Menuju konten utama

Julia Perez dan Lambatnya Deteksi Dini Kanker Serviks

Kurangnya tindakan deteksi dini dan diagnosis yang terlambat terhadap penyakit kanker di Indonesia dinilai memengaruhi jumlah kematian akibat kanker serviks.

Julia Perez dan Lambatnya Deteksi Dini Kanker Serviks
Julia Perez saat dirawat karena kanker. Foto/instagram.com/juliaperrezz

tirto.id - Artis Julia Perez saat ini tengah berjuang melawan penyakit kanker serviks yang sudah dideritanya sejak beberapa tahun terakhir. Kanker serviks yang diderita perempuan dengan sapaan akrab Jupe itu dikabarkan telah memasuki stadium IV. Artinya, kesempatan hidup Jupe hanya 20 persen.

Dihantui vonis itu, Jupe pun melalui tahapan demi tahapan pengobatan dari radiasi hingga kemoterapi. Hidup Jupe saat ini bergantung pada obat-obatan yang harus dikonsumsinya setiap hari. Ditakutkan, kanker serviks stadium empat tersebut akan terus menggerogoti tubuhnya.

Dengan tingkat kematian yang cukup tinggi itu, kanker serviks menjadi salah satu penyakit mengerikan. Bahkan, jumlah kematian yang disebabkan kanker serviks termasuk tinggi di Indonesia.

Dilansir dari Antara, jumlah wanita penderita kanker serviks hingga kini setidaknya mencapai 21.000 kasus sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan urutan kedua tertinggi di dunia.

Lebih dari 92.000 kasus kematian terjadi pada wanita di Indonesia pada tahun 2014 akibat kanker. Sebesar 10,3 persen merupakan jumlah kematian yang disebabkan kanker serviks.

Berdasarkan data yang dirilis Rumah Sakit Kanker Dharmais, pada periode 2010-2013 ada 1.295 jiwa meninggal akibat penyakit kanker serviks. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan memperkirakan penderita kanker Indonesia akan meningkat tujuh kali lipat pada 2030.

Pencegahan sejak dini perlu dilakukan mengingat berbahayanya penyakit ini. Sebabnya, berdasarkan laporan WHO pada 2010, penyakit kanker serviks menyerang generasi muda Indonesia pada usia 21-22 tahun. Penyakit ini juga bisa menyerang remaja perempuan dengan usia di bawah 20 tahun.

Kurangnya tindakan deteksi dini dan diagnosis yang terlambat terhadap penyakit kanker di Indonesia dinilai memengaruhi jumlah kematian akibat kanker serviks. Seringkali kanker sudah menyebar ke organ lain di dalam tubuh ketika seseorang memeriksakan kondisinya. Alhasil pengobatan yang dilakukan menjadi semakin sulit.

Hasil penelitian WHO menunjukkan, tindakan skrining penyakit kanker masih minim dilakukan di Indonesia. Khususnya untuk skrining kanker serviks yaitu, sitologi serviks dan ulasan asam asetat, secara umum belum tersedia di pusat kesehatan primer pada 2014.

Sementara itu, WHO juga merekomendasikan kanker serviks yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) dapat dicegah dengan tindakan primer, yaitu pemberian vaksin HPV antara lain vaksin Cervarix dan Gardasil.

Dalam laporan Tirto.id, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) DKI Jakarta Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K) mengatakan, vaksin kanker serviks sebaiknya pertama kali diberikan pada usia remaja, sebagai persiapan menuju masa dewasa dan kehamilan.

Rini menuturkan, vaksin HPV ini diberikan sejak anak usia 10-26 tahun untuk mencegah terjadinya kanker serviks. Imunisasi HPV merupakan pencegahan primer kankers serviks di mana keberhasilannya dalam pencegahan kanker mencapai 100 persen jika diberikan sebanyak dua kali pada anak usia 9-13 tahun.

"Pemberian vaksin HPV untuk anak kecil sudah lama kita anjurkan kepada pemerintah. Vaksin itu cukup efektif mengurangi risiko terjadinya kanker serviks di Indonesia, apalagi diberikan secara dini kepada masyarakat," kata Rini kepada Tirto.id, Jakarta, Kamis (24/11/2016).

Sayangnya, selama ini vaksin HPV hanya dilakukan rumah sakit swasta saja. Artinya, penetrasinya masih sangat terbatas. Untuk itu, upaya melakukan vaksinasi secara nasional sangat penting.

Baru-baru ini Kementerian Kesehatan telah menetapkan menambah tiga vaksin dasar mulai 2017 dalam rangka program nasional imunisasi dasar lengkap. Salah satunyam vaksin HPV yang nantinya bisa divaksinasi pada anak-anak tanpa perlu menunggu dewasa.

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek juga menyatakan, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menyalurkan vaksin baru tersebut guna menghindari adanya praktik vaksin palsu seperti yang terungkap pada 2016.

Baca juga artikel terkait JULIA PEREZ atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari