Menuju konten utama

Jangan Tunggangi Gajah!

Gajah bukan hewan domestik seperti kucing dan anjing, habitat natural mereka adalah alam liar.

Jangan Tunggangi Gajah!
Gajah berjalan di tengah hutan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Bagaimana cara berlibur di alam tanpa merusak lingkungan? Pertanyaan ini dulu pernah jadi perhatian saat foto-foto sampah di Cagar Alam Pulau Sempu di Malang muncul di media sosial. Banyak orang berpendapat bahwa semestinya ada perlindungan dan hukum khusus yang melindungi alam dari para pelancong. Katakanlah, misalnya, cagar alam mesti steril, sebab ia diisiapkan buat melindungi ekosistem.

Lantas bagaimana dengan taman safari atau taman hiburan alam lainnya? Berkembangnya pengetahuan mengubah cara pandang manusia tentang liburan, atraksi hewan liar, dan pariwisata berkelanjutan. Perjalanan ke alam liar memberi kita peluang untuk mengalami berbagai pengalaman kebudayaan, bertemu orang-orang baru, merasakan makanan-makanan unik yang lezat, dan mengenal lebih dekat alam serta hewan-hewan yang sebelumnya hanya kita saksikan di pelbagai tayangan dokumenter.

Belakangan, ada pengembangan wacana pariwisata yang etis terhadap hewan. Salah satu wujudnya ialah kampanye untuk tidak mengendarai gajah.

“Siapa yang tak suka menyaksikan perjalanan kawanan gajah? Gerak-gerik, keanggunan, kecerdasan mereka,” ujar Geoff Manchester, pendiri Intrepid Travel. "Celakanya, banyak turis yang gandrung dan membanggakan pengalaman mereka mengunggangi gajah tanpa tahu kisah kejam di baliknya."

Infografik Jangan Naik Gajah

Geoff mengajak orang untuk kritis memahami bagaimana proses domestifikasi gajah menyakiti hewan pintar itu. “Gajah tak pernah didomestifikasi seperti anjing dan kuda. Meski lahir di penangkaran, gajah tetap hewan liar, dan orang harus menghancurkannya supaya ia dapat dikendarai turis dan melakukan pertunjukkan,” katanya.

Proses untuk menjinakkan dan membuat gajah bisa dikendarai seperti kuda kerap kali kejam dan menyakitkan. Menurut Geoff, banyak gajah yang terlatih dirantai agar ruang geraknya terbatas. Mereka kerap kali dipukul atau dilukai atas nama "disiplin." Kekejian yang berlangsung terus-menerus memang mengubah perilaku gajah, tapi ini punya dampak buruk bagi gajah.

Gajah yang pernah menderita penyiksaan berlebih bisa tiba-tiba jadi agresif terhadap manusia. Di Thailand pernah ada kasus gajah mengamuk dan menginjak-injak seorang turis asal Inggris. Kasus serupa juga banyak ditemukan di India. Di luar pariwisata, gajah dan manusia juga kerap berebut lahan. Manusia membuat huma dan menggusur gajah, gajah menyerang kebun, dan manusia membalas dengan pembantaian.

Gerakan pariwisata etis dan berkelanjutan mengubah cara pandang turis terhadap liburan. Banyak turis yang senang karena diedukasi tentang kesejahteraan gajah, kemudian memilih alternatif liburan yang tak melanggengkan penindasan terhadap hewan-hewan. Namun, tentu ada banyak pula orang dan lembaga yang menolak menghentikan kekejaman mereka dengan alasan "kebudayaan." Pemerintah Thailand, misalnya, pernah dikritik karena menolak mengakui penyiksaan terhadap gajah untuk pertunjukan.

Dalam laporan yang diterbitkan Vice, Charles Parkinson menunjukkan bagaimana pariwisata Thailand bergantung pada industri pariwisata gajah mereka. Untuk memiliki satu gajah terlatih, seseorang perlu mengeluarkan biaya hingga 50 ribu dolar, mahal, tetapi eksploitasi terhadap gajah itu bakal mendatangkan keuntungan berlipat.

Pelatihan agar seekor gajah dapat dikendalikan tak hanya menyakiti gajah itu sendiri. Gajah harus dilatih pada usia yang sangat muda, padahal induk gajah sangat protektif terhadap anak-anaknya. Jika pawang ingin mengambil anak gajah, mereka harus melewati induk gajah. Kadang, dalam kawanan, satu anak gajah dijaga oleh beberapa gajah dewasa. Di balik seekor gajah terlatih, ada kematian tiga ekor gajah lain.

Edwin Wiek, pendiri organisasi konservasi Wildlife Friends Foundation Thailand, menyebut saat ini ada 3 ribu ekor gajah yang aktif dalam industri pariwisata. Penyiksaan, katanya, tidak hanya terjadi saat pelatihan tetapi juga saat mereka telah menjadi bahan tontonan. Saat musim kawin tiba, misalnya, gajah jantan dewasa mesti dibius agar tidak mengamuk dan tetap dapat dikendalikan. Saat musim liburan tiba, gajah-gajah itu bekerja nyaris tanpa libur. Banyak yang kelelahan namun tetap dipaksa bekerja dan menghibur para turis.

Para pawang gajah yang disebut mahouts umumnya melatih gajah sejak mereka sendiri masih kanak-kanak, tetapi generasi baru mahouts tak punya tradisi menghormati gajah seperti para pendahulu mereka. Kebanyakan mahouts muda hanya memikirkan uang. Mereka hanya tahu jika gajah mereka melukis, main bola, atau ditunggangi, mereka akan segera dapat uang.

Proses pelatihan gajah yang disebut phajaan pun penuh rincian yang menggiriskan. Kalau tak menuruti perintah pelatihnya, para gajah dilukai dengan kait tajam, pisau, dan paku. Dari hari ke hari, mereka disiksa sampai benar-benar patuh kepada manusia. Umumnya, phajaan dimulai saat gajah berumur enam tahun. Yang mengerikan, penyiksaan itu tak dipedulikan karena turisme Thailand yang setiap tahun dapat mendatangkan 25 juta orang pengunjung membutuhkannya.

Penyiksaan terhadap hewan demi kesenangan manusia tentu tidak hanya dialami oleh gajah. Di banyak taman hiburan, hewan-hewan seperti singa juga dibius agar jinak dan bisa dipotret bersama manusia. Para pengelola turisme hewan seringkali tak menghormati musim kawin atau kondisi kesehatan hewan, dan hanya memikirkan cara terbaik buat mengeksploitasi mereka.

Sekali waktu, penulis Romania Emil Cioran menulis: "Dari seluruh makhluk hidup di dunia ini, hanya manusialah yang mengundang rasa jijik berkelanjutan."

Baca juga artikel terkait SATWA DILINDUNGI atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Dea Anugrah