tirto.id - Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Sugito dituntut 2 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan. Dalam tuntutan tersebut disebutkan Sugito terbukti memberikan suap senilai Rp240 juta kepada auditor BPK agar Kemendes PDTT mendapat Opini WTP.
"Supaya majelis hakim memutuskan, menyatakan terdakwa Sugito terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan pertama. Menjatuhkan pidana terhadap Sugito berupa penjara selama 2 tahun ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan," kata Jaksa Penuntut Umum KPK Ali Fikri di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (11/10/2017).
Tuntutan itu berdasarkan dakwaan pertama dari pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat ke-1 KUHP.
Pasal dakwaan yang sama dikenakan kepada bawahan Sugito yaitu Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan pada Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendes PDTT Jarto Budi Prabowo.
"Supaya majelis hakim memutuskan, menyatakan terdakwa Jarot Budi Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan pertama. Menjatuhkan pidana terhadap berupa penjara selama 2 tahun ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan," tambah jaksa Ali Fikri.
Keduanya dinilai mengaku, berterus terang serta menyesali perbuatannya.
Dalam perkara ini, Irjen Kemendes PDTT Sugito bersama-sama dengan Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan pada Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo memberikan Rp240 juta secara bertahap kepada Auditor Utama Keuangan Negara III BPK Rochmadi Saptogiri selaku penanggung jawab pemeriksaan laporan keuangan TA 2016 Kemendes PDTT dan Wakil Penanggung Jawab merangkap Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Auditorat III. B Ali Sadli.
Pemberian suap diawali pemeriksaan atas laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016 dengan masa tugas 60 hari mulai 23 Januari-17 April 2017 di Jakarta, Banten, Aceh, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat.
Penanggung jawab atas penyusunan Laporan Keuangan Kemendes PDTT TA 2016 adalah Sekretaris Jenderal Anwar Sanusi, sedangkan pelaksana dalam penyusunan adalah Kepala Biro Keuangan dan Barang Milik Negara (Kabiro Keuangan dan BMN) Kemendes PDTT Ekatmawati.
Opini BPK atas Kemendes PDTT TA 2015 adalah Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) sehingga Sugito menargetkan memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada 2016.
Maka pada akhir April 2017, Sugito dan Anwar Sanusi bertemu dengan Ketua Sub-Tim 1 Pemeriksa BPK Choirul Anam yang mengonfirmasikan bahwa Kemendes PDTT akan memperoleh Opini WTP dan menyarankan agar Rochmadi dan Ali Sadli diberi sejumlah uang dengan mengatakan "Itu Pak Ali dan Pak Rochmadi tolong atensinya" yaitu sekitar Rp250 juta.
Dalam rangka memenuhi pemberian Rp250 juta itu maka pada awal Mei 2017, Sugito atas sepengetahuan Anwar Sanusi mengumpulkan para Sesditjen, Sesbadan, Sesitjen serta Karo Keuangan dan BMN.
Sugito meminta adanya "atensi atau perhatian" dari seluruh Unit Kerja Eselon I (UKE 1) kepada Tim Pemeriksa BPK berupa pemberian uang dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp200-300 juta.
Rapat menyepakati bahwa uang yang akan diberikan kepada Rochmadi dan Ali Sadli ditanggung oleh 9 UKE 1 dengan besaran uang sesuai kemampuan dari masing-masing UKE 1, uang akan disetorkan kepada Jarot.
Beberapa hari kemudian setelah pertemuan, Sugito menyampaikan kepada Ali Sadli bahwa Jarot akan menyerahkan sejumlah uang untuk Rochmadi melalui Ali Sadli, yang dijawab Ali Sadli "Baik Pak".
Setelah uang sebesar Rp200 juta terkumpul maka Jarot pada 10 Mei 2017 membawa tas kain belanja berisi uang sejumlah Rp200 juta. Ia menemui Ali Sadli di ruang kerjanya Lantai 4 kantor BPK RI. Jarot menyampaikan "Ada titipan dari Pak Irjen, Sugito".
Uang tersebut selanjutnya diterima Ali Sadli. Kemudian Ali meminta Choirul Anam membawa uang tersebut ke ruang kerja Rochmadi, selanjutnya Ali meletakkannya di lantai dekat tempat tidur dalam ruang kerja Rochmadi.
Siang hari, saat Ali bertemu Rochmadi di ruang kerja Ali Sadli ia melaporkan penerimaan uang tersebut kepada Rochmadi dengan mengatakan "Pak, ada titipan dari Kemendes. Saya taruh di kamar Bapak", yang dijawab Rochmadi "Iya, mas". Pada sore harinya Rochmadi memindahkan uang dengan jumlah Rp200 juta tersebut ke dalam brankas pribadi di ruang kerjanya.
"Rochmadi membantah menerima uang dengan mencabut BAP no.15 yaitu mengenai jawaban Benar menerima sesuatu dari Ali Sadli, saat itu Ali mengatakan saat berpapasan Pak itu ada titipan, saya letakkan di bawah tempat tidur. Saya jawab, ya. Sorenya saya buka bundelan itu yang ternyata berisi uang lalu saya taruh brankas. Uang tidak saya hitung langsung masuk brankas dan bercampur dengan uang lain yang diamankan KPK," kata jaksa Ali menirukan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Rochmadi yang dicabut.
Namun menurut jaksa, keterangan Rochmadi itu harus diabaikan.
"Karena Rochmadi menerangkan saat membuat BAP, ia lelah sehingga menyerahkan ke penyidik KPK untuk menuliskan keterangannya, selain itu ia juga mengaku dalam keadaan panik dan shock karena tidak dapat berpikir panjang. Hal ini tidak diterima akal sehat dengan alasan, pertama di awal sidang saksi Rochmadi mengaku tidak ada paksaan di hadapan penyidik KPK sehingga tidak logis BAP No. 15 dibuat dalam keadaan lelah dan diserahkan ke penyidik KPK dan tidak ada korelasi dengan jawaban saksi karena takut ditetapkan sebagai tersangka karena jawaban diberikan setelah ia menjadi tersangka," tambah jaksa Ali.
Jawaban Rochmadi juga tidak berkesesuaian dengan barang bukti CCTV di kantor BPK dan keterangan, Ali Sadli, Sugito maupun Jarot.
"Ada indikasi Rochmadi menutup diri dan tidak memberikan keterangan sebenarnya, termasuk saat ditunjukkan CCTV yang menunjukkan bahwa itu adalah rekaman Rochmadi padahal jelas bahwa tergambar aktivitas Rochmadi seperti digambarkan Ali Sadli," tambah jaksa Ali.
Pada 18 Mei 2017, BPK melakukan sidang Badan atas Laporan Keuangan Kemendes PDTT TA 2016 yang dipimpin oleh Anggota III BPK Edy Mulyadi Soepardi dimana pada saat itu Rochmadi menentukan bahwa Opini untuk Kemendes PDTT adalah WTP.
Padahal berdasarkan hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) pada Kemendes PDTT terdapat temuan dengan jumlah uang yang besar dan merupakan temuan berulang pada TA 2015 yakni mengenai pertanggungjawaban Pembayaran Honorarium dan Bantuan Biaya Operasional kepada Tenaga Pendamping Profesional (TPP) tahun 2016 sebesar Rp550,467 miliar dimana pihak Kemendes PDTT belum seluruhnya melaksanakan rekomendasi tersebut sampai dilakukan pemeriksaan Laporan Keuangan Kemendes PDTT TA 2016.
Pemberian selanjutnya adalah pada 26 Mei 2017 Jarot mengantarkan sisa uang sebesar Rp40 juta ke kantor BPK RI menggunakan kendaraan motor ojek daring. Jarot langsung masuk ke ruang kerja Ali Sadli di lantai 4. Setelah bertemu dengan Ali, saat akan pulang Jarot memberikan sebuah tas kertas berwarna cokelat bertuliskan "Pandanaran" yang berisi uang sebesar Rp40 juta kepada Ali Sadli dan menyampaikan "Pak, ini ada titipan", kemudian tas berisi uang tersebut disimpan oleh Ali Sadli ke dalam laci meja kerjanya.
Beberapa saat setelah Jaro keluar dari ruangan Ali Sadli, petugas KPK mengamankan Jarot dan Ali serta mengamankan tas kertas berwarna coklat yang berisi Rp40 juta. Selain itu Petugas KPK juga menemukan sejumlah uang tunai di dalam brankas yang berada di ruang kerja Rocmadi dalam sebesar Rp1,154 miliar dan 3.000 dolar AS.
"Sehingga uang Rp200 juta sudah beralih ke Rochmadi dan Rp40 juta sudah beralih ke Ali Sadli sehingga kami berkesimpulan unsur memberikan sesuatu terbukti dalam perbuatan terdakwa agar opini laporan keuangan Kemendes PDTT tahun 2016 jangan sampai tidak WTP karena Chairul Anam sebelumnya sudah menginformasikan bahwa Kemendes PDTT akan mendapat WTP," papar jaksa Asri Irwan.
Meski Rochmadi dan Ali Sadli membantah uang itu diberikan agar Kemendes PDTT mendapat opini WTP karena mekanisme sudah sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Rochmadi seharusnya sudah mengetahui hasil WTP tapi Rochmadi tidak melakukan penelitian secara mendalam demikian juga Ali tidak melakukan koreksi terhadap hasil kerja tim review yang seharusnya mempertimbangkan rekomendasi dan temuan BPK dalam pemeriksaan PDTT karena Ali Sadli mengatakan bahwa pemeriksaan PDTT akan mempengaruhi WTP yang bertentangan dengan keadaan Rochmadi yang mengatakan bahwa pemeriksaan PDTT tidak ada pengaruhnya," kata jaksa Zainal.
Atas tuntutan itu, Sugito dan Jarot akan mengajukan pledoi pada 18 Oktober 2017.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri