Menuju konten utama

Jebakan Thucydides dalam Retorika Debat Prabowo

Ada problem mendasar dalam ucapan Thucydides yang dikutip Prabowo Subianto.

Jebakan Thucydides dalam Retorika Debat Prabowo
Capres 02, Prabowo Subianto tiba di tempat berlangsungnya debat pilpres 2019 ke-4 di Hotel Shangri La, Jakarta pada Sabtu (30/3/19). tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto tampak begitu berapi-api pada debat calon presiden pada Sabtu (30/3) malam. Ia menyatakan pertahanan Indonesia masih terlalu lemah, sembari mengutip sejarawan Yunani kuno, Thucydides, bahwa yang kuat akan berbuat sekehendaknya sementara yang lemah harus menderita.

Pernyataan itu disampaikan Prabowo dalam segmen kedua untuk menanggapi pertanyaan tentang strategi calon presiden untuk memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan alat material khusus (almatsus) dengan tetap menjamin transparansi dan akuntabilitas di tengah keterbatasan anggaran negara.

Prabowo membuka jawabannya dengan menyatakan pertahanan negara adalah hal krusial bagi suatu negara. Tanpa pertahanan yang kuat, kekayaan suatu bangsa tidak dapat terjaga dengan baik.

“Kita ingat adagium dari Thucydides, ahli sejarah Yunani 2.500 tahun yang lalu, mengatakan bahwa ‘The strong will do what they can, and the weak suffer what they must.’ Karena itu, saya menilai pertahanan Indonesia terlalu lemah,” sebutnya.

“Jauh dari yang diharapkan. Kenapa? karena kita tidak punya uang ... karena itu kita lemah. Mau kita diplomasi apa, ini duta besar di sini, your excellency, welcome, apakah kita sadar bahwa sebenarnya kita diejek, dia senyum di depan kita, tapi ‘we have nothing, we have no power'.”

Strategi yang ia tawarkan cukup singkat dan langsung: Peningkatan anggaran pertahanan dan menghentikan korupsi serta kebocoran kekayaan Indonesia ke luar negeri—elemen retoris yang terus ia sebutkan sejak debat pertama.

Penekanan akan pentingnya kekuatan militer ini kembali ia kemukakan dalam segmen pertanyaan terkait hubungan internasional. Dalam segmen tersebut, Prabowo kembali mengulang betapa diplomasi tidak begitu berarti tanpa kekuatan militer yang mumpuni.

“Diplomasi hanya bisa dan harus di-back up oleh kekuatan [pertahanan dan keamanan],” sebut Prabowo. “Pak [Joko Widodo], diplomasi kalau hanya senyum-senyum menjadi nice guy, ya begitu-begitu saja, Pak. Kalau ada armada asing masuk laut kita, apa yang kita bisa perbuat?”

Jebakan Thucydides

Kori Schake, wakil direktur jenderal International Institute of Strategic Studies menuliskan dalam esai singkatnya di Atlantic bahwa adagium Thucydides dalam History of Peloponnesian War sering dikutip politisi untuk menggambarkan politik antarnegara yang brutal dan keras. Kutipan yang sama juga digunakan sebagai justifikasi perang.

Dalam pidato kebangsaan Januari lalu, catat CNN, Prabowo memakai kutipan yang sama dari Thucydides.

Namun, Schake mengingatkan bahwa pernyataan Thucydides tentang yang kuat akan menindas yang lemah hanyalah satu aspek hal dari gambaran yang lebih besar. Thucydides sesungguhnya hanya menceritakan kembali kisah para prajurit tanpa mendukung sikap mereka.

“Kenyataannya, negara-negara yang mengakui sentimen keras tersebut malah terjerumus ke dalam kehancuran,” tulis Schake.

Kajian politik internasional baru-baru ini mengenal istilah "Jebakan Thucydides" (Thucydides's Trap) yang dipopulerkan oleh Profesor Graham Tillet Allison dari Harvard Kennedy School dalam bukunya Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’ Trap? (2017). Ide pokok jebakan Thucydides terinspirasi dari sebuah kutipan dari History of The Peloponnesian War: It was the rise of Athens and the fear that this instilled in Sparta that made war inevitable” (kebangkitan Athena dan ketakutan akan kebangkitan ini dalam masyarakat Sparta membuat perang tak terhindarkan).

Melalui petikan tersebut, Allison melihat bahwa konflik sangat mungkin terjadi antara negara yang kekuatannya saat ini tengah menanjak dengan negara yang dominan karena ketakutan yang timbul di dalam negara tersebut. Kata kunci dalam jebakan ini adalah "ketakutan".

Mengutip laman Belfer Center for Science and International Affairs dari Harvard Kennedy School tempat Graham Allison mengajar, 12 dari 16 kasus di mana situasi jebakan ini terjadi dalam 500 tahun terakhir berakhir dengan kekerasan.

Kendati demikian, Leon Whyte dalam esainya di The Diplomat, berpendapat bahwa apa yang disebutkan oleh Allison hanyalah menangkap separuh dari arti keseluruhan dari buku History of The Peloponnesian War karya Thucydides. Menurut Whyte, jebakan Thucydides yang sesungguhnya adalah ketika negara-negara terlibat dalam lingkaran setan peperangan.

“Jebakan yang sebenarnya adalah ketika negara-negara masuk ke dalam—dan terus menerus melakukan—peperangan serta diselimuti oleh gairah [emosional] seperti ketakutan, keangkuhan, dan kehormatan,” tulis Whyte.

Menurutnya, pelajaran utama yang dapat dipetik dari jebakan itu sangat jelas: Jangan biarkan emosi seperti keangkuhan, ketakutan dan kehormatan membawa negara ke dalam perang perebutan hegemoni. Jika peperangan benar-benar terjadi, emosi yang sama tak semestinya mengaburkan kesempatan untuk membangun perdamaian.

Infografik Prabowo dan Thucydides Trap

undefined

Militer Kuat = Diplomasi Kuat?

Tidak dapat dipungkiri bahwa negara yang kuat secara militer, atau memiliki hard power yang besar, akan memiliki kapasitas diplomatik yang besar pula. Namun, dunia kini juga mengenal soft power, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Josep Nye di akhir era Perang Dingin. Peran soft power ini kemudian turut memberikan kekuatan bagi diplomasi suatu negara dalam posisinya terhadap negara lain.

Menurut Nye, berkebalikan dari hard power, soft power bergantung pada kebudayaan, nilai dan kebijakan suatu negara. Soft power ini diekspresikan melalui diplomasi publik yang menurut Nye memegang peranan penting dalam mengakhiri era Perang Dingin.

Kenyataannya, ada beberapa negara yang sanggup bersaing dalam percaturan politik dunia kendati kekuatan militernya tak mengesankan. Salah satunya Swiss.

Dalam peringkat kekuatan militer yang dibuat oleh Global Firepower (GFP) pada 2019, Swiss tidak termasuk dalam negara dengan kekuatan militer luar biasa. Peringkatnya 33 dari 137 negara. Kendati demikian, Swiss menempati urutan tujuh dalam peringkat global soft power 2018 yang dirilis oleh Jonathan McClory dalam laporan berjudul “The Soft Power 30”.

Dengan kekuatan diplomasi soft power, Swiss dapat menjadi salah satu negara yang memiliki posisi penting di dunia. Salah satu kekuatan utama Swiss terletak pada netralitasnya sehingga menjadi salah satu negara yang paling bisa dipercaya. Walhasil, Swiss kerap mendapat kepercayaan sebagai salah satu "arbitrer dan mediator perdamaian paling efektif di dunia” (hlm. 54).

Dalam indeks diplomasi global 2017 yang diterbitkan Lowy Institute, Swiss menempati posisi 16 dari 60 negara.

Selain Swiss, ada pula Swedia yang bertengger di peringkat tujuh dalam indeks global soft power 2018 dan peringkat ke-31 dalam daftar kekuatan militer GFP. Dalam indeks diplomasi global 2017 Lowy Institute, Swedia menempati posisi ke-32.

Menurut McClory, soft power Swedia terletak pada fakta bahwa mereka berhasil menjadi negara tertinggi kedua dalam produksi perusahaan teknologi bernilai miliaran dolar per kapita. Swedia hanya tertinggal di belakang Amerika Serikat yang berjaya dengan Silicon Valley. Salah satu perusahaan teknologi rintisan ternama dari Swedia adalah Spotify.

Selain itu, dalam studi berjudul “Sweden Is a World Leader in Peace, Security, and Human Rights” (2017), Elise Carlson-Rainer menilai Swedia berhasil menjadi salah satu negara dengan pengaruh sangat kuat di tingkat global karena prinsip-prinsip HAM sangat dijaga di dalam negeri dan melandasi politik luar negerinya.

Kasus Swiss dan Swedia mengindikasikan bahwa kekuatan militer bukanlah hal mutlak yang menentukan kapasitas suatu negara dalam menghadapi ancaman dari negara lain. Seperti halnya pepatah lama “Ada banyak jalan menuju Roma”, ada banyak cara agar Indonesia menjadi negara yang tangguh di kancah politik internasional.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Politik
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf