tirto.id - Tetua Lembaga Adat Baduy, terdiri dari Jaro Saidi, Jaro Aja, dan Jaro Madali mengirimkan surat ke Joko Widodo. Isinya permintaan agar Presiden mengeluarkan wilayah adat Baduy, terletak di Kabupatan Lebak, Banten, Jawa Barat sebagai lokasi objek wisata.
“Kami mewakili lembaga adat memohon bantuan pada pemerintah melalui Presiden,” kata Heru Nugroho, diberi mandat mengirim surat oleh para tetua, kepada reporter Tirto, Senin (6/7/2020). Surat tersebut dikirim pada hari itu juga, katanya.
Menurut Heru, masyarakat Baduy pada dasarnya senang dikunjungi oleh siapa pun dalam rangka menjalin persaudaraan. Namun, semakin sering orang luar datang, seiring dengan semakin gencarnya kampanye wisata oleh pemerintah, dikhawatirkan membawa dampak negatif. Para tetua khawatir kedatangan orang dengan latar belakang yang berbeda menghambat penanaman nilai-nilai leluhur terhadap generasi muda Baduy.
“Dikhawatirkan akan meruntuhkan tatanan nilai adat pada generasi berikutnya jika tidak dilakukan langkah-langkah antisipatif sejak dini,” ujar Heru.
Hal serupa diungkapkan oleh Wawan Yulianto dalam tesis yang berjudul Pariwisata dan Perubahan Sosial Masyarakat Baduy Dalam di Kampung Cibeo, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Ia menyimpulkan, “perubahan sosial terjadi secara lambat, besar dan terencana melalui variasi aspek proses sosial, pola sosial, interaksi sosial atau organisasi sosial dan perubahan dari unsur-unsur jaringan hubungan sosial yang meliputi adat, ritual, aturan dan prosedur.”
Dasar permintaan mencabut Baduy sebagai destinasi wisata juga karena terpublikasinya foto-foto wilayah adat di Google Maps, khususnya Baduy Dalam, tanpa izin. Tidak hanya wilayah, sebuah artikel yang ditulis Ahmad Syaukani juga menyebut penduduk Baduy Dalam “memiliki keyakinan tabu untuk difoto”.
Pertimbangan lain adalah maraknya kecelakaan yang dialami para wisatawan. Untuk mencapai Baduy Dalam memang dibutuhkan ketangguhan fisik lantaran medan yang berat. Ditambah akses ke fasilitas kesehatan tidak memadai, tidak jarang nyawa korban tak tertolong.
“Hal ini sangat memengaruhi secara psikologis komunitas Baduy,” katanya.
Derasnya arus wisatawan juga menyebabkan masalah lain, seperti penumpukan sampah plastik baik di Baduy Luar dan Baduy Dalam, berjubelnya pedagang, hingga pemanfaatan aliran sungai yang sembrono oleh para wisatawan.
“Warga Baduy Dalam tidak suka mencari perkara, selama ini mereka diam saja melihat pelanggaran tatanan nilai adat tersebut. Baduy sudah tak sepenuh damai dan tentram,” katanya menegaskan.
Hak Menentukan Nasib Sendiri
Orang Baduy sebenarnya lebih cocok disebut Urang Kanekes. Diperkirakan mereka telah menempati kawasan tersebu sejak abad ke-5. Penyebutan Baduy muncul di masa Hindia Belanda sebab para peneliti menyamakan mereka dengan kelompok badui di Arab yang hidup berpindah dan terpencil.
Dosen Tourism Anthropology Program Pascasarjana STIPRAM Yogyakarta Nur Widiyanto menjelaskan mengapa Baduy dan alamnya kerap dijadikan objek wisata oleh masyarakat perkotaan. Menurutnya, masyarakat yang tengah bertransformasi semakin urban dan modern memang cenderung mengalami 'root syndrome' alias ingin menemukan budaya yang dianggap asli dan belum banyak perubahan.
“Keaslian budaya sering dianggap sebagai backbone dari wisata berbasis culture. Hal ini dimiliki sepenuhnya oleh masyarakat adat seperti Baduy,” ujar Widiyanto kepada reporter Tirto, Senin (6/7/2020).
Namun, saat kepuasan tersendiri dirasakan masyarakat kota, hal sebaliknya dialami masyarakat adat. Di samping dampak positif seperti berkesempatan untuk mengekspresikan identitas budaya, masyarakat adat juga cenderung berubah dan semakin meninggalkan 'akar' mereka, persis seperti yang dikhawatirkan tetua Baduy.
Oleh sebab itu Widiyanto menilai penting sekali kontrol pengelolaan kegiatan wisata. Ia menegaskan si pengelola itu semestinya tidak lain masyarakat adat itu sendiri. Masyarakat harus punya otoritas penuh untuk membatasi giat pelancongan apabila menganggap dapat atau sudah merusak tatanan adat.
“Kalau kontrolnya oleh pemerintah atau travel agent, masyarakat Baduy hanya menjadi obyek dan menerima dampak negatif. Mereka berhak menolak kegiatan wisata di tempat mereka atau yang mengatasnamakan mereka,” ujarnya.
Kontrol pengelolaan yang tepat, menurut Widiyanto, terdapat di Kasepuhan Ciptagelar, masyarakat hukum adat yang berada di kawasan pedalaman Gunung Halimun-Salak. Merekalah yang mengontrol kegiatan wisata.
Inisiatif masyarakat Baduy mendapat dukungan dari Sekretaris Jendral (Sekjend) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi. Ia berpendapat orang Baduy punya hak untuk menentukan nasib sendiri, termasuk untuk membangun kampung dengan ideal adat itu sendiri tanpa intervensi siapa pun.
“Pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati keputusan orang Baduy,” ujar Rukka kepada reporter Tirto, Senin (6/7/2020).
Dalam situs resmi Dinas Pariwisata Provinsi Banten, mereka menyebut tempat ini “merupakan wisata alam sekaligus wisata budaya.” Pada 2017 lalu Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lebak Hayat Syahida mengatakan terus berkomitmen membangun objek wisata ini, dengan harapan agar “destinasi wisata Baduy mendunia.”
Rukka mengatakan keputusan tetua Baduy sudah tepat, alih-alih mengikuti logika pemerintah. Menurutnya, pemerintah memang tidak bisa selalu memaksakan logika ekonomi pada semua aspek. Ia berpandangan, justru orang Baduy lebih tepat hidup berdampingan dengan alam.
“Kita ini bangsa yang beruntung karena masih memiliki budaya warisan leluhur. Wilayah adat adalah pertahanan terakhir warisan budaya titipan leluhur, bukan untuk dirusak,” katanya menegaskan.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan