Menuju konten utama

Jika PDIP-Golkar Pertama Kali Berkoalisi di Pilgub Jabar

Di Jawa Barat, Golkar-PDIP tak pernah berkoalisi dalam Pilgub langsung, dan keduanya selalu kalah.

Jika PDIP-Golkar Pertama Kali Berkoalisi di Pilgub Jabar
Deddy Mizwar, Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil. ILUSTRASI/Gery

tirto.id - Baru-baru ini, Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi mengatakan PDIP adalah mitra strategis koalisi di Pemilihan Guberbnur Jawa Barat 2018. Berkaca pada dua Pilgub Jabar sebelumnya, tahun 2008 dan 2013, ‘Beringin’ dan ‘Banteng’ memang tidak pernah berkoalisi. Hasilnya pun buruk: keduanya kalah.

Jika PDIP dan Golkar berkoalisi di Pilgub Jabar 2018, hal tersebut menjadi dobrakan dalam sejarah perjalanan kedua partai di Jabar. Tapi apakah koalisi ini dapat menumbangkan dominasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)?

Di Pilgub Jabar 2008, Golkar mengusung pasangan Dani Setiawan - Iwan Sulandjana, sementara PDIP mengusung pasangan Agum Gumelar - Nu'man Abdul Hakim.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dani-Iwan menempati posisi buncit dengan perolehan suara 24,95 persen. Nasib serupa dialami pasangan Agum-Nu'man yang juga kalah, persisnya hanya menempati peringkat kedua dengan perolehan suara 34,55 persen.

Keduanya takluk dari pasangan Ahmad Heryawan (Aher) - Dede Yusuf yang diusung PKS dan PAN. Walau PKS dan PAN hanya memiliki 21 kursi (21 persen) di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jabar periode 2004-2009, namun Aher-Dede mampu memperoleh suara 40,50 persen.

Baca juga:

Kekalahan PDIP dan Golkar itu kembali terulang di Pilgub Jabar 2013. Saat itu, terdapat empat pasangan yang diajukan partai dan satu pasangan independen. Golkar mencalonkan pasangan Irianto MS Syaifudin - Tatang Farhanul Hakim dan PDIP mengusung pasangan Rieke Diah Pitaloka - Teten Masduki. Dua partai itu mengajukan masing-masing kandidat tanpa berkoalisasi dengan partai lain, alias sorangan.

Hasilnya, Irianto-Tatang menempati urutan keempat dengan perolehan suara sebesar 12,17 persen. Sedangkan Rieke-Teten menempati peringkat kedua dengan perolehan suara sebesar 28,41 persen. Keduanya lagi-lagi harus mengakui keunggulan petahana gubernur Aher yang kali ini berpasangan dengan Deddy Mizwar. Pasangan yang diajukan oleh PKS, PPP, PKB dan Hanura itu memperoleh suara 32,55 persen.

Pelajaran bagi Golkar-PDIP

Sebagai partai yang tergabung dalam Koalisi Kerjasama Partai Pendukung Pemerintah (KP3) Jokowi-JK, PDIP dan Golkar mesti belajar dari pengalaman.

Selain dua Pilgub tersebut, PDIP dan Golkar juga pecah kongsi di pemilihan presiden (Pilpres) 2014. Golkar masuk Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo-Hatta dan PDIP mengusung Jokowi-JK lewat Koalisi Indonesia Hebat-nya.

Jokowi-JK memang keluar sebagai pemenang Pilpres 2014, namun Jokowi-JK tidak mampu menandingi perolehan suara Prabowo-Hatta di Jabar. Jokowi-JK hanya meraup 9.530.315 suara, atau sekitar 19,57 persen selisihnya dibanding Prabowo-Hatta yang meraup 14.167.381 suara.

Setahun kemudian, haluan politik Golkar berubah. Pada November 2015 Golkar menyatakan diri masuk KP3 dan pada Juli 2016 partai yang diketuai oleh Setya Novanto itu mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden di Pilpres 2019.

Infografik Benci Tapi Rindu di pilgub jabar 2018

Guna meraup suara sebesar-besarnya, setidaknya PDIP dan Golkar dapat mengerahkan kader mereka yang saat ini menjabat sebagai pimpinan daerah kabupaten/kota di Jabar. Total ada 15 kepala dan wakil kepala daerah yang berafiliasi dengan PDIP dan Golkar.

Kader partai pimpinan Megawati menjadi bupati atau wakil bupati di hampir seluruh wilayah Jabar bagian timur yaitu Kuningan, Cirebon, Majalengka, Pangandaran, Indramayu, Ciamis – dan Bandung Barat. Sementara itu, kader Beringin mengisi pos kepala daerah di bupati Sukabumi, Bandung, Cianjur, Sumedang, Subang, Purwakarta, Bekasi dan walikota Bekasi dan Banjar.

Menjadi sangat menarik jika PDIP-Golkar sanggup mengerahkan para kepala daerah tingkat II sebagai mesin politik yang efektif dalam Pilgub Jabar tahun depan. Jika mesin politik itu bisa bergerak optimal, pertarungan dalam Pilgub Jabar akan berlangsung sengit. PKS tidak bisa begitu saja meremehkan koalisi keduanya. Margin sekitar 4 persen antara kandidat PKS dan kandidat PDIP dalam Pilgub Jabar 2013 bukanlah margin yang sangat lebar.

PDIP, Antara Golkar dan Nasdem

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga Indo Barometer di 27 kabupaten/kota di Jabar pada 17-23 Mei 2017, elektabilitas tokoh PDIP, seperti Rieke Diah Pitaloka dan Puti Guntur Soekarno, rendah. Bahkan peringkat keduanya tidak mampu menembus lima besar.

Sebaliknya, survei tersebut menunjukkan Ridwan Kamil, Deddy Mizwar, dan Dedi Mulyadi adalah tiga kandidat calon gubernur terkuat. Sementara, Dedi Mulyadi sudah diusung Golkar, Deddy Mizwar menggaet PKS dan Ridwan Kamil dicalonkan oleh Nasdem.

Baca juga:

Di satu sisi PDIP mesti mempertahankan relasi partai KP3, namun di sisi lain PDIP mesti memilih berkoalisi antara dengan Golkar atau Nasdem. Pasalnya, baik Dedi Mulyadi maupun Ridwan Kamil, sejauh ini, tidak ingin dicalonkan sebagai wakil gubernur. Akibatnya, koalisi PDIP-Nasdem-Golkar, sampai saat ini masih sulit dilakukan.

Di DPRD Jabar periode 2014-2019 Nasdem memiliki lima kursi (5 persen), Golkar tujuh belas kursi (17 persen), dan PDIP 20 kursi (20 persen). Berdasarkan Pasal 5 Ayat 2 Peraturan KPU Nomor 9/2016, untuk bisa mencalonkan calon gubernur dan wakil gubernur partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki paling sedikit 20 persen kursi di DPRD.

Banyak yang berpikir kans Ridwan Kamil sudah tertutup. Tapi masih tersedia cukup waktu bagi para anggota KP3 untuk merumuskan ulang pilihan-pilihannya. Jika elektabilitas Ridwan Kamil masih sangat tinggi, sementara kandidat lain masih tertinggal jauh, peta masih sangat mungkin berubah.

Baca juga artikel terkait PILGUB JABAR 2018 atau tulisan lainnya

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdul Salam
Editor: Zen RS & Husein Abdul Salam