Menuju konten utama
Greenpeace:

Indonesia Harus Beralih ke Energi Baru Terbarukan

Hindun menjelaskan, penggunaan batu bara hanya terlihat murah tapi sebetulnya lebih mahal.

Indonesia Harus Beralih ke Energi Baru Terbarukan
Suasana bongkar muat Batu Bara di Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung, Lampung, Senin (10/4). ANTARA FOTO/Ardiansyah/foc/17.

tirto.id - Demi mencegah defisit stok batubara di Indonesia, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hindun Mulaika menyatakan pemerintah mesti beralih ke Energi Baru Terbarukan (EBT).

"Lebih baik diisi dengan renewable energy. Angin bisa, air bisa, geo thermal bisa. Apalagi kalau kita bicara Jawa-Bali. Karena pembangkit renewable itu skalanya tidak terlalu raksasa," kata Hindun di Kantor Greenpeace Indonesia, Senin (9/10/2017).

Dengan begitu, kata Hindun, tidak akan semakin menambah over capacity yang dihasilkan oleh pembangkit listrik yang telah ada.

"Kebutuhan listrik tahunan rata-rata dari laporan PLN hanya naik 3 persen. Sedangkan 35.000 megawatt itu untuk pertumbuhan ekonomi 7 persen. Reserve margin sebesar 30 persen dari yang beroperasi saat ini. Itu bisa untuk 30 tahun ke depan," kata Hindun.

Baca: Walhi Khawatir Indonesia Kehabisan Stok Batu Bara pada 2030

Hindun juga menjelaskan bahwa, penggunaan batu bara hanya terlihat murah tapi sebetulnya lebih mahal. Karena, pemerintah harus mengeluarkan ongkos untuk membangun pembangkit berkapasitas besar dan transmisi-transmisi di banyak tempat.

"Harga batu bara memang murah. Per Juni sekitar 92 dolar Amerika per ton. Tapi kalau dihitung dengan biaya lainnya, itu lebih mahal," jelas Hindun.

Sementara, dengan membangun pembangkit berskala kecil menggunakan EBT pemerintah hanya perlu biaya perawatan dan pengembangan SDM. Terutama, menurutnya, itu bisa menjangkau daerah-daerah terpencil.

"Kalau pembangkit berskala besar, infrastrukturnya juga butuh biaya yang besar. Sementara, yang butuh adalah remote place. Lebih baik pemerintah memakai sistem desentralisasi energi," kata Hindun.

"Secara ekonomi kalau tidak menguntungkan, tidak mungkin negara-negara maju menggunakan renewable energy dan menjadi tren," sambungnya.

Negara Bisa Merugi

Dari sisi ekonomi, Hindun juga menyatakan pemerintah bisa merugi dengan pembangunan pembangkit listrik kapasitas besar baru. Mengingat, menurutnya, setengah dari pembangkit listrik tersebut dikerjakan oleh Independent Power Producer (IPP) dengan kontrak Power Purchase Agreement (PPA).

"Rencana pemerintah untuk menyerahkan separuhnya ke swasta dan itu akan membuat pemerintah semakin terperosok ke lubang," kata Hindun.

Hal itu karena terpakai atau tidak listrik yang dihasilkan, sesuai dengan PPA, pemerintah harus tetap membayar ke IPP. Sedangkan, dalam laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) tahun 2017 kerugian PLN akibat pembayaran kapasitas dapat mencapai 3,16 miliar dolar Amerika untuk setiap gigawatt kapasitas yang terpasang tapi tidak terpakai di sistem pembangkitan Jawa-Bali.

"Berarti PLN harus mengeluarkan 16,2 miliar dolar untuk setiap kapasitas terbuang," kata Hindun.

Jumlah itu belum ditambah dengan kerugian dari sisi kesehatan. Dalam penelitian Greenpeace, kata Hindun, pemerintah berpeluang merugi sebesar Rp351 triliun untuk setiap tahun operasi PLTU Batu bara.

Sementara itu, Manajer Kampanye Urban dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Dwi Sawung pun menyatakan, saat ini hutang PLN sebesar Rp417 triliun. Termasuk piutang kepada Bank BRI sebesar Rp37 triliun dan kepada salah satu IPP, PT Java Central Power.

"Laporan tahunan 2016 utang PLN 17 triliun ke PT Java Central Power. Triwulan 2017 menjadi 19 triliun. Dikenakan bunga 18, 45 persen per tahun dalam 360 kali angsuran dengan total 7 triliun. Sejak 1 januari 2002-31 Desemberi 2031," kata Sawung.

Sedangkan, menurutnya, permintaan yang ada, tidak sebesar jumlah listrik yang tersedia. Akibatnya, PLN mengalami tekor dan pemerintah mesti menalangi.

"Hutang PLN diselamatkan oleh PMN (Penyertaan Modal Negara) pada 2016. Totalnya 54 triliun," kata Sawung.

Penyelamatan tersebut, kata Sawung, melalui tiga Peraturan Pemerintah (PP), yakni PP 17 dan PP 16 pada 25 Mei 2016 dengan dana sebesar Rp11 triliun dan Rp8 triliun; PP 33 pada 8 Agustus 2016 dengan dana sebesar Rp10 triliun; dan PP 91 di akhir tahun 2016 dengan dana Rp23 triliun.

"Itu ada yang berupa aset dari Barang Milik Negara (BMN) menjadi milik PLN. Kelihatannya itu seimbang, padahal tidak. Karena ada aset negara yang dipindahkan," kata Sawung.

Tidak hanya itu, kata Sawung, akibat yang lain adalah ditutupnya pembangkit yang murah seperti beberapa PLTA di Jawa dan Sumatera selatan.

"PLN merasa lebih baik mematikan pembangkit sendiri yang lebih murah ketimbang membayar IPP dengan percuma," kata Sawung.

Baca juga artikel terkait BATU BARA atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Ekonomi
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Alexander Haryanto