Menuju konten utama

Jokowi Mengklaim Tak Pernah Takut Memutuskan Kebijakan, Benarkah?

Klaim Jokowi soal tak pernah takut memutuskan kebijakan dinilai hanya pencitraan. Sebab, selama memimpin terdapat kebijakan yang berubah setelah mendapat tekanan publik.

Jokowi Mengklaim Tak Pernah Takut Memutuskan Kebijakan, Benarkah?
Presiden Joko Widodo memberi sambutan ketika bersilahturahmi dengan pelaku usaha perikanan tangkap penerima Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (30/1/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo mengklaim dirinya tidak pernah takut memutuskan kebijakan publik selama menjabat sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab, kata Jokowi, sebagai negara besar, tantangan yang dihadapi Indonesia tak kalah besarnya.

“Negara besar tentu tantangannya juga besar. Tapi perlu saya sampaikan, saya tidak pernah takut dengan apa pun,” kata Jokowi saat pidato deklarasi Forum Alumni Jawa Timur untuk Jokowi-Ma'ruf Amin, di kawasan Tugu Pahlawan Kota Surabaya, seperti dikutip Antara, Sabtu lalu.

Di depan ribuan pendukungnya, capres petahana ini mengaku sering mendapat kritik dari lawan politik karena kebijakan-kebijakannya dianggap tak sesuai harapan mereka.

“Sekali lagi, tidak ada rasa takut sedikit pun dalam saya mengambil kebijakan untuk kebaikan bangsa ini, untuk kebaikan negara ini, untuk kebaikan rakyat kita,” kata Jokowi yang disambut teriakan "Jokowi lagi, Jokowi lagi" oleh para peserta.

Namun, pernyataan Jokowi ini dikritik Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade. Ia menuding pernyataan Jokowi hanya sebagai upaya pencitraan. Sebab, kata politikus Gerindra ini, langkah-langkah Jokowi selama ini banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan publik.

“Ini, kan, citra. Yang dibutuhkan masyarakat realita. Jadi kadang beda kata dengan perbuatan,” kata Andre kepada Tirto, Selasa (5/2/2019).

Apalagi, kata Andre, tidak sedikit kebijakan Jokowi yang dinilai blunder dalam empat tahun terakhir ini. Di antaranya: kenaikan bahan bakar minyak (BBM), kebijakan full day school yang sempat menuai protes, hingga pembebasan Abu Bakar Ba'asyir yang dibatalkan karena sorotan publik.

Menurut Andre, sejumlah contoh tersebut merupakan bentuk ketidakkonsistenan Jokowi dalam mengambil kebijakan.

Selain itu, Andre mencontohkan sikap Jokowi yang permisif dengan menerima investasi Cina, sekaligus tenaga kerja dari Negeri Tirai Bambu itu. Politikus Gerindra ini mengatakan, Indonesia seharusnya menerima investasi, tetapi tidak menerima tenaga asing secara berlebihan.

“Keberanian itu harus terlihat dengan memastikan investasi asing masuk Indonesia monggo, tapi pastikan investasi asing bukan menjadi lahan buruh asing masuk. Itu PR [pekerjaan rumah] Pak Jokowi,” kata dia.

Sebaliknya, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf Amin, Irma Suryani Chaniago menolak tudingan tersebut. Menurut dia, beberapa kebijakan yang berubah setelah disorot publik, justru dinilai sebagai bentuk transparansi pemerintahan Jokowi.

“Itu artinya Pak Jokowi sangat transparan dan bijak sebagai pemimpin yang mau mendengar kritik rakyat, bukan otoriter,” kata Irma saat dihubungi reporter Tirto.

Irma membantah isu tenaga kerja asing (TKA) yang membanjiri Indonesia. Sebab, kata Irma, anggota DPR sudah sidak dan menemukan fakta bahwa jumlah TKA yang ada tidak berlebihan dan memenuhi aturan yang berlaku.

Politikus Nasdem ini juga membantah tudingan soal utang yang selalu “digoreng” oleh kubu Prabowo-Sandiaga. Ia justru menuding Jokowi menjadi “korban” dari pekerjaan rumah rezim sebelumnya, sehingga perlu menyelesaikannya.

“Jokowi itu, kan, mewariskan banyak PR dari periode sebelumnya. Janji tidak impor, kan, harus didahului dengan memperbaiki infrastruktur dan irigasi dulu agar kebutuhan dalam negeri bisa stabil dan harga bisa dikontrol,” kata dia.

“Jadi impor yang dilakukan [pemerintah Jokowi] adalah dalam rangka menstabilkan harga dan persiapan menuju swasembada,” kata Irma berdalih.

Pernyataan Jokowi dalam Konteks Kampanye

Pengajar ilmu politik di UIN Syarief Hidayatullah Adi Prayitno menilai publik perlu memperhatikan konteks pernyataan Jokowi.

Menurut Adi, pesan Jokowi diungkapkan dalam rangka kampanye untuk mencitrakan diri sebagai pemimpin yang tegas.

“Dia [Jokowi] ingin menegaskan di depan pendukungnya bahwa dia tidak ingin seperti kandidat yang lainnya, anggaplah Prabowo yang pernyataan-pernyataannya itu suka plin-plan. Itu [pernyataan Jokowi] konteksnya begitu. Prabowo itu, kan, suka berubah-ubah,” kata Adi.

Namun, kata Adi, selama memimpin Jokowi juga sering melakukan kebijakan yang “blunder.” Adi mencontohkan soal rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir, hingga pemberian remisi bagi I Noyamn Susrama, otak intelektual pembunuhan wartawan Radar Bali.

Menurut Adi, semua kebijakan “blunder” tersebut merupakan kesalahan Jokowi. Namun, kata Adi, kesalahan-kesalahan itu bisa dimaklumi jika sudah dikoreksi.

“Mau raja, mau kiai, mau ustaz apalagi pemimpin politik, pasti [pernah] salah. Pasti sempat membuat kebijakan yang blunder,” kata Adi.

Menurut Adi, kebijakan yang direvisi juga tidak berarti Jokowi mudah berubah sikap saat ditekan publik. Adi menilai, Jokowi justru menerapkan konsep demokrasi dalam bernegara yang menerima kritik publik, lalu mengakomodirnya dalam kebijakan.

“Ini logika demokrasi sehingga kalau ada kebijakan dianggap tidak populis, kebijakan dianggap tidak merakyat pasti direvisi, pasti dirombak total, pasti di-review sebagai bagian usaha mendapat simpati biar mendapat dukungan,” kata Adi.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz