Menuju konten utama

Izinkan Mudik hingga THR Penuh, Pemerintah Ingin Dongkrak Ekonomi

Pemerintah dinilai hanya mendorong konsumsi rumah tangga kelas menengah bawah, sedangkan kelas atas tak banyak dilibatkan.

Izinkan Mudik hingga THR Penuh, Pemerintah Ingin Dongkrak Ekonomi
Calon penumpang memindai barcode melalui aplikasi PeduliLindungi di Terminal Cicaheum, Bandung, Jawa Barat, Senin (28/3/2022). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/YU

tirto.id - Pemerintah mewajibkan pengusaha membayar Tunjangan Hari Raya (THR) keagamaan secara penuh dan tanpa dicicil. Ketentuan tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/1/HK.04/IV/2022 tanggal 6 April 2022.

Kewajiban pembayaran THR secara penuh dan tanpa dicicil ini beriringan dengan kebijakan pemerintah yang mengizinkan cuti bersama pada 29 April 2022 dan 4-6 Mei 2022 untuk menyambut Idulfitri 1443 H.

Dua kebijakan tersebut dikeluarkan setelah adanya pertimbangan sektor usaha sudah membaik di tengah tingginya angka vaksinasi dan terkendalinya penularan COVID-19.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Muhammad Faisal melihat pemerintah ingin mendorong konsumsi masyarakat di kuartal II 2022.

“Sebetulnya pemerintah ingin dorong dari sisi konsumsi ya kalau dari THR Lebaran ini. Supaya nanti kalau konsumsinya meningkat pulih ya pertumbuhan ekonominya jauh lebih bagus ya tahun ini dibandingkan tahun kemarin,” kata Faisal kepada Tirto, Senin (11/4/2022).

Faisal menjelaskan, dua kebijakan tersebut mendongkrak dari sisi konsumsi rumah tangga. Target utama THR dibayarkan penuh dan mobilitas diperloggar selama Lebaran adalah terjadinya perbaikan ekonomi di kuartal II.

“Memang pertumbuhan ekonomi iu itu agak riskan kalau kita lihat base effect-nya ini kan kuartal II 2021 itu kan tinggi sekali ya, jadi biasanya kalau sudah tinggi di kuartal II nya di tahun berikutnya di tahun yang sama itu kalau gak lebih digenjot lagi insentif-insentif baru ini bisa lebih rendah pertumbuhannya,” jelas dia.

Mengingat pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2021 melesat ke 7 persen, pemerintah tampak ingin mempertipis gap pertumbuhan ekonomi di tahun lalu dan tahun ini.

“Jadi di Kuartal II tahun lalu kan 7 persen ya, jadi tanpa ada dorongan insentif baru dari pemerintah ya, kemungkinan di kuartal II tahun ini gak sampai 7 persen. Jadi untuk supaya gak terlalu jomplang ini upaya untuk mengurangi high base effect,” ucap Faisal.

Namun permasalahannya kata Faisal, yang didorong konsumsi rumah tangganya adalah kelas menengah ke bawah yang rentan turun level karena ekondisi ekonomi yang belum pulih secara penuh. Sementara kelas atas kata dia tak banyak dilibatkan dalam mendorong misi pemerintah untuk memperbaiki perekonomian secara nasional.

“Yang tertekan akhirnya kan kelas menengah ke bawah ini, kalau begini kan nanti gap akan semakin lebar,” papar dia.

Senada dengan Faisal, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira juga mengungkapkan hal serupa. Pertama, THR harus dibayarkan penuh masih memiliki permasalahannya sendiri.

Banyak perusahaan yang memilih untuk tetap membayarkan THR dengan skema dicicil, banyak juga karyawan yang menggugat perusahaannya karena tidak membayarkan THR sesuai dengan ketentuan. Permasalahan ini seharusnya jadi fokus utama sebelum membahas pertumbuhan ekonomi kuartal II.

“Prosedur THR 100 persen itu juga gak gampang. Karena sampai ada perselisihan hubungan industrial sampai masuk ke MA, jadi untuk pekerja yang menggugat perusahaan yang seharusnya membayar THR secara penuh itu pun prosedurnya sangat panjang,” kata Bhima kepada Tirto.

Ia menjelaskan, pengawasan yang lemah akan memicu gesekan antara pengusaha dan pekerja. Seharusnya permasalahan ini jadi fokus pertama pemerintah.

Ada pula kemungkinan dari ngototnya kebijakan pembayaran THR 100 persen ini untuk menjaga pemulihan ekonomi karena ada kekhawatiran pendapatan masyarakat di sektor formal tergerus oleh kenaikan harga barang, BBM, LPG dan PPN.

“Ada kemungkinan diharapkan kalau THR-nya bisa berjalan 100 persen bisa mendorong daya beli masyarakat ya, jadi gak terlalu turun. Jadi kalau dari situnya sih positif ya. Cuma tadi penegakan dan pengawasan dari THR prosedural untuk melakukan gugatan pengusaha yang sengaja tak membayarkan THR secara penuh atau yang masih terutang THR nya,” imbuh dia.

Kebijakan THR, kata dia, seharusnya juga dilakukan beriringan dengan penstabilan harga bahan pokok. Karena sumber masalah dari turunnya daya beli masyarakat adalah tingginya harga bahan pokok di dalam negeri. Jika ingin pertubuhan ekonomi di kuartal II lebih positif maka penyelesaian masalah di hilir perlu dilakukan secara beriringan.

"Yang jadi masalah adalah meskipun THR nya dibayarkan secara penuh tapi ada perilaku konsumen yang berubah. Jadi mereka banyak yang menunda konsumsi ya misalnya selama Lebaran karena BBM naik ya, yang tadinya mau beli mobil jadinya ditunda dulu atau yang kemudian mudik Lebaran jadi mudiknya ditunda bahkan berkurang untuk melakukan mudik Lebarannya,” beber Bhima.

Bhima menjelaskan, pemerintah seharusnya tak perlu terlalu khawatir daya beli akan turun di kuartal II. Pemerintah hendaknya lebih konsentrasi pada apa yang akan terjadi pada kuartal III 2022. Saat uang THR masyarakat sudah habis kemungkinan akan terjadi kenaikan gas LPG 3 kg hingga sembako. Ini yang menurut dia perlu diantisipasi.

“Sinyal dari menteri [Luhut] bahwa minyak seperti Pertalite akan dinaikan bertahap ya khususnya pasca-Lebaran ini juga akan menjadi warning bagi masyarakat untuk menahan diri dulu untuk belanja secara eksesif meskipun ada THR," tuturnya.

"Karena mereka antisipasi pasca-Lebaran itu harga barangnya akan tetap naik. Itu udah tercermin dari indeks keyakinan konsumen di bulan yang turun terus, jadi itu menjadi salah satu indikasi bahwa masyarakat saat ini sedang berfikir untuk fokus dulu pada kebutuhan pokok sementara barang sekunder dan tersier ditunda pembeliannya,” pungkas Bhima.

Baca juga artikel terkait THR 2022 atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Fahreza Rizky