Menuju konten utama

Indonesia Butuh Corona Kelar, Bukan Aturan Hina Presiden & Pejabat

Aturan Polri soal penindakan penghinaan presiden dan pejabat dinilai kontraproduktif dari tujuan yang dibutuhkan masyarakat saat ini yakni: pandemi COVID-19 berakhir.

Indonesia Butuh Corona Kelar, Bukan Aturan Hina Presiden & Pejabat
Kapolri Jenderal Pol Idham Azis di Jakarta, Senin (24/2/2020). ANTARA FOTO/Galih Pradipta.

tirto.id - Kepolisian Republik Indonesia menerbitkan aturan penanganan pandemi virus Covid-19 (corona) melalui surat telegram ST/1098/IV/HUK.7.1/2020.

Surat tersebut akan menindak siapa saja yang menghina presiden dan pejabat pemerintah, berbunyi seperti ini: "Bentuk pelanggaran atau kejahatan serta masalah yang mungkin terjadi dalam perkembangan situasi serta opini di ruang siber: penghinaan kepada penguasa/Presiden dan pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 207 KUHP."

"Laksanakan patroli siber untuk monitoring perkembangan situasi serta opini di ruang siber," bunyi surat yang ditandatangani Kabareskrim Polri Irjen Listyo Sigit, atas nama Kapolri Jenderal Idham Aziz itu, Minggu (4/4/2020).

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS), Bambang Rukminto menilai aturan tersebut tidak tepat guna dalam kondisi wabah penyakit seperti ini, lantaran tidak mampu mempengaruhi penanganan virus sama sekali.

"Penerbitan aturan itu di tengah situasi saat ini akhirnya hanya ABS, asal bapak senang," ujarnya kepada Tirto, Selasa (7/4/2020).

Ia menyarankan agar kepolisian lebih fokus menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Bambang juga meminta Polri agar fokus terhadap para residivis yang bebas setelah mendapat kebijakan asimilasi dari Kemenkumham, supaya kejadian pencurian motor yang dilakukan residivis di Blitar pada Minggu (5/4/2020) terulang.

Hal yang tidak kalah pentingnya, menurut Bambang, Polri perlu memfokuskan terhadap bentuk pidana yang masih berhubungan dengan pandemi seperti penimbunan sembako dan alat perlindungan diri (APD).

Pihak kepolisian harus memberikan rasa aman dan nyaman pada masyarakat selama pandemi berlangsung, ketimbang merumuskan aturan yang menimbulkan polemik.

"Kalaupun ingin berkontribusi lebih terkait pandemi. Kapolri bisa menginstruksikan seluruh keluarga besar Polri membikin masker kain yang dibagikan gratis ke masyarakat. Itu tentu lebih berguna," tandasnya.

Sementara Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai aturan Polri malah membuka potensi penyalahgunaan kekuasaan dan penegakan hukum. Aturan itu pun dapat memicu pelanggaran kebebasan berpendapat.

Menurut Usman, masyarakat yang dibungkam kritik dan pendapatnya justru akan memberatkan kinerja pemerintah mengatasi Covid-19. Sebab, pemerintah akan kesulitan mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyatnya dalam kondisi genting seperti ini.

Selain itu, aturan tersebut akan berdampak pada jumlah kapasitas rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan yang kadung kelebihan kapasitas menjadi kian sesak.

"Telegram itu bertentangan dengan rencana pemerintah untuk membebaskan 30 ribu tahanan demi menekan angka penyebaran Covid-19," ujar Usman Hamid, Selasa.

Telegram Kapolri Kontraproduktif

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Defny Holidin menilai penerbitan aturan tersebut hanya membuat penanganan Covid-19 menyimpang dari tujuan paling esensial dan dibutuhkan masyarakat saat ini: pandemi COVID-19 berakhir. Sehingga, menurut Defny, aturan kepolisian mesti dicabut kembali sebab tak tepat dalam situasi darurat multidimensi.

"Kebijakan ini tidak memenuhi prinsip legalitas dalam penegakan hukum. Jika mengacu pada UU 6/2018, aspek penghinaan terhadap pejabat sama sekali bukan bagian dari hal yang diatur," ujarnya kepada Tirto, Selasa (7/4/2020).

Terlebih lagi definisi penghinaan presiden dan pejabat tidak memiliki indikator yang objektif dan terukur, sehingga akan samar dengan upaya seseorang yang hendak mengkritik.

"Jika kebijakan ini diterapkan, dampaknya kontraproduktif, menyimpangkan capaian kebijakan ini nanti dari tujuan awal garis besar kebijakan penanganan pandemi," ujarnya.

Menurutnya, aturan tersebut hanya sebagai upaya untuk mempercepat penerapan darurat sipil yang sempat disinggung Presiden Jokowi ketika merumuskan status PSBB beberapa waktu lalu.

Ia menyarankan agar kepolisian lebih giat mengedukasi masyarakat agar taat dalam menjalani pembatasan sosial, dengan memprioritaskan upaya persuasif.

"Memfasilitasi kolaborasi antar elemen masyarakat yang dengan modal sosialnya berinisiatif saling bantu mereka yang tengah kesulitan," ujarnya.

Baca juga artikel terkait PANDEMI CORONA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri