Menuju konten utama

Indonesia Harus Waspadai Geliat ISIS Sasar Penerbangan

Al Chaidar mengatakan aparat harus mewaspadai dan mengantisipasi kemungkinan adanya ancaman teror seperti di Sydney, Australia.

Indonesia Harus Waspadai Geliat ISIS Sasar Penerbangan
Polisi berjaga di sebuah jalan yang sudah diblokir untuk umum setelah polisi anti-terorisme Australia menangkap empat orang dalam razia Sabtu malam di beberapa pinggiran kota Sydney di Australia, Sabtu (29/7). ANTARA FOTO/REUTERS/David Gray

tirto.id - Kepolisian Australia pada Sabtu (29/7/2017) lalu berhasil membongkar rencana aksi teroris yang akan meledakkan pesawat. Menurut laporan The Australian sebagaimana dikutip telegraph.co.uk, para komplotan bermaksud membajak pesawat komersil dengan cara menggunakan bom gas.

Pengamat terorisme, Al Chaidar menilai aksi tersebut merupakan bentuk konkret para pendukung ISIS setelah adanya seruan dari pimpinan organisasi teroris internasional itu agar melakukan serangan teror di negara masing-masing.

“Ini sebuah metode baru, strategi baru yang berafiliasi kepada ISIS yang sudah mendapat perintah serangan apapun yang mereka bisa,” kata Chaidar saat dihubungi Tirto, Selasa (1/8/2017).

Chaidar menerangkan, metode teror ke bandara dan penerbangan sebenarnya bukan hal baru bagi ISIS. Pada tahun 2015, ISIS berencana mengebom bandara India dan Pakistan. Di saat yang sama, mereka berupaya meneror bandara dengan menggunakan senjata api di Indonesia. Namun, aksi di Indonesia berhasil digagalkan oleh kepolisian.

Meskipun metode teror ke bandara bukan hal baru, akan tetapi penggunaan bom gas dalam aksi teror seperti yang direncanakan teroris Australia merupakan hal baru. Sepengetahuan Al Chaidar, metode teror yang dilakukan ISIS selama ini lebih banyak mengarah pada primitive approach.

Menurut dia, penggunaan pencacah daging sebagai bom bukan hal yang mengejutkan karena teroris Indonesia telah menggunakan panci sebagai medium penyimpan. Akan tetapi, pengebom ISIS kebanyakan menggunakan alat-alat teror seperti peledak.

Pendekatan teror dengan menggunakan bom gas menandakan bahwa mereka sebagai kelompok teror yang lebih maju. Chaidar sendiri mengaku tidak habis pikir bagaimana cara mereka merakit bom gas tersebut. Selama ini, kata Chaidar, metode pembuatan bom dengan menggunakan gas belum pernah dipublikasikan kepada publik.

Sejauh yang Chaidar ketahui, pembuatan bom dengan menggunakan gas biasa sudah pernah dicoba, tetapi gas yang digunakan adalah gas rumahan. Menurut dia, karena kesulitan tersebut tidak banyak pelaku teror melakukan aksi dengan bom gas.

“Rumit dan sulit sekali dipraktikkan, bahkan ketika disebarkan model bom itu sudah 2 tahun yang lalu,” ujarnya.

Chaidar menambahkan, aksi teror yang dilakukan di Australia jelas bukan karakter ISIS Indonesia. Ia menerangkan, ISIS Indonesia umumnya menyasar kelompok marginal, kurang pendidikan, TKI atau orang-orang atau kelompok-kelompok yang kurang pengalaman, dan kurang pelatihan.

“Ini pasti ISIS yang lain, katakan yang dikoordinasikan orang yang Suriah atau orang di tempat yang lain. Menurut saya belum ada afiliasi kepada Indonesia,” kata Chaidar menjelaskan.

Namun demikian, kata Chaidar, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) harus mewaspadai kejadian tersebut. Aparat keamanan harus mengantisipasi kemungkinan aksi teror seperti di Sydney. Kepolisian harus mencegah aksi teror mengarah pada penerbangan, apalagi sampai menggunakan gas.

Di saat yang sama, kata Chaidar, petugas bandara juga harus memperketat pengamanan mereka. Mereka harus menjaga keamanan bandara dengan baik agar mampu mengantisipasi dini aksi teror serta mampu mencegahnya.

Dalam konteks ini, pemerintah telah meningkatkan kewaspadaan terkait kemungkinan serangan teroris yang menyasar objek vital transportasi, termasuk bandara dan stasiun. Ledakan bom bunuh diri yang terjadi di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada 25 Mei 2017 lalu menjadi titik awal Kementerian Perhubungan kembali meningkatkan kewaspadaan akan ancaman teror tersebut.

“Teroris sekarang sudah menyasar ke obyek-obyek vital transportasi. Karena biasanya di situ terdapat kerumunan orang. Oleh karena itu kita wajib ekstra waspada dan melakukan pengamanan ekstra ketat sesuai dengan aturan dan SOP yang berlaku,” kata Dirjen Perhubungan Udara Agus Santoso pada Mei lalu.

Obyek-obyek vital di penerbangan sesuai Undang-undang nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, antara lain adalah bandar udara, fasilitas navigasi penerbangan, pesawat udara dan lainnya. Agus menginstruksikan kepada pengelola obyek-obyek vital tersebut untuk memperketat pengamanan dengan menggunakan semua peralatan keamanan dan personil yang tersedia sesuai dengan SOP yang berlaku.

“Jangan ada toleransi terhadap siapapun dan apapun, terutama adanya gelagat yang mencurigakan, harus diperiksa dan diamankan. Fungsikan semua peralatan pengamanan. Jika ada yang rusak harus segera diperbaiki. Sedangkan personil keamanan penerbangan (aviation security) juga harus disiagakan 24 jam,” ujarnya.

Ia berharap tidak terjadi hal-hal yang membahayakan di obyek-obyek vital tersebut. Karena itu, pihaknya perlu melakukan tindakan preventif seperti peningkatan patroli gabungan, peningkatan di perimeter daerah keamanan terbatas Bandar Udara, menempatkan personil keamanan di gerbang-gerbang terluar dari obyek vital tersebut. Dengan demikian, jika ada sesuatu yang mencurigakan, bisa diamankan lebih dini sebelum memasuki obyek vital yang dipenuhi penumpang.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz