Menuju konten utama

Isu HAM Dominasi Pemberitaan di Media

Sepanjang tahun 2016 polemik hukuman mati menjadi isu terbesar Hak Asasi Manusia (HAM) yang disorot media sama seperti tahun sebelumnya berdasarkan hasil analisis Indonesia Indicator (I2). Pemberitaan mengenai isu tersebut mencapai 20 persen dari kurang lebih 5.152 pemberitaan.

Isu HAM Dominasi Pemberitaan di Media
Menkunham Yasonna Laoly memberikan sambutan saat menghadiri perayaan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia ke-68 Tahun di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/12). ANTARA FOTO/Moch Asim.

tirto.id - Sepanjang tahun 2016 polemik hukuman mati menjadi isu terbesar Hak Asasi Manusia (HAM) yang disorot media sama seperti tahun sebelumnya berdasarkan hasil analisis Indonesia Indicator (I2). Pemberitaan mengenai isu tersebut mencapai 20 persen dari kurang lebih 5.152 pemberitaan.

I2 merupakan perusahaan di bidang intelijen media, analisis data, dan kajian strategis dengan menggunakan software AI (Artificial Intelligence) mencatat sepanjang 2016 pemberitaan mengenai isu HAM di media mencapai 26.333 berita.

"Pemberitaan polemik hukuman mati mencapai 20 persen dari ekspose isu HAM di media atau sekitar 5.152 pemberitaan. Dominasi isu hukuman mati ini masih belum bergeser sejak tahun 2015. Hukuman mati disorot sebagai persoalan HAM mengingat hukuman mati langsung menyentuh pada jantung hak paling mendasar dari manusia yaitu hak hidup," ujar Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (I2), Rustika Herlambang, pada acara "Paparan HAM Dalam Sorot Media", di Jakarta, Sabtu, bertepatan dengan peringatan Hari HAM, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (10/12/2016).

Menurut Rustika, menguatnya ekspos hukuman mati mencapai puncaknya pada momentum kasus Freddy Budiman. Berbagai pihak pendukung HAM, kata dia, mendorong pemerintah mengkaji ulang penerapan sistem hukuman mati hingga menyuarakan moratorium.

Sedangkan kasus terorisme dan separatisme, papar Rustika, menjadi isu HAM kedua yang paling mendominasi ruang pemberitaan media, yakni mencapai 17 persen atau 4.448 berita.

"Kasus terorisme dan separatisme juga secara aktif dikaitkan oleh media dengan kasus pelanggaran HAM," tuturnya.

Menurut dia, cara-cara yang dianggap represif yang dilakukan oleh aparat keamanan menjadi sorotan tajam karena diklaim sarat akan pelanggaran HAM. Kasus pelumpuhan kelompok teroris Santoso, misalnya, menjadi salah satu yang cukup intensif mendapatkan kritikan publik.

Isu HAM masa silam juga menjadi sorotan media pada 2016. Kedua kasus itu adalah pembunuhan aktivis Munir dan kasus korban 1965.

"Kasus pembunuhan mendapat ekspose di media sebesar 12 persen, yakni sebanyak 3.604 berita. Sedangkan, kasus korban 1965 sebanyak 11 persen atau 3.022 berita. Kedua kasus lama ini masih konsisten diangkat media karena dianggap belum menemui titik penyelesaian," kata Rustika.

Ia mengungkapkan kasus Munir masih menarik perhatian media bukan hanya dalam hal tuntutan menyelesaikan kasus, namun juga diramaikan dengan hilangnya dokumen TPF yang menyajikan saling lempar argumen antara elite pemerintahan SBY dan Jokowi.

Menurut Rustika, masih berlarutnya penanganan kasus Munir dipersepsikan media sebagai bentuk sisi lemah negara dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM.

Secara umum, kata Rustika, kemunculan beberapa kasus pelanggaran HAM sepanjang 2016, beriringan dengan kembali mencuatnya beberapa kasus HAM yang terjadi di masa lalu.

"Pembauran antara kasus HAM baru serta kasus yang terjadi pada masa silam silih berganti menguasai ruang wacana media," kata Rustika

Selain itu, kasus dugaan penganiayaan hingga merenggut nyawa Siyono juga tidak terlewatkan oleh media.

"Kasus ini yang tidak hanya mengambil porsi yang relatif kuat mengisi ruang berita media yakni sebesar 10 persen atau 2.210 berita, namun juga kembali meningkatkan ruang-ruang dialog publik terhadap penanganan HAM di Indonesia," ujarnya

Bahkan, kata Rustika, dalam kasus Suyono dampak meluas hingga desakan revisi UU Terorisme terutama dalam hal kewenangan Densus 88 serta wacana pembentukan dewan pengawas Densus 88.

Berdasarkan catatan I2, pemerintah terlihat proaktif dalam menanggapi berbagai wacana dan isu HAM di ruang publik, meskipun tidak semuanya memberikan kepuasan bagi berbagai pihak.

Hal ini disimpulkan dari sebanyak 20 figur tertinggi yang memberikan pernyataan berasal dari pemerintah, ketimbang aktivis pegiat HAM.

"Tiga sosok tertinggi dalam memberikan pernyataan tentang HAM adalah Yasonna Laoly (24.945 pernyataan), Presiden Joko Widodo (11.182 pernyataan) dan Luhut Panjaitan (9.469 pernyataan)," kata Rustika.

Dominannya posisi pernyataan tokoh internal pemerintah juga bertarung dengan pernyataan tokoh-tokoh aktivis pegiat HAM. Haris Azhar (5.415 pernyataan), Hendardi (4.404 pernyataan), dan Al Araf (1.022 pernyataan) menjadi tiga figur teratas mewacanakan berbagai topik HAM di media hingga tidak berlebihan jika ketiganya dianggap sebagai sosok aktivis HAM yang paling berpengaruh di tahun 2016.

"Pernyataan Haris Azhar menguasai wacana kasus-kasus HAM seperti kasus Siyono, kasus Freddy Budiman hingga meluas ke kasus hilangnya dokumen TPF Munir".

Dari sisi kelembagaan, Komnas HAM paling banyak diberitakan (9.719 berita) dan Kontras (2.927 berita), YLBHI (969 berita) dan Setara Institute (947 berita).

Beberapa lembaga HAM internasional juga mengisi ruang berita media nasional, di antaranya Amnesty Internasional (1.206), Human Rights Watch (683 berita) dan Human Rights Working Group, atau HRWG (23 berita). Amnesty Internasional, menyoroti masalah UUD Terorisme dan fenomena pekerja anak di perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan.

Menurut Rustika, berbagai konten kasus pelanggaran HAM dan figur yang dikutip media juga mendorong beberapa tuntutan publik. Rekonsiliasi (33 persen) masih menjadi tuntutan terkuat yang disuarakan untuk menagani serta menyelesaikan kasus-kasus HAM, terutama kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, disusul revisi peraturan (22 persen), permintaan maaf (20 persen) dan pengadilan HAM (15 persen) menjadi sangat mendesak dilakukan pemerintah.

Baca juga artikel terkait HAM atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh