tirto.id - Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2020 bisa di bawah nol persen bila pembatasan ekonomi masih berlangsung. World Bank Country Director untuk Indonesia dan Timor-Leste, Satu Kahkonen memberi syarat agar ekonomi RI bertahan nol persen dengan tiga skenario.
Pertama estimasi kontraksi ekonomi global minus 5,2%. Kedua, pemerintah Indonesia sudah membuka perekonomian sepenuhnya mulai Agustus. Ketiga tak ada gelombang kedua COVID-19. Namun bila satu dari tiga skenario itu tak dipenuhi, kondisi ekonomi Indonesia bisa saja lebih buruk.
“Jika ketiga asumsi yang kami gunakan berubah, maka forecast juga akan berubah,” ucap Satu dalam peluncuran virtual prospek ekonomi Indonesia, Kamis (17/7/2020).
World Bank Lead Economist untuk Indonesia Federico Gil Sanders menambahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 berpotensi memburuk. Ia bilang akan terjadi minus, jika pembatasan sosial berlanjut akibat peningkatan kasus COVID-19 dan pemburukan ekonomi global.
“Ekonomi Indonesia bisa terkontraksi [minus] 2% tahun 2020,” ucap Federico dalam peluncuran virtual prospek ekonomi Indonesia, Kamis (17/7/2020).
Kekhawatiran Federico tak berlebihan. Selama pandemi ada dua kali revisi prediksi pertumbuhan ekonomi dari minus 0,4% sampai 2,3% menjadi minus 0,4% sampai 1%.
Presiden Joko Widodo bahkan meminta jajarannya menggenjot belanja pemerintah lantaran investasi tak lagi bisa diandalkan. Prediksi Kemenkeu sepanjang tahun ini investasi minus 3,4% hingga 1,1% dan konsumsi pemerintah masih positif 2,7%-3,7%. Masalahnya kontribusi belanja pemerintah cukup kecil 8,8% dari produk domestik bruto (PDB), sedangkan investasi hanya 32,3% dari PDB.
Keadaan diperburuk dengan ekspor yang diproyeksikan minus 12,8%-minus 10,2% dari porsi 18,4%. Lalu impor minus 17%-minus 13,8%, sementara ada porsi 18,9%. Sedangkan konsumsi yang jadi andalan hanya tumbuh 0,1%-1,5% dari porsi 57,9%.
Sulitnya Merealisasikan Resep Bank Dunia
Di sisi lain, dua dari tiga asumsi Bank Dunia berpotensi terjadi. Antara lain pembukaan ekonomi dan gelombang II Corona.
Ekonom Universitas Indonesia, Rizal E. Halim menyatakan Agustus, sudah di depan mata, tapi prediksi ekonomi Indonesia pulih akan sulit diwujudkan. Di sisi lain, ada anggapan dari pemerintah bahwa Agustus-September justru puncak penyebaran COVID-19 gelombang I. Per 19 Juli, ada 86.521 akumulasi kasus COVID-19 di Indonesia, melebihi angka penularan di Cina.
Menurut dia, bila Oktober-Desember 2020 kurva Corona turun, ekonomi Indonesia perlu transisi agar pulih. Tanpa gelombang COVID-19 kedua, pemulihan ekonomi paling cepat terealisasi tahun depan.
"Hal ini mengingat penyebaran COVID-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda tanda menuju puncak kurva,” ucap Rizal, Sabtu (18/7/2020) melansir Antara.
Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman sepakat. Bila terburu-buru memberikan pelonggaran aktivitas, justru bakal memicu peningkatan penyebaran Corona.
“Yang penting di kesehatan dulu. Berdasar pengalaman beberapa kejadian sebelumnya. Kalau ini beres semua akan normal lagi,” jelas Rizal kepada Tirto, Jumat (17/7/2020).
Pertumbuhan ekonomi yang minus bisa semakin tak terhindarkan sehubungan belum maksimalnya realisasi dari anggaran penanganan COVID-19 dan stimulus ekonomi. Di luar jaring pengaman sosial, realisasi anggaran cukup rendah hingga di bawah 10%, padahal diharapkan dalam 3 bulan sejak pandemi penyerapan bisa 50%.
Realisasi anggaran kesehatan per Rabu (8/7) saja baru 5,12%. Jumat (17/7) lalu stimulus UMKM saja baru terealisasi 8,3%. Belum lagi insentif pembiayaan korporasi masih nol % dan insentif usaha 6,8% pada Mei 2020.
Agar Selamat dari Tubir Resesi
Tidak hanya pertumbuhan ekonomi minus, Taufik mengkhawatirkan resesi. Prediksi Indef untuk Q2 2020 kini berada di kisaran minus 3,88%. Lalu Q3 diprediksi minus 1,8% meski berpeluang untuk positif.
Selain realisasi anggaran dan stimulus, prediksi ini sejalan dengan pelemahan yang diprediksi Kemenkeu. Selasa (16/6), Q2 sempat diprediksi hanya tumbuh minus 3,1%. Selasa (19/7) dipangkas menjadi minus 3,8%, Kamis (16/7) menjadi minus 4,3%.
Data Kemenkeu yang dipaparkan di Badan Anggaran DPR RI, Kamis (9/7) mencatat skenario terburuk Q3 2020 pertumbuhan bisa hanya minus 1%. Jika mujur, masih nol persen bahkan 1,2%.
“Ini mendorong dan mendekatkan negara kita pada resesi. Q3 masih ada peluang. Alokasi dan prioritas diperbaiki karena stimulus kan terlihat dampaknya ke Q3,” ucap Rizal.
Saat ini syarat terjadinya resesi hampir terpenuhi, karena satu dari dua kuartal telah terjadi pertumbuhan minus pada Q2. Hasil Q3 akan menentukan apakah Indonesia terjerembab ke jurang resesi atau justru bisa selamat. Semua bergantung pada upaya pemerintah Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, memastikan pemerintah akan berupaya sekuat tenaga untuk menghindari resesi. Terutama mencapai skenario pertumbuhan positif sepanjang tahun.
Ia mengakui penurunan Q2 2020 sangat tajam. Namun, pemerintah akan mengupayakan ekonomi bisa membaik di Q3 2020. Beberapa strateginya mencakup akselerasi belanja kementerian/lembaga lalu menaruh fokus pada sektor keuangan dan korporasi.
“Oleh karena itu kami berharap di Q3 kami mengejar. Beberapa data yang kami peroleh sudah menunjukkan adanya titik balik. Namun titik baliknya ini kami ingin akselerasi,” ucap Sri Mulyani, pekan lalu.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali