tirto.id - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Eryanto Nugroho mengkritik jalannya reformasi hukum selama tiga tahun masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dia menilai salah satu agenda nawacita pemerintahan Jokowi-JK tersebut belum dilaksanakan secara konsisten.
Salah satu indikasinya, menurut Eryanto, ialah mandeknya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dia juga menyoroti masih lemahnya sistem penegakkan hukum dan profesionalitas lembaga penegak hukum yang belum membaik.
"Saya rasa presiden Jokowi harus mengedepankan hukum daripada politik. Jangan sampai tergoda dengan kebijakan populisme yang sekedar untuk mencari dukungan," kata Eryanto dalam diskusi The Indonesian Forum Seri 43 bertajuk "Capaian Reformasi Hukum dalam Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK" di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/10/2017).
Dalam hal penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu, dia menilai Jokowi malah semakin tak konsisten. Dia mencontohkan, Jokowi sama sekali tidak menunjukkan sikap tegas dalam merespon kasus penyerangan Kantor YLBHI beberapa waktu lalu.
Maraknya tindakan main hukum sendiri dalam tiga tahun belakangan juga menunjukkan bahwa penegakkan hukum tidak berjalan dengan baik.
"Banyak aktor politik yang tersangkut kasus hukum, misal dari ketua DPD dan juga ketua DPR. Dan masyarakat melihat mereka mulai mengangkangi hukum," Eryanto menambahkan.
Dia juga mengkritik langkah Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Ormas. Regulasi ini, menurut Eryanto, bertentangan dengan kebebasan berserikat yang diatur oleh Undang-undang,
Kendati demikian, ia mengapresiasi pendekatan institusi yang dilakukan Jokowi untuk melakukan reformasi birokrasi. Misalnya, dengan menghapus beberapa aturan tak perlu dan membuat badan Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli).
Karena itu, dia mengingatkan, "Masih belum terlambat saya kira untuk melakukan perbaikan.”
Disamping itu, ada hal-hal yang sebenarnya perlu dilakukan Jokowi dalam melanjutkan kembali program Reformasi hukum di Indonesia, salah satunya melalui politik legislasi.
Menurut Eryanto, produktifitas dewan dalam mengeluarkan Undang-Undang masih jauh dari target yang diharapkan. Ia mencatat dari 50 target UU di Prolegnas di tahun 2017, hingga saat ini baru ada 4 yang telah disahkan.
"Inilah langkah yang harus diambil oleh Presiden. Jangan hanya tergoda untuk membuat Perppu, karena (Perppu) itu mensyaratkan situasi kedaruratan," kata dia.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Addi M Idhom