tirto.id - Rencana pemerintah merevisi skema pajak penjualan barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor tak lepas dari kritik. Selain dianggap tak konsisten, kebijakan yang ditujukan untuk mengendalikan tingkat emisi gas buang itu dinilai tak tepat sasaran.
Direktur Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, instrumen fiskal yang seharusnya dipakai pemerintah untuk mengurangi emisi kendaraan bermotor adalah cukai, bukan insentif PPnBM.
Sebab, kata Yustinus, cukai adalah Pigouvian Tax (pajak untuk mengurangi eksternalitas negatif) yang karakteristiknya membatasi konsumsi barang berdampak negatif.
Beberapa negara di dunia, kata Yustinus, juga telah mengenakan cukai atas emisi karbon yang disebut double dividend--selain mendatangkan tambahan penerimaan negara, juga mendorong kelestarian lingkungan.
“Skemanya semakin rendah emisi karbon, maka cukai semakin rendah [cukai sejumlah tertentu, baik spesifik maupun ad valorem, atas karbon per gram/km], dan sebaliknya," kata Yustinus saat dihubungi reporter Tirto.
Pengenaan PPnBM sebagai instrumen insentif fiskal, kata Yustinus, justru kontradiktif karena tak sesuai dengan karakteristik dan skema PPnBM yang bertujuan menciptakan keseimbangan beban pajak antara konsumen berpenghasilan tinggi dengan yang rendah.
Soalnya, kendaraan yang harganya sangat mahal, tapi berteknologi tinggi dan rendah emisi akan kena pembebasan pajak penjualan. Sebaliknya, konsumen berpenghasilan pas-pasan dan ingin punya kendaraan murah akan terbebani pajak bila mobil atau motor yang dibeli beremisi tinggi.
Di samping itu, kata Yustinus, pemerintah juga bakal lebih ribet mengurusi masalah administrasi. Hal ini karena pengenaan PPnBM hanya dapat dilakukan sekali, yaitu saat tingkat impor atau penjualan dari pabrik.
Sebaliknya, cukai dapat dikenakan secara periodik, atau sekurang-kurangnya saat kewajiban menguji emisi dilakukan sehingga lebih menjamin pencapaian tujuan mengendalikan lingkungan.
“Tingkat emisi yang berbeda menuntut tarif yang berbeda-beda juga akan menimbulkan kerumitan tersendiri. Di situ, PPnBM punya keterbatasan karena basis pengenaannya adalah harga barang [kendaraan], bukan tingkat emisi [yang dapat berbeda-beda tingkat kandungannya]," kata Yustinus.
Anggota Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno, Drajad Wibowo, juga melontarkan kritik cukup pedas. Menurut dia, rencana mengubah skema PPnBM tersebut adalah inkonsistensi kebijakan industri pemerintah.
Skema yang bertujuan menggenjot produksi mobil ramah lingkungan itu justru membuat insentif pajak untuk mobil LCGC dicabut. Padahal sebelumnya pemerintah memberikan insentif PPnBM 0 persen untuk menggenjot produksi mobil LCGC.
Jika rencana kebijakan itu di-goal-kan, kata Drajad, entah bagaimana nasib para pengusaha industri otomotif yang sudah menggelontorkan investasinya untuk mobil LCGC.
“Kebijakan industri harus konsisten antara jangka pendek, menengah dan panjang. Karena ada sunk cost [biaya tertanam], ada investasi swasta jangka menengah dan panjang, ada pilihan teknologi apa yang dipakai,” kata dia.
LCGC memang masuk dalam kategori Kendaraan Bermotor Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41/2013 yang berlaku saat ini, mobil tipe KBH2 tidak kena PPnBM.
Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jonkie D Sugiarto menyampaikan, industri otomotif saat ini memang belum punya cetak biru pengembangan mobil ramah emisi bahkan mobil listrik.
Lantaran itu, saat PP 41/2013 tersebut dikeluarkan, banyak agen tunggal pemegang merek yang tertarik untuk berinvestasi pada produk LCGC alias mobil murah ramah lingkungan.
“Di Indonesia ini karena belum ada aturannya makannya ATPM enggak terlalu perhatian dengan hal itu. Nah, sekarang dengan ini mereka harus berlomba-lomba untuk mobil supaya emisinya rendah. Makannya pas aturan ini keluar pusing deh lu semuanya," tutur Jonkie.
Tak Boleh Gerus Penerimaan Pajak
Meski demikian, Jonkie yakin bahwa industri otomotif akan tetap menyambut baik rencana pemerintah mengubah skema PPnBM. Sebab, tren industri otomotif saat ini mengarah pada produksi kendaraan beremisi rendah.
Karena itu, ia berharap kebijakan itu akan membawa cuan lebih bagi pengusaha industri otomotif tanpa harus menggerus penerimaan negara.
“Kalau memang nanti disesuaikan PPnBM-nya, itu berarti harga mobil akan lebih murah, terjangkau dan orang jadi sanggup beli. Dan harapan kami ada kenaikan penjualan," ucapnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa rancangan peraturan soal skema baru PPnBM itu masih menunggu masukan-masukan dari pelaku industri otomotif hingga parlemen.
Sebelumnya, Sri Mulyani menyampaikan pelonggaran kebijakan itu akan mencakup tiga aspek, yakni dasar penghitungan PPnBM, reformulasi pengelompokan kendaraan penumpang, serta perluasan insentif untuk kendaraan beremisi rendah.
Dengan demikian, PPnBM tidak lagi didasarkan pada kapasitas mesin (cc), melainkan jenis konsumsi bahan bakar dan emisi. Selain itu, pemerintah juga bakal mengubah pengelompokan jenis kendaraan yang saat ini didasarkan pada kategori sedan dan nonsedan.
Sementara insentif yang semula diberikan kepada KBH2 akan diperluas dengan memasukkan kendaraan jenis hybrid, flexy engine, dan kendaraan listrik.
“Kami sedang mendengar masukan DPR, kami akan formulasikan ke PP berdasarkan masukan dewan dan masukan dari industri," ujar Sri Mulyani di Green Office Park 9, BSD, Selasa (12/3/2019).
Masukkan dari para anggota parlemen itu dianggap penting. Sebab, dalam rapat di Komisi XI DPR RI Senin lalu, muncul kekhawatiran soal hilangnya pendapatan pajak. Meskipun, kata Sri Mulyani, kepada wartawan usai rapat tersebut, kebijakan itu tak akan menggerus potensi penerimaan pajak, melainkan menambah penerimaan dari PPnBM.
"Setelah melakukan analisa, apabila kami melakukan skema kebijakan yang baru, maka penerimaan negara dari pajak PPnBM lebih tinggi dari peraturan yang baru," tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz