tirto.id - “Tidak pernah ada orang, baik lelaki maupun perempuan, tidak saya, tidak juga Bill, tidak ada satupun yang lebih layak dari Hillary Clinton untuk menjadi presiden Amerika Serikat!” Obama setengah berteriak, disambut keplok tangan dan riuhnya sambutan kerumunan.
Bill Clinton, yang disebut namanya, tampak sumringah dan bertepuk tangan lama sekali di balkon. “Kuharap kamu tak keberatan, Bill. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, man!” lanjut Obama dalam acara Konvensi Partai Demokrat itu.
Tentu saja Bill tak keberatan. Ia sudah kenyang menempati posisi-posisi publik sejak 1977 saat menjadi jaksa agung di Arkansas. Dua tahun kemudian, ia menjadi gubernur di negara bagian itu sampai 1992, dengan jeda pada 1981 sampai 1983. Hanya setahun setelah ia pensiun dari posisi gubernur, William Jefferson Clinton jadi presiden Amerika Serikat di umurnya yang ke-46.
Meski sempat dihantam ancaman pemecatan terkait skandal dengan Monica Lewinsky, toh Mister Clinton tetap menduduki kursi presiden sampai waktunya habis. Ia pensiun pada 2001 dan…flap! Gantian istrinya yang mengambil peranan publik.
Sejak 2001, meski tetap dipanggil “President Clinton,” status Bill adalah suami dari seorang senator. Pada 2009, Bill berperan sebagai suami dari menteri luar negeri, setelah Hillary gagal mengalahkan Obama dalam Konvensi Partai Demokrat untuk menjadi kandidat presiden. Menteri Hillary menjabat hingga 2013.
Tahun ini, Hillary memenangi konvensi Demokrat mengalahkan kameradnya yang berada di koordinat politik yang lebih kiri: Bernie Sanders. Kemenangan yang berat, sebab Sanders didukung kaum muda Demokrat. Bernie menawarkan hal-hal yang dianggap baru dan menantang bagi para pemilih muda: orientasi politik dan ekonomi yang relatif sosialistik. Gampangnya, Bernie Sanders adalah liberal kiri, sedangkan Hillary Clinton dianggap figur liberal kanan.
Saat Hillary resmi diresmikan sebagai kandidat dalam Konvensi Demokrat, pendukung Bernie berdemonstrasi di luar gedung. Meski Bernie setengah mati menggelontorkan puja-puji dan sokongan buat Hillary, pendukungnya tetap menganggap pengkandidatan Hillary sebagai kekeliruan partai. Tak kurang juga feminis yang menyebut Hillary hanya akan menguntungkan kaum perempuan kelas menengah dan berkulit putih. Bagi banyak kaum progresif, Hillary pun kurang progresif.
Tapi, seperti kata Obama, Hillary “tak pernah, tak akan pernah menyerah.”
Jika Bill menjadi presiden di umurnya yang ke-46, Hillary mencoba peruntungan pencalonan Partai Demokrat tahun 2008 di umurnya yang ke-61. Setelah gagal, ia kembali mencoba lagi bertarung di akhir tahun ini, pada umurnya yang ke-69! Dua puluh tiga tahun setelah suaminya pensiun dan mereka berdua sudah menjadi nenek dan kakek.
Selain tak mudah menyerah, Hillary memang tak bekerja sendirian. Ada Bill yang menyokongnya secara penuh, seperti Michelle mendukung Barack, seperti Melania mendukung Donald, Laura pada George, atau...seperti Hillary dulu untuk Bill. Meski kebugaran dan ketampanannya dihisap umur yang menua, Bill berpidato dari satu panggung ke panggung lain mempromosikan istrinya.
Dengan vokal seorang opa dan aksennya yang khas orang Selatan, pekan lalu ia berceramah di hadapan kerumunan Demokrat. Ia mengisahkan pertemuannya dengan Hillary.
“Pada musim semi 1971, aku bertemu seorang gadis...” Bill membuka cerita yang kemudian menyedot perhatian hadirin. Tentu saja, siapa tak suka drama? Sang Opa menggambarkan gadis di masa lalunya itu: berambut pirang mawut, berkaca mata besar, dan tak memulas wajahnya dengan riasan. Tapi bagian inilah yang penting: “ia menampakkan kepercayaan diri yang kuat, yang bagiku terasa...magnetik.”
Bagian pidato selanjutnya bisa ditebak. Bill menenggelamkan diri di depan Hillary. Ia sadar betul perannya adalah pendamping, bukan orang yang semestinya ada dalam lampu sorot utama.
Dengan kans Hillary yang lebih tinggi dibanding Trump—situsweb Realclearpolitics.com hari ini menorehkan angka poll sebesar 47,4 persen untuk Hillary menghadapi 40,6 persen untuk Trump—besar kemungkinan ia akan segera menjadi bapak negara. Ia akan menjadi lelaki pertama yang menjadi pendamping presiden.
Apa yang bisa dikerjakan Bill? Ada banyak pilihan.
Jika menilik Laura istri Bush, Bill bisa bantu-bantu istrinya untuk mengurusi soal-soal pendidikan. Jika mau mencontek Michelle, ia bisa menginiasi program-program untuk mencegah obesitas pada anak-anak. Bagaimanapun, ketahanan Amerika bisa berada dalam bahaya jika banyak penduduk yang kegemukan.
Terlalu sepele? Kalau begitu, Bill bisa meniru istrinya sendiri dulu. Hillary mengambil peranan yang cukup kontroversial di masa itu, dalam arti tak sekadar menjadi “first lady”. Ia menawarkan program reformasi jaminan kesehatan yang ternyata mental di Kongres, termasuk di kalangan kongreswan asal Demokrat. Saking kuatnya Hillary, program itu tak disebut sebagai "Bill Care" sebagaimana sekarang ada "Obama Care." Dulu, program itu dijuluki "Hillarycare."
Di atas pilihan-pilihan itu, tentu Bill punya ketertarikan sendiri. Situsweb npr.org mencatat mantan presiden ini mendirikan yayasan yang aktif dalam upaya-upaya amal, misalnya membantu korban gempa, pencegahan AIDS internasional, serta dalam bidang pertanian skala kecil. Bill bisa meneruskan semua ikhtiar itu kelak, jika ia hidup di Gedung Putih sebagai pendamping presiden.
Tapi, peran apapun yang diambil Bill, yang jelas ia tak akan dikritik perkara remeh temeh yang kerap menimpa first lady. Ia tak akan disebut tak punya selera bagus dalam berpakaian—seperti istrinya dulu. Atau malah dianggap terlalu bergaya seperti Michele Obama sekarang.
Orang pun tak perlu pusing apakah ia akan dipanggil “first gentleman” atau “first dude,” sebab ia juga bekas presiden Amerika Serikat. Seperti kebiasaan orang Amerika terhadap para mantan presidennya, Bill bisa saja tetap dipanggil “Mister President Clinton.”
____________
Baca juga artikel Tirto.id terkait berikut ini:
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti