tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi sepanjang Mei 2019 berada di angka 0,68 persen. Angka ini lebih tinggi dari ekspektasi pemerintah sejak akhir Ramadan lalu, meski sesuai dengan rata-rata inflasi selama tiga tahun terakhir.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution misalnya memperkirakan inflasi sepanjang Mei tahun ini akan berada di kisaran 0,5-0,6 persen. Sementara Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menaksir inflasi akan berada di angka 0,51 persen.
Ekonom dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal menilai inflasi yang lebih besar dari ekspektasi itu mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi sejumlah problem yang sudah diketahui penyebabnya. Beberapa di antaranya, kata dia, yakni harga komoditas bawang putih, ayam ras, serta tarif angkutan udara.
Menurut Fithra, pemerintah terlalu menganggap enteng persoalan tersebut. Padahal, beberapa komoditas itu memang punya andil cukup besar terhadap inflasi pada bulan sebelumnya.
BPS mencatat, bawang putih dan ayam ras mengalami inflasi sebesar 0,05 persen, terbesar kedua dalam kelompok bahan makanan setelah cabai merah (0,10 persen). Kelompok bahan makan sendiri mengalami inflasi cukup tinggi, yakni 2,02 persen dengan andil sebesar 0,43 persen.
Sementara tarif angkutan udara, tercatat mengalami inflasi sebesar 0,02 persen sepanjang Mei 2019, meski tarif batas atas (TBA) maskapai penerbangan telah diturunkan. Angkutan udara sendiri masuk ke dalam sub kelompok transportasi yang mengalami inflasi sebesar 0,74 persen dengan kontribusi sebesar 0,10 persen.
"Seharusnya ini bisa diselesaikan karena sebelumnya turut membebani perekonomian di kuartal 1 tahun 2019. Ini juga menyebabkan sektor pariwisata tidak bisa tumbuh maksimal, begitu juga e-commerce dan UMKM yang membutuhkan jasa kargo," ucap Fithra.
Gubernur BI Perry Warjiyo tak menampik bahwa inflasi pada Ramadan tahun ini sedikit lebih tinggi dari perkirakan. Hal itu didasarkan pada pemantauan harga pada pekan keempat bulan lalu.
"Ingat sebelum Ramadan, berdasarkan survei pemantauan harga kami hingga pekan keempat waktu itu 0,47 persen secara bulanan (month to month/mtm), ternyata memang ada beberapa komoditas musiman yang lebih tinggi dari perkiraan," jelas Perry.
Namun, Perry meyakini ke depannya inflasi akan rendah dan terkendali karena didukung oleh tiga faktor, yakni ekspektasi inflasi yang terjaga dengan baik, pasokan barang dan jasa yang mencukupi serta koordinasi yang erat antara BI dengan pemerintah.
"Perkiraan kami mendekati 3,1 sampai 3,2 persen bahkan di akhir tahun ini," kata dia.
Waspada Perang Dagang
Keyakinan serupa juga disampaikan oleh Ekonom Bank Permata, Josua Pardede. Menurut dia, inflasi di akhir tahun masih akan sesuai dengan target yang ditetapkan dalam APBN yakin 3,5 persen. Ia mengatakan penyebabnya karena ada kecenderungan konsumsi masyarakat yang menurun usia lebaran.
Selain itu, ketersediaan pangan pada libur Natal dan tahun baru juga akan lebih terjaga lantaran didahului oleh musim panen.
"Perlu kita ingat panen raya akan terjadi Oktober-November dan bisa menekan harga lainnya. karena panen raya biasanya sebelum musim hujan," ucap Josua.
Meski begitu, Josua mengatakan pemerintah tetap harus mewaspadai potensi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar karena perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya imported inflation lantaran impor yang masih cukup tinggi pada sektor nonmigas.
"Karena itu kita berharap isu perang dagang kembali mereda, karena kalau nilai tukar rupiah melemah barang cenderung naik karena komoditas impor terlalu tinggi, pangan seperti impor dan kedelai, misalnya, cukup tinggi," imbuhnya.
Sementara itu, Kepala BPS Suhariyanto menuturkan inflasi sebesar 0,68 persen masih cukup terkendali di tengah meningkatnya permintaan selama Ramadan. Menurutnya, inflasi yang Mei tahun ini tak bisa serta-merta dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017 dan 2018.
Jika dibandingkan 2018 dan 2017, inflasi bulanan (mtm) pada Mei tentu jauh lebih besar. Namun, kata Suharyanto, hal tersebut tak bis dibandingkan secara langsung.
"Karena 2017 puasanya bulan Juni. Sehingga di tahun ini harganya menumpuk di bulan Mei. Kalau kita bicara kenaikan harga biasanya di minggu pertama Ramadan dan minggu terakhir Ramadan," kata dia.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Gilang Ramadhan