tirto.id - Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman menyesal tidak berani menolak intervensi dalam pengadaan proyek KTP Elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri pada 2011-2012.
"Saya sangat menyesal atas ketidakmampuan saya menolak intervensi dari beberapa pihak yang mengganggu kelancaran pelaksanaan e-KTP, yang mencemari niat baik saya dalam program e-KTP," kata Irman dalam sidang pembacaan nota pembelaan (pledoi) di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (12/7/2017).
Dalam perkara ini terdakwa I yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dituntut 7 tahun dan pidana denda sejumlah Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sejumlah 273.700 dolar AS dan Rp2,248 miliar serta 6.000 dollar Singapura subsider 2 tahun penjara.
Sedangkan terdakwa II mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto dituntut 5 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp500 juta subsider 1 tahun penjara.
Namun Irman tidak menjelaskan siapa saja pihak-pihak yang mengintervensi pengadaan e-KTP itu.
"Saya juga sangat menyesal karena uang yang saya terima dari Andi Agustinus alias Andi Narogong yang dititipkan ke Sugiharto yang tidak langsung saya kembalikan dan saya menyesal tidak mampu untuk menghindarkan diri dari berbagai intervensi," tambah Irman.
Namun, dikatakan Irman, uang yang ia terima juga digunakan untuk pembiayaan tim supervisi e-KTP.
"Selain untuk pembiayaan lain e-KTP sudah dikembalikan ke rekening penampungan KPK. Di samping itu, saya sampaikan dalam menyelenggarakan e-KTP, saya dan atasan dan staf bekerja dengan cermat dan hati-hati termasuk aspek teknis dalam penentuan spesifikasi teknis dilakukan oleh tim teknis yang berasal dari 15 kementerian dan lembaga sedangkan kehati-hatian HPS (Harga Penentuan Sendiri) dimintakan harga ke produsen dalam dan luar negeri agar mendapat harga yang paling efisien dan murah," ungkap Irman.
Kehati-hatian lain, menurut Irman, adalah panitia pengadaan meminta audit rancangan biaya dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), rencana e-KTP dipaparkan di KPK dan didampingi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
"Sejak saya diberikan jabatan plt Dirjen Dukcapil dan akhirnya dirjen definitif, saya bertekad menyukseskan program e-KTP yang sejak 2013 dikenal sebagai e-KTP sebagaimana diamanatkan undang-undang. Saya meyakini program e-KTP adalah program luar biasa bagi bangsa dan negara untuk mencegah KTP palsu, menjamin validasi data kependudukan, meningkatkan efektivitas pelayanan publik, meningkatkan validitas data pemilih dalam pemilu dan dalam menyediakan daftar pemilih potensial," tambah Irman.
Ia mengaku sangat tulus mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan waktu untuk menyukseskan program e-KTP tersebut sesuai dengan fungsinya sebagai Dirjen Dukcapil.
"Di samping setiap malam saya berdoa dan berdoa bersama anak yatim di kantor dan kediamannya saya untuk memohon suksesnya prgram e-KTP. Di samping terdapat kelemahan-kelemanan di luar kemampuan saya mencagahnya," ungkap Irman.
Meski penuh kelemahan, menurut Irman ada banyak manfaat yang diperoleh masyarakat dari pengadaan e-KTP.
"Salah satu di antaranya dimanfaatkan untuk membuka rekening otomatis. Dengan alat cukup canggih dapat langsung keluar buku tabungan dan ATM yang akan diterapkan di mal sehingga masyarakat yang mau membuka rekening tidak perlu lagi ke bank, tapi bisa sambil belanja di tempat-tempat perbelanjaan. Data e-KTP yang telah dilengkapi rekaman sidik jari dan iris yang validasinya sangat terjamin saat ini sudah mencapai 173 juta dan merupakan modal dasar dan fondasi efektivitas pelayanan publik dan pencegahan kriminalitas di Indonesia yang kita cintai," jelas Irman.
Irman dan Sugiharto dinilai terbukti bersalah berdasarkan dakwaan kedua dari pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yaitu menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp2,3 triliun.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri