tirto.id - Gagasan Universal Basic Income (UBI) atau jaminan penghasilan dasar universal kembali mencuat setelah banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja akibat pandemi. Kemajuan teknologi yang diprediksi akan menggantikan banyak pekerjaan manusia juga menjadi alasan gagasan ini kembali diperbincangkan.
Berbagai negara telah mencoba menerapkan kebijakan yang secara prinsip sama dengan UBI. Di Denmark, seiring penerapan kebijakan kuncitara alias lockdown, pemerintah sepakat untuk menanggung biaya gaji karyawan selama perusahaan tersebut tidak melakukan pemecatan.
Sementara di Jerman, peneliti di German Institute for Economic Research telah memulai eksperimen yang akan berlangsung selama 3 tahun untuk menguji dampak dari penerapan gagasan ini. Para peneliti memberikan 120 orang yang menjadi sample penelitian sebesar 1.200 euro(atau sekitar Rp20,5 juta) per bulannya.
Beberapa kota di negara bagian Amerika Serikat juga mulai menerapkan kebijakan guaranteed income yang masih senafas dengan UBI. Sebanyak 30 walikota bergabung ke dalam koalisi Mayor for Guaranteed Income untuk mempromosikan gagasan ini dan sebagai upaya memastikan setiap masyarakat terjamin kebutuhan dasarnya. Mayor for Guaranteed Income mendapat berbagai dukungan, termasuk dukungan dana dari CEO Twitter, Jack Dorsey, yang memberikan sumbangan sebesar 3 juta dolar AS.
Terbentuknya koalisi ini di inisiasi oleh Michael Tubbs yang sebelumnya telah memulai eksperimen kebijakan guaranteed income di kotanya yang melibatkan sekitar 130 penduduk berpenghasilan rendah. Tubbs terinspirasi pemikiran Martin Luther King Jr. tentang pentingnya jaminan pendapat dalam buku Where Do We Go From Here: Chaos or Community (1968)
Selama primary Partai Demokrat AS, kandidat Andrew Yang menawarkan kebijakan Freedom Dividend yang akan memberikan 1.000 dolar AS per bulan kepada seluruh warga AS berusia diatas 18 tahun tanpa terkecuali. Salah satu tujuannya adalah memudahkan setiap orang untuk berpindah pekerjaan, mendorong inovasi, dan berkontribusi pada masyarakat.
Kembalinya Gagasan Utopis
Gagasan pendapat dasar dan berbagi keuntungan yang dihasilkan dari pengelolaan lahan publik pertama kali dicetuskan oleh seorang filsuf asal Inggris, Thomas More pada abad ke-16. Dalam novel Utopia yang terbit pada 1516, Moore membayangkan masyarakat Eropa yang ideal: pasukan reguler dibubarkan, beban pekerja di kurangi seminimal mungkin, dan paqra penghuni istana bersumpah tidak akan punya lebih dari 1000 kg emas. Menurut More, pembagian kekayaan bisa mencegah kriminalitas seperti pencurian.
Dalam kertas kerja "Jaminan Penghasilan Dasar Untuk Semua" (2020) yang dipublikasi oleh Indonesian Basic Income Guarantee (IndoBIG) Network, Yanu Endar Prasetya memaparkan pemikiran dan eksperimen gagasan UBI di seluruh dunia. Berbagai tokoh terkemuka mulai dari Franklin D. Roosevelt, Lyndon B. Johnson, Martin Luther King Jr., hingga peraih nobel Friedrich Hayek dan Milton Friedman merupakan penggagas dan pendukung dari UBI.
Rencana penerapan dari Universal Basic Income memang berbeda-beda. Misalnya dari segi jumlah yang diberikan, sumber pendanaannya, atau istilah yang digunakan. Namun prinsip, penerapannya, dan semangatnya relatif sama. Dikutip dari laman basicincome.org (PDF), definisi dari basic income adalah pemberian bantuan tunai secara periodik bagi seluruh individu tanpa persyaratan apapun. Definisi ini disepakati dalam General Assembly (GA) Basic Income Earth Network (BEIN) yang diselenggarakan di Seoul pada 9 Juli 2016.
Hasil dari kongres BEIN juga menyepakati lima karakteristik dari basic income. Pertama, diberikan secara periodik, misalnya setiap bulan. Kedua, diberikan dalam bentuk uang tunai yang memungkinkan penerimanya bebas menentukan penggunaannya. Ketiga, penerimanya adalah perorangan bukan perwakilan rumah tangga, misalnya hanya diberikan kepada kepala keluarga. Keempat, bersifat universal yang artinya diberikan kepada semua warga negara tanpa terkecuali. Terakhir, tanpa syarat yang berarti setiap penerimanya tidak perlu melewati serangkaian ujian, melengkapi persyaratan administratif, atau dipertimbangkan status sosial ekonominya.
Pro-Kontra UBI
Makin sering dibicarakan, perdebatan tentang UBI pun tak terhindarkan. Yanu Endar Prasetnya merangkum dengan sangat baik pro-kontra dari gagasan ini dalam kertas kerja IndoBIG.
Menurut Yanu ada beberapa alasan di balik penolakan terhadap UBI, salah satunya bahwa UBI memberatkan keuangan negara. Saat negara menerapkan UBI, otomatis pengeluaran pemerintah akan membengkak, terlebih di negara-negara yang padat penduduk. Tak hanya itu, jika besaran uang tunai yang diberikan terlalu sedikit, UBI mustahil efektif memberantas kemiskinan.
Hambatan dan tantangan administratif menjadi alasan kedua di balik penolakan UBI. Di beberapa negara, buruknya pendataan jumlah penduduk yang riil dikhawatirkan akan membuat kebocoran dan inefisiensi.
Alasan penolakan selanjutnya menjadi yang paling sering diutarakan dalam perdebatan UBI. Para penolak berpendapat bahwa UBI akan memberikan insentif yang negatif. Mereka khawatir akan banyak yang berhenti bekerja atau terjadi penurunan motivasi kerja karena merasa kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi. Selain itu, mereka menganggap UBI akan berdampak negatif terhadap pasar kerja dan sistem jaminan sosial.
Ian Goldin, professor kajian globalisasi dan pembangunan Universitas Oxford, menulis keberatannya atas gagasan Universal Basic Income di Financial Times. Goldin berpendapat UBI akan memperlebar jurang ketimpangan dan kemiskinan karena mengalokasikan jaminan sosial yang awalnya hanya ditujukan kepada berhak menerima (pengangguran, disabilitas, dan lainnya), menjadi seluruh masyarakat, termasuk para miliarder.
Selain itu, Goldin juga berpendapat UBI akan merusak kohesi sosial. Jaminan pemenuhan kebutuhan dasar akan membuat orang memilih berada di rumah. Hal ini, menurut Goldin, justru akan meningkatkan kriminalitas, penggunaan narkoba, dan destruksi sosial lainnya seperti yang terjadi di wilayah yang tingkat penganggurannya tinggi.
Berbagai alasan penolakan UBI dibantah oleh para pendukung gagasan ini. Salah satunya datang dari Mark Zuckerberg. Dilansir dari CNN, pada 2017 lalu, Mark Zuckerberg pernah menyatakan dukungannya atas gagasan UBI yang menurutnya bisa mendorong orang-orang untuk mengeksplorasi ide-ide baru tanpa harus memikirkan kebutuhan dasarnya.
Andrew Yang memaparkan skema pendanaan hingga keuntungan dari penerapan program Freedom Dividend. Pendanaan program didapat dari pengeluaran pemerintah, Value Added Tax (VAT) atau pajak pertambahan nilai sebesar 10%, sumber pendapatan baru, dan pengenaan pajak pada perusahaan atau orang-orang terkaya dan perusahaan penghasil polusi terbesar.
Freedom Dividend juga memiliki beberapa keuntungan yaitu mendorong penerimanya mencari pekerjaan, mereduksi birokrasi, meningkatkan daya tawar para pekerja, meningkatkan enterpreneurship, membantu orang membuat keputusan terbaik, memperbaiki efisiensi pasar kerja, dan lain sebagainya.
Sonny Mumbunan, pendiri Basic Income Lab, dalam "CSIS Commentaries Universal Basic Income di Masa Krisis COVID-19 dengan BLT untuk Semua: Usulan Konkret untuk DKI Jakarta" (2020) mengungkapkan beberapa argumen yang mendukung gagasan ini. Sebagian besar masyarakat Indonesia, tulis Sonny, masuk ke dalam kategori miskin, nyaris miskin, dan rentan secara ekonomi. Selain itu, penerapan UBI mudah dilaksanakan, efektif, dan sulit dikorupsi. Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2017 lalu juga pernah menyatakan kemungkinan diterapkannya pemberian subsidi uang tunai ini, dilansir dari Republika.
Dalam kertas kerja IndoBIG, Yanu menyatakan setidaknya terdapat lima kelebihan dari UBI, yaitu mendorong terwujudnya kebebasan dan keadilan sejati, menurunkan angka kemiskinan, mempromosikan kesetaraan gender, dan mengurangi ketimpangan pendapatan.
Eksperimen UBI
Beberapa wilayah di berbagai negara telah melaksanakan eksperimen UBI jauh sebelum pandemi merebak. Alaska menjadi salah satu negara bagian yang sudah lama menerapkan kebijakan ini. Pada 1976, Alaska mendapatkan ¼ royalti dari pengelolaan sumber-sumber minyak di wilayahnya.
Royalti ini, sejak 1982, kemudian dibagikan kepada setiap warganya melalui program yang dinamakan Permanent Fund Dividend (PFD). Meski tidak menggunakan istilah UBI, secara prinsip PFD sama dengan UBI.
Kertas kerja IndoBIG merangkum besaran pendapatan yang diterima dari PFD. Pada tahun 2015, dividen yang diterima oleh warga Alaska mencapai 2.072 dolar AS per orangnya. Jumlah yang diterima selalu berubah-ubah mengikuti harga minyak dunia.
Negara berkembang yang menerapkan eksperimen ini adalah India, yaitu di wilayah Madya Pradesh. Eksperimen ini diinisiasi oleh Self-Employed Women’s Association (SEWA), sebuah serikat buruh perempuan yang beranggotakan lebih dari dua juta pekerja sektor informal. Hasil dan metodologi penelitian dari eksperimen ini dipublikasikan dalam bentuk buku berjudul Basic Income: A Transformative Policy for India (2015) yang berkolaborasi dengan Guy Standing, Sarath Davala, dan Soumya Kapoor.
Eksperimen ini berbuah dampak positif bagi kesejahteraan penerimanya. Hanya sekitar 20% rumah tangga penerima bantuan yang tetap berada dibawah garis kemiskinan. Angka partisipasi sekolah anak usia 4 sampai 18 tahun lebih besar 12% dibanding desa yang tidak menerima bantuan. Para penerima bantuan juga mulai beralih dari buruh menjadi mengelola lahan pertanian secara mandiri dan beberapa diantaranya membelanjakan bantuannya untuk persiapan memulai usaha.
Selain dua wilayah di atas, beberapa wilayah di negara-negara lain juga sudah mulai melakukan eksperimen ini, di antaranya Kanada, Namibia, Korea Selatan, Finlandia, dan Kenya.
Penerapan UBI di Indonesia, Mungkinkah?
Indonesia pasca-Orde Baru pernah menerapkan berbagai program bantuan bagi masyarakat. Selama masa pandemi, berbagai program bantuan dilaksanakan oleh pemerintah. Mulai dari program kartu prakerja, program subsidi gaji, hingga program jaring pengaman sosial yang meliputi Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako, bantuan sosial sembako, dan bantuan sosial tunai.
Pelaksanaan program-program yang menargetkan penerima tertentu menyisakan banyak permasalahan. Dalam artikel "Basic Income di Indonesia: haruskah dimulai sekarang?", Kanetasya Sabilla mengungkapkan, pemerintah banyak dikritik akibat menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang merupakan basis data lama dan masih kurang lengkap. Akibatnya banyak penerima bantuan yang tidak tepat sasaran.
Kanetasya mencontohkan PKH yang mensyaratkan penerimanya memenuhi minimal satu kriteria yaitu keberadaan ibu hamil dan anak balita atau anak berusia 7-15 tahun yang bersekolah sebagai anggota rumah tangga. Padahal, dalam kondisi pandemi, banyak masyarakat yang berhak menerima bantuan tetapi tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan pemerintah. Terlebih, jumlah masyarakat yang rentan akibat pandemi sangat dinamis.
Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) di era Susilo Bambang Yudhoyono menjadi bantuan yang paling mirip dengan UBI. Namun, BLT hanya diperuntukkan bagi masyarakat berpendapatan rendah sehingga memenuhi karakteristik UBI.
Editor: Windu Jusuf