tirto.id - Jaksa Agung HM Prasetyo memastikan penanganan kasus pelanggaran Pasal 28 Ayat 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang membelit tersangka Buni Yani tetap jalan terus dan tidak akan dihentikan.
Menurut Prasetyo, penanganan kasus ini tidak akan dihentikan meskipun Majelis Hakim PN Jakarta Utara menilai perbuatan Buni tidak berkaitan dengan tindakan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
"Gak, gak (tidak dihentikan), kenapa dihentikan (kasus Buni Yani), berkas kan sudah diterima. Tidak ada dihentikan," kata HM Prasetyo di Jakarta, pada Jumat (12/5/2017) sebagaimana dikutip Antara.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, saat membacakan putusan vonis dua tahun penjara untuk Ahok, menyatakan kasus penistaan agama itu tidak berkaitan dengan perbuatan Buni Yani.
Sebaliknya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di perkara ini berpendapat kasus tersebut memiliki keterkaitan erat dengan ulah Buni Yani yang menyebarkan potongan video berisi ucapan Ahok saat mengutip kalimat "Jangan mau dibohongi pakai Al-maidah (Surat Al-maidah Ayat 51)" di media sosial. Karena itu, JPU hanya menuntut Ahok dengan hukuman percobaan.
Sedangkan menurut Prasetyo, penanganan kasus Buni Yani tetap berlanjut sebab perkara ini memiliki fokus permasalahan yang berbeda dengan perbuatan penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok.
"Apa yang dilakukan Buni Yani berbeda dengan apa yang dilakukan Ahok. Jadi tidak ada istilahnya setelah Ahok bersalah, Buni Yani tidak," ujar Prasetyo.
Dia mengimbuhkan, kejaksaan menganggap masing-masing pihak, baik Buni Yani maupun Ahok, mempunyai tanggung jawab pidana sendiri-sendiri, sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh keduanya.
Prasetyo mencatat, saat ini, berkas Buni Yani sudah memasuki tahap dua atau pelimpahan berkas dan tersangka.
"Kita sedang meminta fatwa Mahkamah Agung untuk lokasi persidangan Buni Yani di Pengadilan Negeri (PN) Bandung," ujar Prsetyo.
Adapun dasar alasan kejaksaan mengajukan persidangan Buni Yani di Bandung, menurut Prasetyo, "Karena di Bandung lebih baik."
Buni Yani menjadi tersangka di kasus ini karena menyebarkan potongan video pidato Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu. Ahok berpidato pada akhir September tahun lalu dan beberapa hari kemudian Buni menyebarkan potongan videonya di media sosial.
Kepolisian lalu menetapkan Buni sebagai tersangka kasus penyebaran hasutan berbau SARA via media sosial pada 23 November 2016 lalu. Polda Metro Jaya melakukan pelimpahan tahap kedua tersangka Buni Yani ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, yang menyerahkan penanganan perkara ini ke Kejaksaan Negeri Kota Depok, pada 10 April 2017 lalu.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom