tirto.id - Uni Eropa mengingatkan keseriusan negara-negara anggota G20 untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris, termasuk Indonesia. Untuk itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan segera meratifikasi Perjanjian Paris dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21 menjadi undang-undang.
"Untuk ratifikasi, kami akan menyerahkan rancangannya kepada parlemen dan mendiskusikannya agar menjadi hukum. Secepatnya," ujar Siti Nurbaya, pada pembukaan Pekan Diplomasi Iklim di Pusat Kebudayaan Kedubes Perancis, Jakarta, Selasa (13/9/2016).
Guna menindaklanjuti ratifikasi itu, hingga kini, Siti Nurbaya menyatakan, pihaknya sudah melakukan diskusi, lobi, dan beberapa kali melaporkannya ke Komisi VII dan IV DPR RI.
Perjanjian Paris merupakan pengganti Protokol Kyoto yang memuat perjanjian pembatasan kenaikan suhu global berada di bawah 2 derajat Celcius serta berupaya membatasi kenaikan hingga 1,5 derajat Celcius. Harapannya, perjanjian ini dapat menjadi langkah awal untuk dunia yang bebas-karbon.
"Kita perlu melihat Perjanjian Paris bukan sebagai hasil melainkan sebagai awal menuju dunia yang sungguh-sungguh bebas-karbon sebagaimana yang disepakati negara-negara," tutur Duta Besar Prancis untuk Indonesia Corrine Breuz pada kesempatan yang sama, seperti dikutip dari Antara.
Perancis, tutur Breuz, sedang menyosialisasikan dan sangat mendukung upaya negara-negara berkembang dan berkekuatan ekonomi baru untuk menerapkan niatan kontribusi nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) mereka dalam implementasi Perjanjian Paris.
Pasalnya, sebagai salah satu negara anggota Uni Eropa, Perancis kini telah merampungkan prosedur internal untuk dapat meratifikasi Perjanjian Paris. Untuk itu, dalam kesempatan itu Breuz mengimbau negara-negara, khususnya Indonesia memanfaatkan momentum melalui ratifikasi dini dari Perjanjian Paris.
Ratifikasi Perjanjian Paris ini, menurut Menteri LHK, menjadi salah satu komitmen Indonesia untuk berkontribusi melawan perubahan iklim dan menurunkan temperatur global. Keseriusan Indonesia ini mendapat dukungan pula dari Uni Eropa melalui Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT).
Melalui FLEGT, Uni Eropa mempromosikan reformasi tata kelola kehutanan dan memerangi penebangan ilegal untuk mengendalikan perubahan iklim melalui pengelolaan sumber daya hutan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Sementara pada 2002, jumlah kayu Indonesia yang legal hanya 20 persen, kini lebih dari 90 persen ekspor kayu Indonesia berasal dari pabrik dan hutan yang diaudit secara independen. Kondisi itu, menurut Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend, merupakan cerminan komitmen Indonesia dalam meningkatkan tata kelola hutan dan upaya menangani perubahan iklim.
AS - Cina Sudah Meratifikasi
Sejumlah negara tampak memiliki optimisme dalam perubahan iklim melalui ratifikasi perjanjian itu menjadi hukum di negara-negara yang menyetujuinya. Sebelumnya Perjanjian Paris ini telah diratifikasi oleh 21 negara antara lain Palestina, Barbados, Belize, Fiji, Grenada, Maladewa, Kepulauan Marshall, Mauritius, Nauru, Palau, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Samoa, Somalia, Tuvalu, Seychelles, Guyana, Korea Utara, Bahama, Kamerun dan Peru.
Pada Sabtu (3/9/2016) atau sehari sebelum pelaksanaan KTT ke-11 G20, berdasarkan laporan dari Antara, Cina dan AS meratifikasi Perjanjian Paris di Hangzhou, Cina. Ratifikasi Perjanjian Paris oleh Cina dan AS itu menjadi pesan penting bagi komunitas internasional untuk mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global.
Dalam pasal 21 paragraf pertama Perjanjian Paris disebutkan, perjanjian ini baru bisa berlaku tiga puluh hari setelah setidaknya 55 negara dengan jumlah emisi gas rumah kaca kumulatif sebesar 55 persen dari emisi GRK dunia, telah menyerahkan persetujuan, penerimaan, ratifikasi mereka.
Adapun negara-negara dengan emisi gas rumah kaca yang tinggi, seperti Rusia, Uni Eropa, Jepang, dan India, juga menandatangani Perjanjian Paris, namun belum meratifikasi. Sementara itu, Indonesia menargetkan ratifikasi selesai November mendatang, sebelum pertemuan tentang perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-22 di Marrakech.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari