tirto.id - Tamparan keras kembali mendarat di wajah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antirasuah ini harus kecewa kesekian kalinya setelah bidikan mereka lolos dari jeratan kasus korupsi. KPK telah menetapkan Bupati Nganjuk dua periode (2008-2013 dan 2013-2018) Taufiqurrahman sebagai tersangka pada 6 Desember 2016.
“Dalam pengembangan penyelidikan dugaan tindak pidana proyek-proyek pembangunan dan perbaikan jalan di kabupaten Nganjuk tahun 2009, KPK menetapkan TFR [Taufiqurrahman] atau Bupati Nganjuk sebagai tersangka,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Penetapan status tersangka ini hanya seumur jagung, setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Taufiqurrahman. Dalam putusan PN Jaksel, Senin (6/3/2017), Hakim Wayan Karya menyatakan KPK tidak berwenang menangani kasus dugaan korupsi yang menjerat Taufiqurrahman, karena kasus tersebut sudah pernah diusut oleh Kejaksaan.
Hakim mendasarkan pertimbangannya pada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK yang ditandatangani, pada 29 Maret 2012. Atas dasar tersebut, PN Jaksel menerima sebagian gugatan praperadilan yang diajukan mantan politisi PDI Perjuangan ini.
Dalam SKB disebutkan bahwa apabila ada dua instansi atau lembaga yang menangani perkara yang sama, maka dikembalikan ke lembaga atau instansi yang melakukan penyelidikan sejak awal. Juru bicara KPK, Febri mempertanyakan landasan hukum PN Jaksel yang menjadikan SKB sebagai landasan hukum dalam putusan praperadilan kasus Taufiqurrahman.
Febri Diansyah mengatakan SKB tersebut berlaku selama empat tahun sejak ditandatangani pada 29 Maret 2012. Artinya masa berlaku MoU tersebut sudah habis, tapi masih digunakan oleh hakim. Sedianya hakim tidak menjadikan SKB sebagai pertimbangan dengan memutuskan bahwa kasus. Sebab, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK cukup melakukan koordinasi untuk melakukan penyelidikan dalam kasus yang sama.
Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memberikan keleluasaan bagi KPK mengambil alih penanganan kasus yang tengah ditangani oleh kejaksaan dan kepolisian. Dalam konteks ini, KPK akan berkordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya.
“Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan” demikian bunyi Pasal 50 ayat (3).
Perkara Taufiqurrahman yang berhasil lolos dari jeratan kasus korupsi di KPK menambah daftar ihwal praperadilan jadi tameng kokoh bagi para tersangka korupsi. Sejak 2011-2016 setidaknya terdapat 56 kasus korupsi yang diajukan praperadilan. Namun, dari sekian banyak tersangka yang mengajukan praperadilan, hanya segelintir saja yang tuntutannya dikabulkan hakim, sedangkan sebagian besar dari mereka justru ditolak.
Mereka yang Menang di Praperadilan
Kemenangan Bupati Nganjuk dalam sidang praperadilan yang melibatkan KPK bukan yang pertama. Berdasarkan penelusuran Tirto, pada periode 2015-2016 saja, setidaknya ada empat tersangka lain yang kasus praperadilannya pernah dikabulkan pengadilan. Di antaranya: Budi Gunawan (2015), Hadi Poernomo (2015), Ilham Arief Sirajuddin (2015), dan Marthen Dira Tome (2016).
Alasan pengadilan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan tersangka korupsi oleh KPK, cukup beragam. Kasus praperadilan Budi Gunawan misalnya, yang dipersoalkan bukan bukti kasusnya, melainkan mengenai status yang bersangkutan saat melakukan tindak pidana korupsi.
KPK kemudian melimpahkan kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi-transaksi mencurigakan dengan tersangka Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung. Namun, Kejaksaan Agung justru melimpahkannya ke Polri dengan alasan agar lebih efektif karena instansi kepolisian itu pernah menangani kasus tersebut.
Praperadilan lain yang dikabulkan pengadilan adalah kasus korupsi dengan tersangka mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Siradjudin. Pengadilan menyatakan bahwa KPK belum memiliki alat bukti yang kuat. Dalam hal ini, KPK mengajukan barang bukti atau keberadaan bukti dengan fotokopi yang dianggap tidak sah.
Namun KPK tidak tinggal diam, KPK kemudian menerbitkan sprindik baru, dan akhirnya Ilham Arif Sirajuddin divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, pada Februari 2016. Ia dijatuhi hukuman pidana penjara selama 4 tahun atas dakwaan korupsi terkait kerja sama kelola dan transfer instalasi perusahaan daerah air minum (PDAM) di Makassar periode 2007-2013.
Pengajuan praperadilan lainnya yang dikabulkan pengadilan adalah kasus Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo terkait sah atau tidaknya proses penyidikan atau penyelidikan yang diajukan KPK. Dalam kasus ini, KPK telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan PN Jaksel. Sayangnya, pada 16 Juni 2016, majelis hakim agung yang diketuai Salman Luthan dengan anggota Sri Wahyuni dan M.S. Lumme menolak PK dari KPK terkait dengan putusan praperadilan hakim tunggal Haswandi yang memenangi gugatan praperadilan Hadi Poernomo.
Secara kuantitas, pengajuan praperadilan menjadi tren setelah Hakim Sarpin Rizaldi menerima permohonan praperadilan Budi Gunawan pada 16 Februari 2015. Putusan tersebut menjadi titik awal tren praperadilan yang diajukan oleh tersangka korupsi di KPK.
Hal tersebut terkonfirmasi dalam laporan KPK yang menunjukkan bahwa permohonan praperadilan meningkat pasca-putusan Hakim Sarpin. Misalnya, jumlah yang mengajukan praperadilan pada 2011 hanya sekitar 5 orang, meningkat menjadi 8 pada 2012, dan turun drastis pada 2013, yaitu hanya 3 orang, bahkan pada 2014 dalam laporan tahunan KPK tidak terdapat tersangka yang mengajukan praperadilan.
Namun jumlah tersebut naik drastis pada 2015. Berdasarkan laporan tahunan KPK 2015, sepanjang 2015 terdapat 25 kasus praperadilan yang diajukan oleh para tersangka korupsi, meskipun dari 25 tersebut, hanya tiga yang dikabulkan pengadilan. Angka tersebut memang menurun pada 2016, yaitu sebanyak 15 permohonan praperadilan, dan hanya satu yang dikabulkan.
Kekalahan KPK dan tingginya permohonan praperadilan harus menjadi pelajaran berharga bagi komisi antirasuah ke depan. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pernah menyatakan bahwa maraknya praperadilan yang ditujukan pada KPK merupakan risiko yang harus diterima. Setidaknya jeratan KPK bisa dilepas oleh apa yang dinamakan praperadilan.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Suhendra