tirto.id - Undang-undang Cipta Kerja diklaim pemerintah bisa menarik investor baru untuk berusaha di Indonesia dan menciptakan banyak lapangan kerja baru hingga bisa menekan angka pengangguran. Namun, mimpi Omnibus Law Cipta Kerja itu rupanya bukan tanpa risiko.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai kenyataannya tidak begitu. Salah satu pasal yang ada dalam klaster riset dan inovasi serta klaster ketenagakerjaan yang membahas mengenai paten dianggap berubah total dan melenceng dari tujuan utamanya.
Dalam UU Paten Nomor 13/2016, disebutkan pemegang paten wajib membuat produk dan menggunakan proses di Indonesia. Tujuannya, agar ada transfer teknologi penyerapan investasi dan penyediaan lapangan kerja.
"Malah yang terjadi dalam UU Cipta Kerja diubah dan disebutkan paten wajib dilaksanakan tapi ketentuan detailnya berubah dibandingkan UU yang lama. Sehingga di sini ada pilihan boleh produksi dalam negeri tapi juga kemudian boleh adanya impor. Kan bisa (ada potensi) menggunakan impor juga,” jelas dia dalam webminar, Diskusi Online Indef mengenai Apa Kabar Riset & Inovasi dalam Omnibus Law? Kamis (5/11/2020).
Bhima mengimbuhkan, dalam aturan baru paten bisa saja akan melonggarkan kewajiban pengusaha apalagi yang asing untuk lebih banyak mengimpor barang.
“Dalam pasal 20 dalam UU Cipta Kerja ini artinya akan mengubah ekosistem kita. Di satu sisi pasti banyak perusahaan asing yang happy. Tapi ketika paten tidak diproduksi di dalam negeri, yang jadi pertanyaan itu bagaimana akan ada transfer of knowledge, bagaimana ada fasilitas yang meningkat dari para peneliti atau usaha yang ada di dalam negeri. Ini yang jadi satu kelemahan di UU Ciptaker,” terang dia.
Tak hanya barang, ancaman lain seperti impor pekerja asing bisa membanjiri RI. Dalam UU Cipta Kerja Pasal 42 ayat 3 menyebut pekerja asing bisa didatangkan ke Indonesia tanpa Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).
“UU Cipta Kerja ternyata ditambahkan juga dari ekosistem ini; ada jadi pekerja asing tidak perlu RPTKA. Nah ini berdampak pada SDM peneliti yang ada di Indonesia untuk masuk ke dalam startuP. Ini pastinya sedikit demi sedikit akan digantikan oleh tenaga kerja asing. Dengan berbagai alasan padahal kita inginnya start up ini bisa kuat untuk menyerap peneliti dalam negeri, akademisi dalam negeri untuk bantu jadi konsultan atau bantu menjadi peneliti di perusahaan start up,” terang dia.
Bhima mengatakan aturan tersebut sudah terlalu liberal, sehingga akan merugikan tenaga kerja Indonesia yang bekerja dalam perusahaan start up.
“Lagipula ngapain sih startup perlu tenaga asing di Indonesia kan bisa mereka melakukan riset antar negara misalnya itu tanpa ketemu fisik modal webminar telekonferens. Jadi ngapain mengundang asing? Jadi ada banyak yang kontradiktif dalam uu ciptaker. Inginnya mewujudkan ekosistem inovasi yang lebih baik tapi terkesan banyak kepentingan investor asing,” tandas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Restu Diantina Putri