tirto.id - Pada 16 Juli 1969, delapan tahun selepas Yuri Gagarin dan Alan Shepard dari Uni Soviet menertawakan Amerika Serikat dengan melayang-layang di luar angkasa, Apollo 11 meluncur dari Cape Kennedy. Misi yang diawaki Commander Neil Armstrong, Command Module Pilot Michael Collins, dan Lunar Module Pilot Edwin "Buzz" Aldrin punya dua tujuan: menjejakkan kaki di Bulan dan memenuhi permintaan Presiden John F. Kennedy pada 25 Mei 1961. “Kembali selamat ke Bumi,” kata sang presiden. Tujuan sampingannya, tentu saja, menertawakan balik Kremlin.
Selepas mencapai antariksa, yang dilanjutkan dengan mengitari Bumi sebanyak 1,5 kali, Armstrong, Buzz, dan Collins mendapat perintah “go” dari markas NASA untuk melakukan translunar injection. Lima hari berselang adalah sejarah. Pada 21 Juli 1969, tepat hari ini 51 tahun lalu, mimpi mengalahkan Soviet telah ditunaikan. Armstrong sukses menjadi manusia pertama yang menginjak tanah Bulan.
Di Gedung Putih, Presiden Richard Nixon mengambil alih kesuksesan Armstrong dan kawan-kawan dengan melakukan sambungan telepon langsung ke Bulan.
“Hallo Neil dan Buzz,” kata Nixon, “aku berbicara padamu melalui telepon langsung dari Ruang Oval di Gedung Putih.”
“Saya tidak dapat menggambarkan pada Anda bagaimana begitu bangganya kita semua atas apa yang telah Anda lakukan.”
Di sela-sela dua kalimat itu, Nixon berujar bahwa apa yang ia lakukan “merupakan panggilan telepon paling bersejarah yang pernah dibuat.” Nixon berlebihan. Panggilan telepon dari presiden kepada manusia yang tengah berada di Bulan tentu bersejarah. Namun panggilan telepon Nixon bukanlah panggilan telepon konvensional. Panggilan itu hanya relay melalui radio di Houston. Gene Kranz, pemimpin mission control Apollo 11, jelas telah melakukan “panggilan telepon Bumi-Bulan” berkali-kali jauh sebelum Nixon melakukannya.
Dan yang paling penting, di dunia yang mengenal pepatah “no pic = hoax,” telepon Nixon ke Bulan kalah bersejarah dibandingkan foto-foto yang dipotret Armstrong dan kawan-kawan di Bulan. Hasilnya berupa potret permukaan Bulan, Buzz yang sedang menuruni tangga modul pendaratan Eagle, Buzz yang sedang menghormat bendera AS, dan bekas jejak sepatu boot milik Buzz di permukaan Bulan.
“Sudutnya terlalu besar, Neil,” saran Buzz pada Armstrong yang hendak memotret Bumi dari permukaan Bulan.
“Yeah. Kupikir kamu benar.”
Foto Bumi dari permukaan bulan, dengan latar Eagle, akhirnya tercipta.
Kumpulan foto-foto Bulan oleh astronaut NASA itu disebut Guardian sebagai “artistic masterpieces”.
Hasselblad, Kamera Kesayangan NASA
“Okay, Buzz, kami siap membawa kamera Hasselblad,” ujur Neil Armstrong ketika bersiap turun ke permukaan Bulan dari modul Eagle.
Albert J. Derr dalam “Photography Equipment and Techniques: A Survey of NASA Developments” menyebut bahwa ketika National Aeronautics and Space Administration alias NASA lahir, orang-orang yang bertugas di sana langsung berpikir untuk mencatat dan merekam segala hasil kerja mereka. Hasil tersebut nantinya bisa dinikmati bukan hanya untuk generasi kini, tetapi juga generasi mendatang.
Ketika NASA lahir di akhir dekade 1950-an, NASA telah memiliki transducer, yakni alat yang, ketika diterapkan pada permukaan suatu benda, akan dapat mengukur suhu, tekanan, getaran, dan menghasilkan sinyal listrik yang besarnya terkait dengan besarnya parameter yang diukur. Tetapi hasil perekaman transducer hanya dapat dinikmati kalangan ilmuwan, bukan orang-orang seperti Kennedy atau Nixon.
Foto adalah jawaban yang paling tepat. Apalagi pada 13 Oktober 1860, hampir seabad sebelum NASA lahir, dari balon udara yang terbang setinggi 365 meter di atas Bumi, foto yang dipotret C. W. Black sukses memukau masyarakat sebab betapa cantiknya permukaan Boston dilihat dari langit.
Kali pertama astronaut NASA menggenggam kamera adalah tatkala John Glenn mengorbit Bumi menggunakan wahana Mercury-Atlas 6 dalam misi Friendship 7 yang terbang pada 20 Oktober 1962. Kala itu, alih-alih menggunakan kamera khusus, Glenn hanya membawa kamera Ansco Autoset miliknya yang memiliki lensa 35 mm. Kamera ini mudah ditemukan di pasaran pada 1960-an dan Glenn sendiri membelinya dari apotek—bukan toko peralatan fotografi—dekat rumahnya.
Tentu NASA melakukan sedikit modifikasi untuk kamera Ansco Autoset ini. Pegangan khusus ditambahkan supaya Glenn dapat mengoperasikannya dengan mudah karena ia harus menggunakan sarung tangan dan helm astronaut, yang jelas saja tidak mungkin membidik melalui viewfinder. Dengan kamera tersebut, Glenn sukses memotret Bumi dari luar angkasa.
Kembali merujuk paper Derr, NASA mulai serius menggarap kamera untuk memotret aksi-aksi astronaut di angkasa ketika Mercury-Atlas 7 hendak terbang. Kala itu, selain menyertakan kamera untuk astronaut, NASA membuat perangkat kamera khusus yaitu Robot Recorder. Kamera ini memiliki fitur penggerak film seluloid otomatis dan dibuat agar mudah digunakan astronaut. Pada Mercury-Atlas 9, Robot Recorder dimodifikasi kembali, khususnya agar kamera mampu merekam cahaya yang sangat redup. NASA menggunakan lensa ber-aperture besar.
Di dunia fotografi, aperture berlaku bagai pupil mata. f/1 merupakan tanda bahwa pupil lensa seluruhnya terbuka, yang memungkinkan lensa menangkap cahaya lebih besar alias sangat sensitif. Jika “F” semakin kecil, pupil semakin mengerucut, yang berarti intensitas cahaya yang masuk ke kamera semakin sedikit. Pada Mercury-Atlas 9 NASA menciptakan Robot Recorder yang memiliki aperture f/0.95.
NASA kemudian tidak puas dengan kamera yang memiliki lensa ber-aperture f/0.95. Apalagi, badan antariksa ini hendak mengunjungi Bulan, satelit alami Bumi yang memiliki “dark side”. Maka, pada 1966, dalam program Apollo, NASA bekerja sama dengan Carl Zeiss untuk menciptakan lensa ber-aperture lebih besar dari yang pernah mereka buat. Lahirlah Carl Zeiss Planar 50 mm dengan aperture f/0.7. Carl Zeiss sukses membuat 10 unit lensa ini dengan enam di antaranya diberikan ke NASA, satu disimpan oleh pihak Carl Zeiss, dan tiga lensa dijual pada Stanley Kubrick. Kubrick lantas menggunakannya untuk merekam Barry Lyndon, film yang di salah satu adegannya hanya menggunakan lilin sebagai pencahayaan.
Masih merujuk Derr, NASA lalu menyadari bahwa di dunia fotografi seluloid yang paling berpengaruh terhadap hasil foto bukan kamera atau lensa, tetapi film seluloid itu sendiri. Terlebih, ketika berencana ke Bulan, NASA harus memikirkan bahwa Bulan berbeda dengan Bumi. NASA sendiri punya parameter khusus seperti apa kamera yang harus dibawa ke bulan, yakni memiliki percepatan hingga ± 20 G (simbol untuk mengukur akselerasi gravitasi) selama 3 menit ke segala arah; tahan goncangan hingga 30 G (G planet Merkurius) untuk jangka waktu 11 milidetik; kuat terhadap variasi tekanan udara dari permukaan laut hingga kurang dari 10-10 milimeter; sanggup bertahan di kisaran suhu dari -186 derajat celcius hingga + 114 derajat celcius; kuat atas radiasi cahaya matahari dari 600 rad; dan memiliki kemampuan bertahan di kelembaban hingga 100 persen, termasuk tahan atas kondensasi selama 5 hari dalam kisaran suhu 80 derajat hingga 160 derajat Fahrenheit.
Maka NASA pun berpikir ulang tentang kamera yang dapat mengakomodasi keinginan mereka. Kamera yang kemampuannya tak dibatasi film seluloid. Hasselblad adalah jawabannya. Itulah kamera yang dibawa Armstrong ke Bulan.
Hasselblad merupakan salah satu merek kamera kesayangan NASA. Ini bermula sejak 1962, tatkala NASA meluncurkan program Mercury. Kala itu NASA butuh kamera mumpuni dan salah satu calon astronaut mereka, Walter Schirra, merupakan pemilik kamera Hasselblad 500 C dengan lensa Planar f/2.0 80 mm, kamera yang ia beli atas rekomendasi fotografer Life dan National Geographic. Tahu Hasselblad miliknya menghasilkan foto yang bagus, Schirra merekomendasikan NASA untuk menggunakannya.
Pada 1965, tatkala misi Gemini IV diluncurkan, kamera Hasselblad diikutkan NASA. Alhasil, kamera itu sukses memotret astronaut Edward H. White yang sedang melakukan aksi spacewalk. NASA terpukau dengan foto yang dihasilkan Hasselblad itu.
Scott Neuman, dalam tulisannya di NPR, menyebut bahwa selepas foto aksi spacewalk memukau NASA, Chris Cooze, petinggi Hasselblad, langsung mengontak NASA dan bertanya, “apakah ada sesuatu yang bisa kami kerjakan?”
Bermula dari kontak-kontakan itu, NASA dan Hasselblad akhirnya melahirkan Hasselblad 500 EL alias Lunar Surface Data Camera. Kamera ini dibuat secara khusus yang salah satu fiturnya ialah plat bernama Reseau, selembar kaca tipis yang ditempatkan di dekat film seluloid, yang membubuhkan tanda silang pada negatif film dan berguna bagi astronaut menilai ukuran serta objek di Bulan. Selain itu, Hasselblad 500 EL memiliki tombol rana (shutter click) yang besar sehingga memudahkan astronaut memotret.
Karena tidak mungkin membidik foto melalui viewfinder, Hasselblad tidak menyematkan fitur itu pada Hasselblad 500 EL. Sebagai gantinya, para astronaut menjalani pelatihan untuk belajar bagaimana mengarahkan kamera dengan merasakan dari tingkatan dada, tempat kamera dilekatkan.
Akhirnya, dengan Hasselblad 500 EL dan empat kamera lainnya (Hasselblad Electric, Hasselblad Lunar Surface Superwide-Angle, Maurer Data Acquisition Camera, dan Lunar Surface Close-up Stereoscopic Camera) Armstrong dan kawan-kawan sukses mengabadikan momen mereka menginjakkan kaki di Bulan.
NASA tak hanya menggunakan kamera untuk menghasilkan foto. NASA memiliki sebuah mesin menakjubkan untuk menghasilkan foto-foto luar angkasa yaitu Hubble. Cara kerja Hubble dalam memotret luar angkasa tidak sama dengan kamera karena ia sejatinya adalah teleskop yang mengorbit Bumi.
Hubble menggunakan teknologi CCD atau Charge-Couple Device untuk memotret cahaya. Foto yang dihasilkan Hubble merupakan foto grayscale atau foto dengan rentang warna putih ke hitam. Namun foto yang dipotret menghasilkan gelombang atau spektrum yang berbeda. Gabungan dari beberapa foto yang memiliki spektrum berbeda itu kemudian diterjemahkan menjadi foto berwarna.
Sebagaimana diwartakan Gizmodo, foto Galaksi NGC 3982, sebuah galaksi yang berjarak 68 juta tahun cahaya dari Bumi, merupakan salah satu foto yang dihasilkan oleh 3 kamera Hubble. Foto tersebut dibuat berdasarkan 7 foto grayscale.
Selanjutnya ilmuwan NASA melakukan proses pascaproduksi selama 10 jam untuk melakukan pengukuran, pengaturan tata-letak, pewarnaan, dan proses lainnya hingga membuat foto tersebut jadi. Ini dilakukan karena foto grayscale yang dipotret Hubble mengandung spektrum elektromagnetik yang tidak bisa dilihat oleh mata kasat manusia. Rentang spektrum elektromagnetik yang mampu dilihat mata manusia berada di kisaran 390 hingga 750 nanometer. Proses pascaproduksi itu dibantu Adobe Photoshop.
Melalui Hubble dan astronaut-astronaut yang dibekali kamera, NASA tak hanya bertindak sebagai badan antariksa, tetapi juga studio foto yang khusus menghasilkan foto-foto luar angkasa.
Editor: Ivan Aulia Ahsan