Menuju konten utama

Jika Habiburokhman Jadi Melayang dari Monas

Pada detik-detik pertama jantung berdegup kencang, darah serasa terpompa naik kepala, akibatnya terasa pusing. Kemudian muncul sensasi dahaga yang luar biasa. Namun, Habiburokhman pasti tak sempat memikirkannya, karena .....brukk, tubuhnya sudah terhempas ke tanah pada detik ke-5,19.

Jika Habiburokhman Jadi Melayang dari Monas
(Ilustrasi) bunuh diri. Foto/Shutterstock.

tirto.id - Tak mudah menjadi seorang Habiburokhman dalam pekan-pekan ini. Gara-gara relawan Teman Ahok mengklaim telah mengumpulkan satu juta Kartu Tanda Penduduk (KTP) – sebagai syarat pencalonan Basuki Thahaja Purnama (Ahok) untuk maju pemilihan gubernur Jakarta 2017 –, ia mendapat senggolan dari kanan-kiri untuk merealisasikan janjinya terjun dari puncak Monumen Nasional (Monas).

Semuanya bermula ketika Kepala Bidang Advokasi DPP Partai Gerindra ini melanturkan janji ngawurnya di Twitter pada 26 Februari 2016. Ia meragukan kemampuan para relawan dari Teman Ahok yang bertekad mengumpulkan satu juta Kartu Tanda Penduduk (KTP) ."Saya berani terjun bebas dari Puncak Monas kalau KTP dukung Ahok beneran cukup untuk nyalon. #KTPdukungAhokcumaomdo???" tulisnya.

Habiburokhman mengaku dirinya bukanlah orang yang sembarangan membuat nazar. Ia mengaku dalam keadaan sadar dan ikhlas ketika menulis janjinya untuk terjun bebas dari Monumen Nasional (Monas) tersebut.

Sial baginya, para relawan Teman Ahok membuktikan mereka tidak asal bicara. Seperti klaim mereka, pada hari Minggu (19/6/2016) lalu, Teman Ahok menyatakan keberhasilan mereka dalam penggalangan satu juta KTP tersebut, tepat setahun setelah mereka memulai aksi mereka.

Habiburokhman sendiri sudah menafikan kabar itu. "Saya menganggap klaim tersebut tidak lebih dari psywar politik murahan, hanya untuk mengangkat popularitas Ahok yang dibenci rakyat," sebut Habiburokhman dalam akun twitter miliknya. Tapi catatan digital tak pernah terlupakan publik. Sindiran politikus, kicauan netizen dan bombardir pertanyaan wartawan, harus Habiburokhman hadapi setiap hari.

Jatuh dari Ketinggian

Namun bolehlah kita berandai Habiburokhman seorang gentleman, apa yang akan terjadi?

Science20.com menulis, melompat dari ketinggian 10 meter di atas permukaan tanah sudah memiliki risiko untuk bertemu dengan kematian. Persentase itu jadi naik lebih tinggi menjadi 95-98% jika melompat dari ketinggian 46 meter (150 kaki) di atas permukaan tanah atau 76 meter (250 kaki) di atas permukaan air, demikian seperti dikutip dari laman Lostallhope.

Monas memiliki tinggi 132 meter. Jika Habiburokhman benar terjun dari ketinggian itu, apa yang dirasakannya ketika melayang di udara kurang lebih sama dengan ketika seseorang melakukan aktivitas bungee jumping dari ketinggan di atas 100 meter. Dalam bilangan detik, akan muncul berbagai hal sekaligus pada tubuhnya, di antaranya jantung yang berdegup lebih kencang, darah seperti terpompa ke kepala, pusing, rasa haus atau dehidrasi, sakit di telinga serta kemungkinan pembengkakan dan pembekuan pembuluh darah.

Namun ada yang membedakan di situ yakni kesadaran bahwa ia tak akan selamat. Ini adalah perbedaan yang besar. Orang yang melakukan bungee jumping tahu apa yang dilakukan adalah aman. Otak merespons rasa ini sehingga mengkonversi dampak terjun menjadi tak lebih dari sebuah tantangan adrenalin. Tapi bagi orang yang berniat mati, rem ini tak ada.

Secara psikologis, dalam detik-detik terakhir itu mungkin terlintas rekaman seluruh hidup, tapi pasti tak akan sempat berpikir jauh. Pada detik ke 5,19, brukkk.....tubuh akan terhempas ke tanah. Ini sesuai dengan persamaan fisika untuk mengukur jatuhnya objek dari tempat ketinggian, yaitu akar dari 132 meter (tinggi Monas) dikali dua yang dibagi dengan percepatan gravitasi di dekat permukaan bumi sebesar 9,8 meter per detik kuadrat.

Setelah itu, kepastian yang terjadi adalah kematian seketika dengan sekujur luka berupa fraktur tulang panjang dari lengan, kerusakan pada tulang rusuk, fraktur panggul serta luka pada kepala, dada dan perut. Jika toh secara ajaib Habiburokhman lolos dari maut, kemungkinan ia akan mendapati luka berat yang permanen, fraktur dan cedera pada tulang belakang.

Bunuh diri di Indonesia

Lepas dari memenuhi janji politik, terjun dari Monas adalah tindakan bunuh diri. Bicara soal terjun dari gedung, Indonesia punya banyak catatan. Pada tanggal 29 Mei lalu, seorang pria transgender (waria) melompat dari Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) kilometer 51 Tol Pulo Gebang arah Cakung, Jakarta Timur. Tubuhnya menimpa sebuah mobil sedan yang kebetulan sedang meluncur di bawahnya.

Tanggal 20 April, seorang ibu dua anak juga terjun bebas dari unit apartemen miliknya di lantai 9 Menara Latumeten Tower D, Jakarta Barat. Ia diduga nekat melakukan hal itu karena tekanan mental berat akan masalah yang sedang dihadapinya.

Pada tempat yang sama, pada tanggal 1 Januari 2016, seorang pria berumur 73 tahun yang diketahui bernama Kok Kum Tie juga melakukan tindakan bunuh diri dengan melompat dari lantai 9 unit 9A.

Pada 30 Maret, seorang pria bernama Ngadiyono, 32, nekat melompat dari lantai 7 Pusat Grosir Cililitan (PGC), Jakarta Timur. Ia diduga mengalami depresi.

Seorang pria warga negara Jepang juga diketahui melakukan tindakan bunuh diri dengan melompat dari lantai 25 sebuah hotel di Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada tanggal 23 Maret.

Sementara itu, tanggal 13 Maret, pria yang diketahui bernama Kurniadi, 33, melakukan tindak bunuh diri dengan melompat dari lantai 6 pusat perbelanjaan Senayan City, Jakarta Pusat.

Salah satu kasus bunuh diri terkenal di Indonesia yang dilakukan dengan melompat dari ketinggian salah satunya adalah kasus bos PT Texmaco yang juga tokoh Partai Golongan Karya (Golkar) Marimutu Manimaren. Ia melompat dari lantai 56 Hotel Aston di kawasan Semanggi, Jakarta, pada tahun 2003.

Data dari World Health Organization (WHO) pada 2012 mencatat bahwa angka bunuh diri di Indonesia adalah 4,3 per 100 ribu orang. Perempuan lebih banyak melakukan tindakan tersebut dengan angka 4,9 dibandingkan dengan laki-laki dengan angka 3,7 per 100 ribu orang.

Frustrasi Agresi

Psikolog dari Universitas Gadjah Mada, Maria Goretti Adiyanti, mengatakan, kasus-kasus bunuh diri pada umumnya disebabkan oleh perasaan frustrasi seseorang yang kemudian mendorong orang tersebut untuk melakukan tindakan agresif, dalam hal ini tindakan bunuh diri.

"[Penyebab] Yang kedua adalah depresi. Seseorang depresi dan ia tidak memiliki orang yang dapat diajak bicara. Akhirnya ia menyelesaikannya dengan jalan pintas, dengan cara yang bisa ia lakukan sendiri," katanya, kepada tirto.id.

Ia menekankan pentingnya kecepatan penanganan pada orang-orang yang mengalami situasi-situasi tersebut untuk mencegah mereka melakukan tindakan yang lebih jauh, yaitu tindakan bunuh diri.

"Jika sebabnya depresi, depresi ini harus di sembuhkan. [...] Jika ia frustrasi, penyebab frustasinya ini yang harus dihilangkan," kata Adiyanti. "Harus cepat ditangkap problemnya apa, dan lalu dilakukan pendampingan."

Dengan alasan-alasan di atas, ia menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh politisi tersebut sebenarnya bukanlah merupakan hal yang serius dan hanya bagian dari permainan psikologis untuk menekan Ahok. "Itu hanya psywar saja. Kalau dalam politik [orang] kan memang senang saling melecehkan," kata Adiyanti.

Pada akhirnya, serius atau tidak, seruan-seruan janji mustahil seperti yang dilakukan oleh Habiburokhman– dan sebelumnya politis Partai Demokrat Anas Urbaningrum, yang mengatakan akan menggantung dirinya sendiri di Monas jika terbukti menjadi tersangka dalam kasus korupsi terkait proyek Hambalang – sudah sepatutnya dipertimbangkan lagi oleh para pelaku politik di Tanah Air.

Jika janji-janji mustahil itu diumbar dan kenyataan berkata lain, publik hanya akan mencatat mereka sebagai orang yang mencetak omong kosong.

Langkah-langkah elakan sudah dilancarkan dan rasa-rasanya, tidak lama lagi, publik akan dihadapkan dengan seorang politisi Gerindra yang akan menjilat ludahnya sendiri.

Baca juga artikel terkait HUMANIORA atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Humaniora
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Teguh Budi Santoso