost Carrier (LCC) atau penerbangan bertarif rendah, sektor transportasi pelayaran mencatat penurunan penumpang sejak tahun 2012," jelas direksi Pelni dalam Laporan Tahunan 2016
Penurunan penumpang ini tentu berimbas pada kinerja perusahaan. Saat penerbangan murah mulai jadi primadona, pada 2013, Pelni sempat mencatat kerugian Rp669 miliar. Namun, pemerintah memberikan bantuan dengan suntikan dana Public Service Obligation (PSO) atau subsidi. Ini karena sebagai BUMN, Pelni dianggap menyentuh layanan publik yang mencakup hajat hidup orang banyak, seperti kapal perintis agar tetap melayani masyarakat.
Jumlah dana PSO ini pun makin bertambah, apalagi pemerintahan Jokowi fokus pada semangat program kemaritiman. Pada 2014 misalnya, dana penugasan hanya Rp920 miliar lalu meningkat pada 2016 menjadi Rp2,2 triliun. Sementara tahun ini diperkirakan dana penugasan akan mencapai Rp2,6 triliun yang meliputi subsidi angkutan pelayaran dan rute transportasi pelayaran hingga ke daerah terpencil.
Adanya penugasan ini mewarnai kinerja perseroan karena ada ruang margin dari PSO untuk Pelni. Berdasarkan catatan laporan tahunan perseroan, per 31 Desember 2016, Pelni membukukan pendapatan sebesar Rp4,2 triliun dan laba Rp248 miliar.
Namun, bila melihat kinerja sesungguhnya, dari jumlah penumpang dan muatan barang yang diangkut Pelni di 2016, justru mengalami penurunan masing-masing sebesar 12,5 persen dan 8,6 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya. Bisnis muatan kendaraan juga mengalami penurunan sebesar 52,3 persen.
Untungnya bisnis muatan kontainer masih bisa menolong dengan pertumbuhan 15,4 persen dan muatan ternak mengalami kenaikan 100 persen. Penugasan dari pemerintah untuk kapal perintis dan kapal angkutan ternak cukup membantu Pelni.
Mau Berlabuh ke Mana Pelni?
Industri pelayaran secara keseluruhan memang harus dihadapkan dengan industri penerbangan yang murah dan makin efisien. Tarif kapal laut memang lebih murah, tapi kendala waktu tempuh kapal laut menjadi kelemahan yang mendasar untuk bisa bersaing dengan pesawat udara.
Akhmad Sujadi dalam bukunya berjudul "65 Tahun Hadir Untuk Negeri Pelni Menghubungkan Nusantara Menyatukan Indonesia (2017) menjelaskan bahwa baru sejak 2014, manajemen Pelni melakukan beragam transformasi dan inovasi, salah satunya perbaikan dan peningkatan layanan.
Dalam sebuah survei yang bekerja sama dengan PT Sucofindo. Survei bertujuan untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan dilihat dari keluhan-keluhan atas layanan. Hasilnya, tiga besar keluhan utama adalah layanan fasilitas kamar mandi, kondisi kapal, juga masalah makanan dan minuman. Kemudian disusul dengan keluhan tempat tidur, keamanan hingga ketepatan jadwal.
“Pelni sejak 2014 telah menertibkan penumpang dan barang tanpa dokumen melalui sweeping 1 jam sebelum kapal berangkat,” kata Sujadi yang juga saat ini menjabat sebagai Manajer PR dan CSR PT Pelni (Persero).
Perbaikan layanan yang dilakukan sejak 2014 itu masih belum bisa meningkatkan lagi jumlah penumpang. Di atas kertas, penumpang justru tetap menyusut. Pelni memang tak berdiam diri, mereka berinovasi ke bisnis gaya hidup dengan menyasar komunitas, seperti, layanan meeting on board, study on board, tour on ship, venue pre-wedding, dan lain-lain.
BUMN ini juga mengoptimalkan program wisata bahari dengan mengembangkan rute-rute yang ada, dan berkolaborasi dengan Kementerian Pariwisata. Sejak 2015, Pelni sudah membuka rute wisata ke Wakatobi. Pelni kini mengoperasikan 26 kapal penumpang, 46 kapal perintis, 6 kapal barang tol laut dan 1 kapal ternak. Pelni menyinggahi 95 pelabuhan kapal penumpang dan lebih dari 300 pelabuhan kapal perintis.
Di samping itu, perseroan juga menjajal bidang distribusi barang untuk mendongkrak kinerja, seperti angkutan barang dengan kapasitas angkut yang relatif besar, general cargo, container, atau angkutan kendaraan, serta tol laut.
Dalam proyek tol laut, Pelni ditunjuk pemerintah untuk melayani tujuh trayek tol laut.
Trayek yang dilayani Pelni sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia. Sayangnya, rute-rute ini masih sangat minim muatan saat balik dari pelabuhan tujuan.
Di sini lah strategi Pelni sebagai perusahaan yang sudah berumur 65 tahun dibutuhkan, tak hanya untuk bertahan tapi bisa membuktikan jadi penentu industri dan kiprahnya sabagai BUMN. Tahun ini, Pelni fokus pada program wisata dan angkutan barang atau logistik untuk memaksimalkan segmen penumpang non-konvensional.
Inovasi merupakan kata kunci penting yang harus dilakukan Pelni termasuk perbaikan layanan. Persoalan lain adalah upaya efisiensi juga merupakan hal yang penting. Kementerian BUMN pernah menyarankan perseroan agar memulai efisiensi perusahaan dimulai dari konversi BBM ke BBG pada kapal-kapal yang beroperasi.
"Kalau semua bisa dikonversi menjadi BBG maka bisa menurunkan biaya operasional dalam jumlah signifikan," ujar Menteri BUMN Rini Soemarno dikutip Antara.
Nakhoda Pelni kini dipegang oleh manajemen baru di bawah Insan Purwarisya L. Tobing sebagai Direktur Utama PT Pelni (Persero) yang diangkat September lalu. Pelni butuh terobosan untuk bisa bertahan dan jadi penentu industri pelayaran setelah mendapat hantaman "badai" efisiennya industri penerbangan. Terobosan sesungguhnya tentu bukan lagi dari uluran tangan pemerintah.
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra