tirto.id - Kasus peretasan di dunia digital semakin sering terjadi di Indonesia. Terbaru, pada penghujung Februari, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim mendapat serangan peretasan dan disinformasi. Mengutip siaran pers AJI Indonesia, peretasan tersebut menyerang akun media sosial pribadi Sasmito, seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook.
Melongok ke tahun sebelumnya, kasus serupa juga terjadi usai penayangan film dokumenter End Game. Film produksi Wathcdoc itu bercerita tentang kesaksian penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan upaya pelemahan lembaga anti rasuah itu.
Sebagai rumah produksi film End Game, akun Instagram dan Twitter Watchdoc sempat diretas dan diganti emailnya sebanyak dua kali. Masih berkaitan dengan penayangan End Game, menukil dari siaran pers Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada Kamis (10/6/2021), beberapa angota Gerakan Rakyat Antikorupsi (Gertak) Pontianak, Kalimantan Barat juga mengalami upaya peretasan.
Selain itu, mereka juga diserbu banyak kiriman makanan oleh orang tak dikenal atau food bombing, data pribadinya disebarkan (doxing), hingga mengalami teror digital berupa telepon dari berbagai nomor asing.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat ada setidaknya 44 kasus pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi terjadi sepanjang 2020-2021. Menurut keterangan tertulis Komnas HAM bertanggal 17 Januari 2022, sebesar 52 persen kasus terjadi dalam ranah digital dan paling banyak berbentuk peretasan.
Di lain sisi, per 2019, akses internet di Indonesia terbukti belum merata. Menurut data Bank Dunia, sejumlah 62 persen masyarakat di atas usia 15 tahun yang tinggal di perkotaan sudah menikmati internet, sementara di pedesaan hanya mencapai 36 persen.
Melihat situasi ini, penting untuk menelisik tingkat inklusivitas internet di Indonesia dan kondisi kebebasan berekspresi di ranah digital. Pertanyaannya, apa saja akar masalah terjadinya pelanggaran kebebasan berekspresi dan bagaimana prediksi ruang digital ke depan?
Akses Internet Belum Merata dan Inklusif?
Merujuk laporan Badan Pusat Statistik (BPS) teranyar 2022, masih cukup banyak desa atau kelurahan di luar Pulau Jawa yang belum menerima sinyal internet pada telepon seluler. Di Papua misalnya, ada 938 desa yang tidak punya sinyal internet.
Kendati banyak desa belum menjangkau akses internet, angka penetrasi internet di Indonesia sudah lebih tinggi ketimbang 2021. Secara keseluruhan, mengutip laporan BPS yang sama, penerimaan sinyal 4G di desa atau kelurahan merangkak naik, dari 56 ribu menjadi 61 ribu.
Selaras, data The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2021 menunjukkan peningkatan aspek ketersediaan internet dan relevansi di Indonesia. Aspek ketersediaan di antaranya meliputi kecepatan internet dalam mengunduh atau mengunggah dokumenserta cakupan jaringan baik 2G, 3G, dan 4G di berbagai daerah. Aspek ini menjadi satu di antara empat aspek yang digunakan EIU bersama Facebook untuk menilai indeks inklusivitas internet di 120 negara.
Sayangnya, aspek lain seperti kesanggupan (affordability) dan kesiapan (readiness) tak menjukkan perbaikan. Harga telepon seluler dan paket internet di Indonesia bahkan dinilai lebih tidak terjangkau daripada rata-rata semua negara. Sementara poin-poin lain seperti keamanan dan kepercayaan pengguna terhadap platform, juga tata kelola kebijakan sebagai bagian dari aspek kesiapan, juga memburuk dibanding tahun sebelumnya.
Meski menampakkan perkembangan di dua aspek, peringkat indeks inklusivitas internet di Indonesia tidak menunjukkan kenaikan signifikan. Per 2021, Indonesia menempati urutan 66 dari 120 negara, dengan skor 67,8 dari skala 100, di mana skor 100 adalah indikator internet paling inklusif. Peringkat Indonesia ini berada di bawah negara-negara tetangga, seperti Vietnam (58), Thailand (49), dan Malaysia (42).
Rendahnya Kebebasan Berinternet
Menukil dari laporan Freedom House, indeks kebebasan berinternet di Indonesia pada 2021 berada di angka 48, melorot satu poin ketimbang tahun sebelumnya. Freedom House merupakan organisasi untuk advokasi demokrasi yang berbasis di Amerika Serikat. Penilaian Freedom House akan kebebasan berinternet ini merujuk pada sejumlah aspek, mencakup hambatan akses, pembatasan konten, dan pelanggaran terhadap hak-hak pengguna.
Freedom House menyoroti beberapa isu pada laporannya, termasuk masih banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan yang menimpa individu atau jurnalis media daring. Begitu pula kriminalisasi atau tuntutan pidana yang acapkali dihadapi masyarakat, menyusul pengungkapan kritik terhadap pemerintah dalam aktivitas daring mereka. Freedom House juga menyoroti terkait peluncuran polisi siber dalam menyuburkan praktik sensor diri.
Pada saat yang sama, hasil pemantauan SAFEnet mengungkap setidaknya 12 kasus gangguan akses internet terjadi sepanjang 2021. Kejadian tersebut banyak berlangsung di Papua dan Papua Barat, salah satunya pada 11 Desember 2021. SAFEnet menduga, penyebabnya berkaitan dengan peristiwa 8 Desember 202, kala TNI-Polri menemukan tempat kegiatan pelatihan militer dan menyisir daerah tersebut untuk melakukan penangkapan.
Mengutip laporan SAFEnet, gangguan-gangguan internet seperti itu bisa dikatakan sebagai bentuk serangan digital jika dilakukan dengan sengaja dan penanganannya dibiarkan berlarut-larut. Sebab, ketiadaan akses internet dapat merugikan masyarakat Papua dan Papua Barat secara luas.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Herlambang P. Wiratraman dalam webinar “From Throttling to Shutdown: Menyoal Pembatasan Akses Internet” yang tayang Minggu (6/12/2020) menyatakan, serangan digital terus menerus terjadi di Indonesia lantaran medium internet telah menjadi arena politik kekuasaan, di samping juga menguatnya otoritarianisme.
Padahal, merujuk pada catatan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OCHCR), pembatasan atau pemutusan akses internet lekat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Memang, hukum HAM sendiri mengizinkan pembatasan kebebasan publik asalkan memenuhi kriteria tertentu termasuk kebutuhan akan pembatasan yang bersifat proporsional dan tidak diskriminatif.
Pembatasan kebebasan berekspresi harus benar-benar "dibutuhkan" untuk alasan perlindungan keamanan nasional atau kesehatan masyarakat. Sayangnya, menurut OCHCR, pemerintah justru kerap melakukan pembatasan untuk menanggapi protes, saat periode pemilihan umum, atau bahkan tanpa alasan jelas, . Artinya, pembatasan internet atau internet shutdown dengan alasan seperti inilah yang melanggar HAM.
“Blocking, throttling, atau internet shutdown sering dihubungkan dengan [Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik] pasal 40 ayat 2. […] Sebenarnya pada saat pasal ini muncul, sebenarnya ada persoalan, [seperti] terlalu luas, terlalu umum, [dan] tidak rigid. Sangat berpotensi disalahgunakan pemerintah. Kenapa? Karena dalam praktik selalu terjadi internet shutdown tapi tidak menggunakan standar hukum sebagaimana diatur dalam aturan pembatasan,” ujar Herlambang dalam webinar yang sama.
Pasal 40 ayat 2 dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) itu mencantumkan kewenangan pemerintah untuk melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.
Prediksi Ke Depan?
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti berpendapat bahwa pemerintah melihat media sosial sebagai peluang untuk merebut ruang publik. Apalagi, di sana warganet banyak melakukan mobilisasi massa, mengkritik, hingga membuat sesuatu kasus jadi viral dan diperbincangkan. Karena itu pula, akhirnya muncul beberapa peraturan yang mencederai ruang kebebasan masyarakat sipil.
“Hari ini pemerintah menyerangnya gak kayak jaman Orba, zaman Orba ga ada [aturan] tentang penyempitan. Mereka belajar untuk memperbaiki dirinya untuk lebih keras sebenernya, Jadi penyempitan tersebut dilakukan secara terstruktur, misal dari UU ITE dan turunannya. Malah lebih berbahaya sebenernya, karena mereka pakai embel-embel hukum,” tukas Fatia kepada Tirto, Rabu (9/3/2022).
Menurut Fatia, ancaman terhadap masyarakat sipil tidak hanya bersumber dari UU, tapi diperparah dengan adanya buzzer. Dari situ, negara terkesan menihilkan campur tangan dalam kekerasan yang terjadi atau turut mematikan ruang gerak masyarakat sipil itu sendiri. Negara tengah berusaha memperlihatkan bahwa keberlangsungan konflik terjadi antar-warga, bukan antara negara dengan warga.
Ke depan, Fatia khawatir Indonesia akan menjadi negara seperti Laos atau Vietnam yang semua gerak masyarakat sipil di ruang digital dikontrol.
“Mungkin ruangnya, teknologi ini akan lebih luas untuk masyarakat sipil dapat memanfaatkan. Nah untuk mempraktikkan [manfaat teknologi] itu ya bisa aja. Tapi setelah mereka mempraktikkan itu, apa jaminan perlindungan dari negara, itu yang harus jadi pertanyaan,” ungkap Fatia.
Editor: Nuran Wibisono