tirto.id - Nyanyian Freddy Budiman kepada Haris Azhar menjadi pintu masuk memberantas mafia peredaran narkoba. Presiden Joko Widodo pun turun langsung dengan menginstruksikan Kapolri membentuk tim indipenden untuk menelusuri pengakuan Freddy Budiman. PPATK juga menemukan aliran dana mencurigakan terindikasi uang hasil peredaran narkoba di Indonesia.
Direktur Penindakan Badan Narkotika Nasional, Inspektur Jenderal Arman Depari mengatakan, temuan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan yang menyebut aliran dana Rp 3,6 triliun itu terindikasi hasil transaksi narkotika telah ditelusuri. Hasilnya, untuk kurun waktu 2014 hingga 2016, sebagian besar merupakan transaksi dari jaringan bandar narkoba kelas kakap Pony Tjandra. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung, dari total aliran dana mencurigakan itu, Rp 2,8 triliun dilakukan oleh jaringan narkoba Pony.
“Kasus Rp 3,6 triliun ini juga terkait sindikat atas nama Pony Tjandra,” ujar Arman saat memberikan keterangan pers, Jumat (19/8/2016) di Kantor BNN, Cawang, Jakarta Timur.
Nama Pony Tjandra pun kembali menyeruak ke permukaan. Pony, bandar narkoba kelas kakap ini memang bukan pertama kali disebut-sebut BNN terkait aliran dana jaringannya dari hasil berjualan narkoba. Pada 2014, pria berkepala pelontos ini juga sempat membuat geger karena dia bisa keluar dari dalam penjara dan berkunjung ke rumahnya di Pantai Mutiara, Jakarta Utara. Pony kala itu menjadi menghuni penjara atas kepemilikan ekstasi sebanyak 57 ribu butir pada tahun 2006.
Dia pun kembali ditangkap BNN pada 2014. Dalam penangkapan itu, BNN menyita aset milik Pony Tjandra. Kini nama Pony pun kembali disebut-sebut terkait aliran dana mencurigakan sesuai laporan PPATK. Dari dana Rp 3,6 triliun, sebanyak Rp 2,8 triliun terindikasi dari transaksi narkoba jaringan Pony Tjandra. Namun, BNN belum memastikan nama-nama terkait jaringan narkoba Pony Tjandra.
Meski demikian, Arman menjelaskan aliran uang dari jaringan narkoba Pony Tjandra itu terlacak berada di luar negeri. Keberadaan itu berada di beberapa negara Eropa dan Asia. Ada 32 tempat menjadi tempat untuk melakukan pencucian uang hasil transaksi narkoba jaringan Pony. Uang itu disimpan di bank dan perusahaan di luar negeri. Sayang, Arman tak mau menyebut nama negara termasuk juga nama perusahaan di mana uang-uang itu ditampung. Dia pun memastikan jika nama-nama perusahaan dan juga bank itu sudah dikoordinasikan dengan negara tempat uang-uang hasil transaksi narkoba itu disimpan.
“Kami memang ada nama-nama negaranya bahkan lengkap nomor rekening dan perusahaan. Tetapi saya kira ini belun saatnya kami sampaikan.,” ujar Arman.
Dua Pentolan Bandar Narkoba Indonesia
Freddy Budiman bukan satu-satunya bandar narkoba yang tersohor di Indonesia. Ada dua nama disebut Badan Narkotika Nasional dan disebut sebagai tokoh besar peredaran narkoba di tanah air. Penyematan itu dilihat dari jaringan juga uang transaksi yang nilainya mencapai ratusan miliar. Selain Freddy, ada Pony Tjandra dan Chandra Halim alias Akiong yang juga merupakan tokoh bandar narkoba kelas kakap. Keduanya pun kini masih menghuni Lapas Cipinang, Jakarta Timur.
Pony Tjandra memang bukan orang baru dalam peredaran narkoba di Indonesia. Namanya sempat ramai di pemberitaan media massa pada bulan September 2014. Ponny kala itu bisa keluar dari penjara dalam Cipinang kemudian berkunjung ke kediamannya di Perumahan Pantai Mutiara, Jakarta Utara. Dia pun langsung dibekuk BNN karena diduga terlibat kejahatan pencucian uang. Aset miliknya pun disita oleh BNN.
Penangkapan Pony merupakan pengembangan dari terungkapnya jaringan mereka, yakni Edy alias Safriady, Isran dan Ridwan. Transaksi ketiga tersangka yang ditangkap BNN itu mengarahkan uang transaksi narkoba masuk ke rekening milik Pony Tjandra. Angka transaksinya pun fantastis, BNN menemukan alur transksi mencapai Rp 600 miliar. Dari penangkapan Pony, BNN pun menyita aset berupa 1 rumah di Perumahan Pantai Mutiara Blok R No. 21, Pluit, Jakarta Utara, 1 rumah di Cempaka Baru Kemayoran, Jakarta Pusat, Mobil Jaguar, Honda Odysey, 2 unit jet ski serta 3 unit sepeda motor Harley Davidson.
Selain nama Pony, nama kedua yang disebut Irjen Arman Depari adalah Chandra Halim alias Akiong. Nama Akiong juga bukan sekali ini saja disebut-sebut oleh BNN. Pria asal Pontianak, Kalimantan Barat itu merupakan salah seorang bos besar Bandar narkoba dan bisa berhubungan langsung dengan pabrik narkoba Tiongkok. Nama Akiong juga pernah muncul dalam kasus impor 1,4 juta butir pil ekstasi narkoba Fredi Budiman.
Akiong adalah orang yang memesan 1,4 juta ekstasi dan mengimpornya langsung dari Cina bersama Freddy Budiman. Sayang Arman tak mau menyebutkan berapa jumlah kekayaan Akiong dari bisnis narkoba. Namun, dia menegaskan, Akiong masih terus berbisnis narkoba meski dia berada di dalam penjara. Terakhir kata Arman, Akiong menjadi penyelundup sabu seberat 50 kilogram dengan modus operandi menaruh narkoba dalam pipa dari Cina. Dalam kasus penyelundupan itu, BNN menyita aset milik Akiong senilai Rp6 miliar.
“Akiong terakhir menyelundupkan narkoba ke Indonesia berberapa minggu dan beberapa waktu lalu penyelundupan sabu dalam pipa,” ujar Arman Depari.
Memiskinkan Bandar narkoba
Sebetulnya bukan kali ini saja BNN menelusuri dugaan pencucian uang dari para tersangka bandar narkoba. Sejak Komisaris Jenderal Budi Waseso menjabat Kepala BNN, dia sudah berulang kali mengatakan akan memiskinkan para bandar narkoba. Yang terbaru pada tahun ini, ada enam kasus disidik BNN terkait penyalahgunaan narkoba dan terindikasi melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Pertama adalah kasus dengan tersangka Suwandar alias Koko. Dari Koko BNN menyita aset senilai Rp4,6 miliar. Kasusnya pun masih dalam penyidikan Kejaksaan Agung. Kemudian ada Alvin Jayadi. Pria bernama lengkap Ananta Lainggara ini ditangkap pada Oktober 2015. Dia diduga sejaringan dengan warga negara Nigeria. BNN pun menyita aset Alvin senilai Rp6 miliar. Lalu ada juga Gunawan Prasetio, warga Sumatera Utara ini ditangkap BNN dan masih satu jaringan dengan Pony Tjandra. Aset disita dari Gunawan sebanyak Rp17 miliar.
Kasus yang lain juga sudah disidik BNN terkait pencucian uang adalah Fahrul Razi dan Mukhtaruddin. Pemilik sabu 11 kilogram ini ditangkap BNN pada bulan Maret 2015. Keduanya pun diduga melakukan pencucian uang. Asetnya pun senilai Rp16 miliar disita BNN. Kasus terakhir dengan tersangka Togiman dan seorang perwira berpangkat Ajun Komisaris bernama Ichwan. Dari penyidikan keduanya, BNN menyita aset senilai Rp17,6 miliar.
Menurut Irjen Arman Depari, para tersangka peredaran narkoba kelas kakap ini kebanyakan melakukan pencucian uang dengan berbagai cara. Dari hasil temuan BNN, para Bandar narkoba melakukan pencucian uang dengan membuat pabrik, perusahaan ekspor impor dan penukaran uang
“Penyelidikan money laundering mutlak harus kita lakukan,” ujar Arman Depari.
Temuan Setelah Nyanyian Fredi
Apa yang kemukakan Haris Azar dari cerita Freddy Budiman yang kemudian diunggah memang kini diseriusi pemerintah. Temuan-temuan terbaru mengenai transaksi mencurigakan ini bisa jadi pintu masuk untuk memberantas narkoba. Bisa jadi, aliran dana ini juga menyasar ke nama-nama tertentu dan ikut membantu pencarian kebenaran dari cerita Freddy Budiman sebelum menjalani hukuman mati.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Bidang Strategi dan Mobilisasi, Puri Kencana Putri sepakat jika apa yang ditulis Haris Azhar berdasarkan pengakuan Fredi Budiman dijadikan momentum untuk merubah perbaikan institusi. Menurut dia, sejak Haris memposting nyanyian Fredi, KontraS bahkan menerima banyak laporan praktik-praktik seperti diungkapan Fredi sudah berlangsung begitu lama.
“Tidak lama setelah kesaksian Haris Azhar, Kontras menerima banyak laporan bahwa praktik-praktik tersebut sudah lama terjadi meskipun yang disampaikan Haris Azhar cerita besar yang tidak pernah didengar,” kata Puri kepada tirto.id.
Berangkat dari unggahan Haris, kini berbagai lembaga negara pun bergerak untuk mengungkap siapa di balik orang-orang di sebut Fredi Budiman bermain dalam lingkaran peredaran narkoba di Indonesia. Bahkan untuk mengungkap jejaring narkoba ini, BNN juga bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan. Menurut BNN, dalam setiap peredaran narkoba sudah pasti dibarengi dengan perputaran uang dalam jumlah besar. Apalagi soal perputaran uang ini, ada beberapa yang sudah terungkap.
Dengan menggandeng OJK kemudian PPATK, BNN berharap bisa mempersempit ruang gerak sindikat peredaran narkoba melalui pengawasan keuangan, termasuk juga mendukung pembekuan rekening para bandar dan pengedar narkoba. Tujuannya satu, memiskinkan para Bandar diyakini ampuh untuk memberangus peredaran narkoba.
Mungkin kah peredaran narkotika dengan memiskinkan para Bandar bisa efektif? Mari kita tunggu hasil akhir dari penelusuran testimoni Nyanyian Fredi Budiman.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti