tirto.id - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Ahmad Atang mengatakan, tradisi yang mengharuskan para kandidat Calon Ketua Umum Partai Golkar membayar iuran Rp1 miliar justru menodai semangat Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).
"Semangat Munslub Golkar untuk mengakhiri dualisme kepengurusan di tubuh Golkar, justru dinodai oleh model rekrutmen kepemimpinan dengan cara-cara yang tidak etis secara moral dengan menggunakan uang sebagai instrumen," kata Ahmad Atang di Kupang, Rabu (11/5/2016).
Padahal, kata dia, saat ini negara tengah berupaya memberantas praktik politik uang. "Ini sebuah preseden buruk dalam membangun budaya demokrasi," kata Ahmad yang juga menjabat sebagai Pembantu Rektor I Universitas Muhammadiyah Kupang itu.
Menurut dia, apabila partai politik menghalalkan praktik politik uang, maka hal tersebut dapat merusak tatanan budaya demokrasi yang bermartabat.
Untuk itu, kata dia, iuran yang dibebankan kepada calon ketua umum golkar dengan dalih apa pun tidak dapat dibenar kan.
"Menjadi calon dengan membayar iuran maka tidak mustahil, jika terpilih dan dalam menyusun kepengurusan cara seperti ini dapat dipraktikan juga," kata Ahmad.
Dengan demikian, tambahnya, posisi kepengurusan Golkar sangat ditentukan oleh besarnya upeti yang akan diberikan dan praktik seperti akan menular ke DPD I maupun DPD II.
Sebelumnya dilaporkan, Rapat Pleno Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya (DPP Golkar) memastikan akan menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) dengan agenda utama Pemilihan Ketua Umum di Bali pada 15-17 Mei 2016 mendatang.
Dalam rapat tersebut, Panitia Munaslub Golkar mewajibkan calon ketua umum menyetor Rp1 milliar untuk biaya penyelenggaraan Munaslub.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Abdul Aziz