Menuju konten utama

Investor Diminta Hati-hati soal Risiko Gagal Bayar

Risiko gagal bayar surat utang masih membayangi sejumlah investor. Tercatat beberapa perusahaan gagal bayar ataupun peringkatnya diturunkan pada 2022.

Investor Diminta Hati-hati soal Risiko Gagal Bayar
Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (26/4/2023). Usai cuti bersama Lebaran 2023, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Rabu (26/4) dibuka menguat 60 poin (0,88 persen) ke 6.877. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Risiko gagal bayar surat utang masih membayangi sejumlah investor. Berkaca pada 2022, tercatat beberapa perusahaan gagal bayar ataupun peringkatnya diturunkan (downgrade).

PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mencatat terdapat satu emiten yang diperingkat oleh Pefindo tidak mampu memenuhi kewajibannya selama tahun 2022. Perusahaan tersebut ialah PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP).

Waskita Beton berhalangan untuk membayar kupon obligasi berkelanjutan I Tahap II Tahun 2019 yang akan jatuh tempo pada tanggal 31 Januari 2022. Hal tersebut menyusul penetapan status penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang menimpa WSBP di awal 2022.

Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas, Ramdhan Ario Maruto menilai, melimpahnya likuiditas di pasar obligasi tak menurunkan kehati-hatian investor dalam memilih portofolio investasi pada instrumen surat utang. Namun kasus gagal bayar bunga obligasi yang menimpa sejumlah emiten tetap perlu menjadi perhatian.

Dia menilai kasus gagal bayar emiten terjadi pada 2022 ini berdampak terhadap sentimen negatif bagi penerbitan green bonds PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) melalui penerbitan obligasi. Ini dikarenakan status perseroan yang juga merupakan anak usaha perusahaan pelat merah, yaitu Pertamina.

"Walaupun enggak sampai default, tapi ini mengganggu kepercayaan investor. Untuk itu memang dibutuhkan keterbukaan informasi dari regulator dan perusahaan itu sendiri,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (3/5/2023).

Selain itu,Ramdhan menjelaskan peringkat BBB- dari lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings untuk green bonds PGEO dinilai terlalu berisiko bagi investor. Pasalnya, rating BBB- merupakan tingkat kelayakan investasi paling rendah.

“Ini terlalu berisiko, makanya perseroan harus membuktikan bahwa mereka mempunyai komitmen yang baik dalam penyelesaian utang-utangnya,” tutur dia.

Dari sisi korporasi, PGEO harus menanggung tingkat bunga yang lebih tinggi pada penerbitan surat utang luar negeri perdananya, apalagi emisi hasil obligasi akan digunakan untuk membayar utang kembali alias refinancing.

"Kalau tidak punya history rilis surat utang, yang harus ditanggung memang cost of fund pasti lebih tinggi," katanya.

Sementara itu, komitmen penyelesaian utang-utang PGEO juga belum teruji di pasar sehingga pelaku pasar akan lebih berhati-hati.

"Makanya untuk emiten-emiten yang sudah rutin menerbitkan obligasi dan mempunyai catatan baik di pasar akan lebih mudah diterima investor," ujarnya.

Sebagai informasi saja, jumlah perusahaan yang gagal bayar sebenarnya sudah berkurang apabila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja, banyak pula perusahaan yang menunda kewajiban pembayarannya, sehingga rating di-downgrade.

Sepanjang 2022 ada empat perusahaan yang diturunkan peringkatnya oleh Pefindo. Pertama, perusahaan berasal dari sektor manufaktur yang gagal bayar dalam memenuhi kewajiban keuangannya akibat penetapan status PKPU yakni WSBP.

Masih dari perusahaan sektor manufaktur, namun kali ini peringkat perusahaan mengalami downgrade akibat kinerja arus kas yang menurun. Ditengarai lesunya kinerja imbas kenaikan harga bahan baku dan fleksibilitas yang terbatas dalam menaikkan harga jual, dan ada kewajiban keuangan akan jatuh tempo.

Lalu, terdapat satu perusahaan asuransi yang alami downgrade akibat kenaikan klaim dari produk asuransi kredit sehingga menyebabkan pelemahan hasil underwriting, laba bersih dan indikator permodalan.

Terakhir perusahaan kontraktor pertambangan yang mengalami downgrade. Nah, perusahaan kontraktor pertambangan ini adalah PT Ricobana Abadi, anak usaha dari PT SMR Utama Tbk (SMRU). Penurunan kinerja usaha Ricobana akibat berhentinya salah satu kontrak kerja, sementara perusahaan menghadapi kewajiban keuangan yang akan jatuh tempo.

Ricobana tidak sanggup melunasi MTN yang telah jatuh tempo pada 20 Desember 2022 senilai Rp 400 miliar, saat ini mereka sedang berdiskusi dengan pemegang MTN untuk melakukan restrukturisasi atas MTN yang jatuh tempo tersebut.

Untuk diketahui, Pefindo mencatat dari total jumlah surat utang korporasi jatuh tempo di tahun 2022 totalnya sebesar Rp157 triliun. Sementara, di tahun 2023 akan ada sekitar Rp126 triliun surat utang korporasi yang jatuh tempo.

Baca juga artikel terkait GAGAL BAYAR UTANG atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin