Menuju konten utama

Jokowi & Prabowo Kontradiktif Soal Energi "Hijau" B20 & Lingkungan

Program B20 berbasis kelapa sawit, komoditas yang dianggap sebagai salah satu penyumbang kerusakan hutan di Indonesia.

Jokowi & Prabowo Kontradiktif Soal Energi
Capres nomor urut 01 Joko Widodo dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto berjabat tangan seusai mengikuti debat capres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - “Bagaimana kebijakan dan strategi Bapak untuk memperbaiki tata kelola sawit agar target biodiesel minimal 20 persen atau B20 tercapai, buruh kebun dan petani mandiri sejahtera, serta keberlanjutan lingkungan terjaga?”

Pertanyaan tersebut diajukan dalam debat Capres Kedua yang berlangsung Minggu malam (17/2). Kedua Capres dari masing-masing nomor urut kompak menjawab pentingnya komoditas sawit bagi Indonesia dan pengelolaan serta pemanfaatan B20—bahan bakar solar yang mengandung 20 persen minyak sawit atau biodiesel.

Prabowo bahkan membandingkan capaian produksi B20 Indonesia yang menurutnya tertinggal jauh dibanding Brasil yang telah memproduksi B90—minyak sawit sampai 90 persen pada solar atau biodiesel.

“Strategi kami akan menggenjot kelapa sawit, aren, kasava bahkan etanol dari gula. Semua akan kita gunakan untuk kita bisa tidak mengimpor bahan energi dari luar negeri. Itu strategi kita,” ucap Prabowo seraya menambahkan pentingnya pemanfaatan kelapa sawit untuk menjadi tambahan bahan bakar karena dalam waktu dekat Indonesia bisa menjadi importir tetap untuk bahan bakar minyak (BBM) maupun minyak mentah.

Joko Widodo, calon presiden kubu petahana menjelaskan saat ini Indonesia telah memproduksi 98 persen dari target awal untuk B20. Harapannya, sebanyak 30 persen dari total produksi kelapa sawit Indonesia dapat digunakan sebagai biodisel yang merupakan energi baru terbarukan. Menurut Jokowi, dengan rampungnya produksi B20 yang terjadi saat ini, Indonesia juga menuju pada pemanfaatan B100.

“Sedang kita kerjakan sehingga kita tidak ketergantungan kepada minyak dari impor,” kata Jokowi.

Mulai 1 September 2018, pemerintah telah memberlakukan mandatori B20. Kebijakan ini mengharuskan adanya pencampuran 20 persen Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel dengan 80 persen Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar.

Kebijakan penggunaan dan penerapan B20 mendasar pada Perpres Nomor 66 Tahun 2018 serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018. Dua regulasi itu mengatur tentang denda Rp6 ribu per liter volume, bagi Badan Usaha (BU) BBN dan BU BBM yang tidak menjalankan mandatori B20.

Alibinya, dengan mandatori ini diharapkan Indonesia bisa menutup kekurangan produksi BBM yang ujungnya dapat mengurangi ketergantungan impor minyak. Sebab, kemampuan produksi minyak Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar 780 barel per hari. Padahal kebutuhan minyak di dalam negeri bisa mencapai 1,6 juta barel per hari.

Kekurangan produksi minyak itu tentu harus ditambal dengan impor yang menguras devisa negara sampai dengan Rp24 triliun. Celah kekurangan produksi inilah yang coba ditutupi dengan program B20.

Pemerintah mengklaim, penggunaan B20 terus mengalami peningkatan. Satu bulan setelah aturan diterbitkan, penggunaan B20 telah mencapai 47 persen dari target pengguna 304,773 kiloliter.

Per Januari 2019 atau empat bulan setelah kebijakan mandatori B20 terbit, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim adanya penghematan devisa negara dari impor solar. “Dalam empat bulan, kebijakan masif untuk berbagai sektor menggunakan B20 mampu menghemat sebesar 937,84 juta dolar AS,” ucap Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM yang dikutip dari laman Setkab.

Infografik alternatif pengganti minyak sawit

Infografik alternatif pengganti minyak sawit

Data impor minyak berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan kondisi setelah mandatori B20. Pada Oktober 2018 atau satu bulan setelah diterbitkannya mandatori B20, impor minyak mentah dan hasil minyak justru meningkat masing-masing 23,72 persen dan 30,36 persen dibanding September 2018. Nilainya masing-masing mencapai 878,4 juta dolar AS dan 1,72 miliar dolar AS.

Impor minyak mentah dan hasil minyak perlahan mulai berkurang pada November 2018. Nilai impor masing-masing sebesar 857,6 juta dolar AS dan 1,7 miliar dolar AS. Secara bulanan, impor minyak mentah dan hasil minyak berkurang masing-masing 2,37 persen dan 1,63 persen.

Impor minyak mentah dan hasil minyak berkurang signifikan pada Desember 2018 masing-masing sebesar 45,07 persen dan 26,23 persen. Secara nilai, importasi minyak mentah dan hasil minyak pada periode akhir tahun 2018 masing-masing senilai 471,1 juta dolar AS dan 1,28 miliar dolar AS.

Memasuki Januari 2019, impor minyak mentah dan hasil minyak juga berada dalam tren menurun. Nilai impor masing-masing sebesar 455,7 juta dolar AS dan 1,06 miliar dolar AS. Penurunannya setara 3,27 persen dan 20,98 persen secara bulanan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution pernah bilang penurunan impor minyak merupakan dampak perluasan mandatori B20 yang diterapkan sejak September 2018. “Artinya kebijakan B20 ada pengaruhnya terhadap neraca perdagangan migas,” kata Darmin.

B20 yang Dianggap Kontradiktif pada Lingkungan

Pernyataan Jokowi dan Prabowo dalam debat kedua soal pemanfaatan B20 merupakan hal yang bisa dibilang kontradiktif dengan masalah lingkungan. Basis program B20 yang berasal dari kelapa sawit, komoditas yang selama ini dianggap sebagai salah satu penyebab utama penebangan hutan atau deforestasi.

Data University of Maryland yang dikutip lembaga pemerhati lingkungan Greenpeace, menunjukkan Indonesia kehilangan sekitar 355,5 ribu hektare hutan sepanjang tahun 2017 lalu. Dari angka itu, sebesar 80.000 hektare di antaranya dipergunakan sebagai perkebunan kelapa sawit.

Berkurangnya lahan hutan primer menurut laporan itu, paling besar melanda Kalimantan dan Sumatera dengan persentase masing-masing 68 persen dan 51 persen. Penurunan terbesar terlihat di Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Jambi. Di sisi lain, Sumatera Barat dan Sumatera Utara mengalami peningkatan tutupan hutan yang tinggi.

Laporan itu juga menyebutkan bahwa lebih dari seperempat dari 12,2 juta hektare lahan gambut yang dilindungi, telah menjadi area konsesi perkebunan. Di mana, area tersebut didominasi oleh perkebunan kayu pulp dan kelapa sawit. Sehingga, area lahan itu berpotensi beralih fungsi atau konversi menjadi perkebunan atau pertanian.

Dengan begitu, kelapa sawit masih menjadi penyebab deforestasi terbesar di Indonesia. “Sama saja bohong ya. Enggak menyelesaikan masalah, karena mau mengurangi emisi akibat (penggunaan BBM) fosil, tapi mengakibatkan perubahan lahan hutan,” kata Dwi Suwung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Program B20 sebagai sumber energi yang bakal ditingkatkan menjadi B100, menurut Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono hanya solusi jangka pendek dan bukan untuk jangla panjang. Ia bilang peningkatan B20 menjadi B100 akan menimbulkan masalah ekspansi lahan hutan dalam kurun waktu 50 tahun ke depan.

"Seiring meningkatnya kebutuhan energi tentu akan menambah kebutuhan bahan baku yaitu sawit. Pada akhirnya menimbulkan persoalan baru, misalnya alih fungsi hutan untuk sawit, konflik dengan masyarakat, land grabbing atau pengambilan lahan paksa, serta konflik agraria. Itu akan lebih masif terjadi," jelas Yuyun yang mengkritisi moratorium sawit yang hanya berlaku selama tiga tahun saja.

Program B20 atau target B100 memang sekilas membawa "embel-embel" energi "hijau" tapi justru punya konsekuensi pada aspek lingkungan terutama ketersediaan lahan hutan di masa depan. Program B20 lebih menonjol pada aspek kepentingan jangka pendek untuk meredam defisit neraca perdagangan karena ketergantungan impor bahan bakar fosil. Kesiapan industri untuk pemanfaatan B20 sampai B100 juga masih menyisakan tanda tanya, apakah industri mampu mengikutinya seperti industri otomotif?

Baca juga artikel terkait BIODIESEL B20 atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra