tirto.id - Penindakan hukum terhadap pelaku perbuatan yang dianggap sebagai penodaan agama selama ini kerap didasarkan pada Pasal 156 a KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Pasal ini punya kaitan erat dengan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (PDF).
Adapun isi Pasal 156a KUHP [PDF] tentang penodaan agama adalah sebagai berikut:
"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Sejarah Pasal 156 A KUHP tentang Penodaan Agama
Pasal 156a KUHP disisipkan pada 2 dekade setelah kodifikasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi bagian resmi dari hukum positif di Republik Indonesia. Rentang waktu itu bisa lebih panjang jika ditarik sejak kodifikasi era kolonial Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie ditetapkan oleh Staatblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku per 1 Januari 1918.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana era kolonial itu diadopsi dalam KUHP versi Republik Indonesia dengan penyelarasan seperlunya pada 1945. Pemberlakuan KUHP masa kolonial usai kemerdekaan RI semula berdasarkan UUD, lantas dipertegas UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
UU Nomor 1 tahun 1946 awalnya hanya mengatur pemberlakuan KUHP di Jawa dan Madura. Baru di tahun 1958, melalui UU Nomor 73 Tahun 1958, dinyatakan bahwa UU 1/1946 sekaligus KUHP berlaku di semua wilayah RI.
Rumusan pasal 156a dalam KUHP lahir melalui proses panjang, bahkan bisa ditarik akarnya sejak dari era kolonial Belanda. Namun, secara formal, pasal ini lahir karena ada desakan dari kelompok mayoritas agama di tanah air.
Pada tahun 1965, Presiden Soekarno menerbitkan Ketetapan No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Ketetapan yang kemudian menjadi UU itu diterbitkan untuk mengakomodir permintaan organisasi-organisasi Islam yang ingin supaya aliran kepercayaan dilarang karena dianggap dapat "menodai" agama di Indonesia.
Lampiran ketetapan itu memuat penjelasan alasan penerbitannya. Pada 1960-an dianggap banyak bermunculan tindakan pemeluk aliran-aliran tersebut yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan juga menodai agama. Maka itu, karena menilai terdapat keadaan darurat, Soekarno mengeluarkan Ketetapan PNPS (UU Penodaan Agama).
Ketetapan No.1/PNPS/1965 itulah yang disarikan menjadi pasal 156a KUHP. Pasal sisipan itu dapat ditujukan kepada perorangan. Pelanggarannya juga bisa langsung diproses sebagai tindak pidana melalui penyidikan dan penuntutan di Pengadilan.
Apa Saja Unsur-unsur Pasal 156 A KUHP?
Unsur-unsur dalam Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama kerap ditafsirkan secara berbeda di sejumlah persidangan kasus penistaan agama, terutama huruf a. Terdapat 2 contoh kasus populer untuk hal ini.
Dalam putusan kasus Tajul Muluk (pemuka agama beraliran Syiah dari Sampang, Madura), majelis hakim di pengadilan perkara tersebut merumuskan unsur-unsur Pasal 156a KUHP sebagai berikut:
-Unsur 1: barang siapa;
-Unsur 2: dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, atau dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lain halnya dalam putusan kasus Basuki Tjahaja Purnama (mantan Gubernur DKI Jakarta), unsur-unsur di Pasal 156a huruf a KUHP dirumuskan ada 3, yakni:
-Unsur 1: barang siapa;
-Unsur 2: dengan sengaja;
-Unsur 3: di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Dalam buku Penafsiran terhadap Pasal 156A KUHP tentang Penodaan Agama (Analisis Hukum dan HAM) terbitan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan atau LeIP (2018), dijelaskan bahwa dalam semua putusan, pengadilan menyatakan Pasal 156a KUHP bersifat alternatif.
Maksudnya, jika salah satu dari unsur-unsur berikut, yakni “permusuhan,” “penyalahgunaan,” atau “penodaan” sudah terpenuhi, dakwaan pelanggaran Pasal 156a KUHP dianggap terbukti.
Meski demikian, tim penyusun buku dari LeIP menilai perlu ada pertimbangan bahwa tiga unsur itu mesti dibedakan, karena masing-masing memerlukan syarat pembuktian berlainan. Oleh sebab itu, pendefinisian secara jelas dari masing-masing 3 unsur di atas juga perlu dirumuskan.
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Addi M Idhom