tirto.id - Pemerintah berencana memberikan subsidi pembelian motor listrik dengan kisaran Rp6 juta sampai dengan Rp6,5 juta. Penggunaan kendaraan berbasis listrik sendiri diklaim pemerintah akan menghemat dana untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM) dan otomatis subsidi BBM berkurang.
Terkait Hal tersebut, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang menilai langkah pemerintah tepat tetapi perlu dibarengi dengan infrastruktur yang memadai. Dia menilai saat ini infrastruktur kendaraan listrik yang belum matang.
Seperti penyediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) sesuai demand. Mengingat waktu pengisian baterai ( charging ) memerlukan waktu yang sangat lama dan belum ada standar kualitas baterai.
"Memang tepat perlu konversi dari kendaraan BBM fosil diganti kendaraan listrik dengan subsidi dari negara," katanya dalam pernyataan diterima Tirto, Jumat (2/12/2022).
"Manajemen pengolahan limbah baterai kendaraan listrik juga belum ada. Jangan sampai euphoria membeli kendaraan listrik telah terjadi secara massal namun regulasi dan mitigasi belum ada," tambahnya.
Lebih lanjut, dia menilai pemerintah saat ini masih berideologikan 'transport by vehicle oriented' bukan pada 'transport by transit oriented'. Dalam hal ini pemberian subsidi kepada pembelian/konversi kendaraan listrik bila tidak diimbangi oleh penambahan subsidi bagi pengelolaan angkutan umum massal adalah bencana bagi modal share angkutan umum.
Kendaraan pribadi akan selalu dibeli dengan murah, sementara angkutan umum akan ditinggalkan, akibatnya volume kendaraan di jalan semakin bertambah namun ruang jalan tidak bertambah, jadi semakin macet lalu lintas di jalan.
"Bila pemberian subsidi kendaraan listrik tidak diimbangi dengan subsidi yang lebih berpihak ke angkutan umum, transport demand management (TDM) dapat dipastikan gagal," jelasnya.
Lebih lanjut Deddy mengatakan bila pembeli kendaraan listrik mendapatkan subsidi oleh negara, di samping angkutan umum massal telah mendapatkan subsidi, tentunya pengguna angkutan umum harus mendapatkan insentif sehingga terdapat keseimbangan sosial. Insentif ini sebagai apresiasi atau terima kasih dari negara kepada pengguna angkutan umum karena tidak menggunakan kendaraan pribadinya setiap hari dalam perjalanannya, sehingga tidak menyebabkan kemacetan jalan.
Selain itu, pengguna angkutan massal adalah penerima resiko yang dalam keseharian dapat terjadi ketidak nyamanan. Mulai dari risiko kena copet, pelecehan seksual, penumpang sesak/penuh, tertular virus, tidak terintegrasi dengan moda lain da lainnya. Dalam konteks ini insentif bermacam-macam, semisal mendapatkan parkir di stasiun murah/gratis, sembako murah, BPJS gratis/murah, pajak / Pph murah, Pajak Bumi Bangunan (PBB) murah, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, dia mengamini bahwa industri otomotif akan diuntungkan dengan adanya subsidi kendaraan listrik. Namun sektor transportasi terancam menjadi korban karena TDM gagal total. Bila kendaraan listrik telah berganti secara masif, udara akan bertambah baik karena emisi gas kendaraan BBM berkurang tapi tetap saja macet di jalan sebab jumlah kendaraan tidak berkurang bahkan bertambah.
Kalau memang akhirnya subsidi kendaraan listrik tetap dilaksanakan, sangat diharapkan pemerintah hanya memberikan subsidi pembelian kendaraan listrik dengan skema konversi. Dari kendaraan BBM fosil yang dipunyai oleh masyarakat untuk berganti menjadi kendaraan listrik yang baru.
"Kendaraan BBM fosil yang telah dikonversikan akan menjadi milik pemerintah yang kemudian akan dimusnahkan. Sehingga volume kendaraan/STNK tetap sama jumlahnya di negara kita. Adalah salah kalau mendapatkan subsidi kendaraan listrik berbasis baterai tanpa ada konversi dari kendaraan BBM fosil yang sudah dipunyai oleh masyarakat itu sendiri," pungkasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin