Menuju konten utama

Janggalnya Perlakuan Polri ke Irjen Napoleon & Tommy di Kasus Djoko

Napoleon Bonaparte, seorang jenderal polisi yang diduga terlibat dalam penghapusan red notice Djoko Tjandra, semestinya ditahan setelah diperiksa.

Janggalnya Perlakuan Polri ke Irjen Napoleon & Tommy di Kasus Djoko
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra (ketiga kanan) bersiap menandatangani berita acara penyerahterimaan kepada Kejaksaan Agung di kantor Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Jumat (31/7/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.

tirto.id - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri tidak langsung menahan Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Tommy Sumardi setelah diperiksa pada 25 Agustus 2020 malam.

Penyidik memeriksa Napoleon, Tommy, dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo dalam kasus penghapusan red notice Djoko Soegiarto Tjandra, koruptor Bank Bali yang kabur sejak 2009 dan kembali beberapa bulan lalu dengan cara ilegal. Mereka mengajukan 60 pertanyaan kepada Tommy, berstatus kolega Djoko; 50 pertanyaan kepada Prasetijo, mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri; dan 70 pertanyaan untuk Napoleon, mantan Kadiv Hubungan Internasional Polri.

Napoleon dan Prasetijo diduga menerima suap sehingga nama Djoko bisa terhapus dari red notice, sementara Tommy berperan sebagai pemberi suap.

Napoleon dan Prasetijo dijerat Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 12 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara, sementara Tommy dijerat Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 KUHP.

Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Pol Awi Setiyono mengatakan baik Napoleon dan Prasetijo telah mengakui mereka menerima duit. “Berupa transfer atau cash and carry,” katanya, tanpa menjelaskan berapa nominalnya. Meski begitu toh Napoleon dan Tommy tidak ditahan malam itu juga, menyusul Prasetijo yang sudah mendekam di Rutan Salemba cabang Bareskrim Polri.

Awi mengatakan keduanya tidak ditahan “sesuai dengan kewenangan penyidik terkait dengan syarat subjektif maupun objektif penahanan.” “Dan dari keterangan penyidik memang kedua tersangka termasuk kooperatif,” kata Awi di Mabes Polri, Selasa (25/8/2020).

Syarat subjektif dan objektif yang Awi maksud diatur dalam KUHAP. Syarat subjektif diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.”

Sedangkan syarat obyektif diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP: “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.”

Semestinya Ditahan

Pengamat kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto mengatakan semestinya Napoleon ditahan.

“Pengakuan dan ancaman hukuman lima tahun sudah cukup dijadikan alasan penahanan. Memang itu hak prerogatif penyidik (syarat subjektif), hanya saja gugur dengan ancaman hukuman lima tahun penjara,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (27/8/2020).

Tidak ditahannya Napoleon, katanya, akan memperkuat asumsi bahwa penyidik tak serius dengan proses hukum yang menyangkut petingginya sendiri. “Polri seharusnya bekerja keras untuk membuktikan bahwa asumsi negatif publik itu tidak benar dengan menerapkan kesetaraan di depan hukum.”

Pernyataan ini terkait dengan dugaan ahli pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar yang mengatakan meski di atas kertas diatur, sangat mungkin alasan Napoleon tak ditahan karena faktor-faktor lain.

“Secara yuridis-normatif. menahan atau tidak merupakan kewenangan subjektif, tapi bisa sangat mungkin alasan sosiologisnya yang paling kental. Misalnya 'jeruk makan jeruk', intervensi, atau kepentingan lain termasuk kepentingan politis,” ucap Fickar kepada reporter Tirto.

Selain itu, sangat mungkin Napoleon menggunakan jabatan atau pengaruhnya sebagai jenderal polisi untuk merusak, menghilangkan barang bukti, bahkan melarikan diri--dengan kata lain sudah memenuhi syarat subjektif. “Seharusnya penahanan melekat pada potensi kemungkinan penggunaan sumber daya yang dimiliki tersangka,” katanya.

Sementara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho mengatakan alasan tersangka tidak bakal menghilangkan barang bukti harus diperdalam lagi. Sulit menerima penjelasan bahwa yang bersangkutan, dengan segala pengaruhnya, tak bakal menghilangkan barang bukti jika tidak ditahan. “Jika tidak ditahan, harus ada jaminan seluruh barang bukti sudah dikumpulkan penyidik,” katanya kepada reporter Tirto.

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti juga mengkhawatirkan hal serupa, meski faktanya menurut KUHAP penyidik tidak wajib menahan tersangka. “Meski penyidik tidak menahan tersangka, tapi mohon dapat dipertimbangkan juga besarnya kasus ini yang berpotensi intervensi,” katanya.

Jika sampai mereka melarikan diri, nama Polri akan tercoreng. Padahal tahun lalu saja kepercayaan publik terhadap mereka sudah menurun drastis, menurut sebuah survei. “Maka harus benar-benar diawasi dan dibentengi agar tidak melarikan diri, misalnya cekal ke luar negeri.”

Baca juga artikel terkait KASUS DJOKO TJANDRA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino