tirto.id - Sebagian kecil dari populasi manusia tak bisa menikmati musik. Mereka sulit mengenali perbedaan nada dari bunyi-bunyian di sekitarnya. Tone deaf, amusia, atau buta nada, adalah sebutan yang melekat pada orang-orang ini. Dilansir dari Science Daily, Harvard Medical School mencatat bahwa satu dari 20 orang di dunia menderita amusia.
Bagi para amusia (sebutan untuk orang-orang buta nada), suara musik tak ubahnya bunyi kaleng yang dipukul tak beraturan. Mereka tidak dapat membedakan atau mengikuti nada yang paling sederhana sekalipun. Studi berjudul “Impaired pitch perception and memory in congenital amusia: the deficit starts in the auditory cortex” (2013) membandingkan para amusia dengan orang-orang yang memiliki kepekaan musik normal. Hasilnya, ada perbedaan tipis pada kinerja otak kedua kelompok yang diteliti.
Dalam studi yang dimuat oleh jurnal Brain itu, Philippe Albouy dkk menggunakan citraan otak untuk mengukur kepadatan materi putih (white matter) pada otak yang terletak di antara lobus frontal kanan (lokasi pemikiran) dan lobus temporal kanan (tempat pemrosesan dasar suara). Materi putih ini terdiri dari serabut saraf yang saling terhubung.
Melalui metode tersebut, para peneliti menemukan bahwa materi putih dari para amusia lebih tipis. Temuan ini mengindikasikan koneksi yang lebih lemah jika dibandingkan mereka yang memiliki kepekaan musikal normal. Semakin parah kebutaan nada para amusia, semakin tipis pula materi putih tersebut.
Masih dilansir dari Science Daily, sikap para peneliti masih terbelah terkait buta nada dan kinerja otak. Kubu yang satu percaya bahwa ada tumpang tindih yang luar biasa antara cara otak memproses musik dengan percakapan sehari-hari yang juga melibatkan beberapa elemen ritme dan nada. Kubu yang lain percaya persepsi dan proses berpikir terhadap musik terjadi secara terpisah dari fungsi otak lainnya. Kubu ini juga yakin bahwa otak manusia memiliki kecenderungan untuk membuat pusat-pusat dan jaringan yang khusus diperuntukkan bagi musik.
Para amusia mendeskripsikan pengalaman mereka dengan nada secara berbeda. Seperti dilaporkan oleh Business Insider, memang ada sebagian amusia yang mendengar nada tak ubahnya seperti suara panci yang dipukul. Namun, ada pula yang mendengar suara dan mengasosiasikannya dengan keindahan.
Dalam sebuah tes, Marion Cousineau menemukan seorang pria dengan amusia yang sangat menyukai musik dan sering mengikuti konser musik. Cousinea adalah peneliti di laboratorium internasional untuk Riset tentang Otak, Musik dan Bunyi, Universitas Montreal, Kanada.
“Banyak orang yang datang ke lab [kami] sebelumnya pernah diberitahu bahwa mereka bahwa mereka tidak akan bisa bernyanyi seumur hidup, bahwa ada yang salah dengan mereka dan itu salah mereka,” kata Cousineau. “Tapi mereka sama sekali tak bersalah dan hal itulah yang coba kami bilang ke mereka.”
Mengapa Orang Buta Nada?
Sebuah studi empiris berjudul “Congenital Amusia: A Group Study of Adults Afflicted with a Music-Specific Disorder” (2002) mendefinisikan amusia sebagai orang dengan disabilitas pembelajaran.
Isabelle Peretz, seorang neuropsikolog kognitif yang ikut menyusun studi tersebut, mengatakan pada The Atlantic bahwa ketika kecil, para amusia belajar bernyanyi layaknya mereka belajar bicara.
Anak-anak belajar bernyanyi tanpa instruksi formal. Inilah yang tidak dialami oleh para anak-anak amusia. Oleh Peretz, gangguan ini secara resmi disebut sebagai congenital amusia.
Para pengidap amusia yang berjumlah sekitar empat persen dari populasi dunia ini biasanya tinggal dan tumbuh bersama musik. Ada pula yang sangat pintar dan memiliki pendidikan formal yang sangat baik. Pada satu kasus yang ditemukan Peretz, ada seorang pria amusia yang bahkan lancar bertutur dalam tiga bahasa asing.
Para peneliti belum menemukan terapi yang dapat menyembuhkan orang dengan amusia.
“Saat ini kami belum bisa bicara tentang remediasi, penyembuhan, atau perawatan amusia,” kata Philippe Albouy, masih dari The Atlantic.
Untungnya, sebagian besar pengidap amusia tidak merasa terlalu tertekan. Hanya saja, sebagian besar mengklaim tidak menikmati musik—bahkan menghindarinya—serta kesulitan saat mencoba menari.
Dalam studi terhadap beberapa keluarga berjudul “The Genetics of Congenital Amusia (Tone Deafness): A Family-Aggregation Study” (2007) oleh Peretz dkk, buta nada juga dikatakan genetis.
Perlu dicatat, tak bisa bernyanyi dengan nada akurat tidak melulu sama dengan buta nada.
Seperti dilaporkan oleh Scientific American, orang-orang yang menyanyi dengan fals pada dasarnya tidak bisa melakukan koordinasi yang baik antara persepsi musik mereka dengan produksi musik yang mereka lakukan. Namun mereka masih dapat mencerna not musik dalam otak dengan baik.
Menurut laporan yang dibuat oleh cognitive neuroscientist Peter Q. Pfordresher dari State University of New York dan Steven Brown dari Simon Fraser University, ada empat faktor yang dapat membuat orang bernyanyi dengan sumbang.
Pertama, persepsi musik atau pendengaran mereka yang buruk. Kedua, kontrol yang buruk pada sistem vokal mereka. Ketiga, ketidakmampuan untuk meniru. Ini terjadi ketika orang tahu nada yang mereka dengar, tahu nada yang ingin mereka hasilkan tapi tidak bisa mengombinasikan keduanya. Yang keempat, boleh jadi mereka memiliki ingatan yang buruk, lupa nada yang seharusnya mereka nyanyikan.
Jadi, bagi Anda yang masih bisa menikmati musik namun kerap diejek oleh orang-orang sekitar karena suara sumbang, janganlah berkecil hati! Anda mungkin hanya kurang berlatih.
Editor: Windu Jusuf