tirto.id - Hasil survei Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyimpulkan maraknya order fiktif di yang dilakukan oleh pengemudi ojek dan taksi online sudah mengkhawatirkan.
Survei tersebut melibatkan 516 mitra pengemudi Grab dan Go-Jek. INDEF menemukan bahwa 61,2 persen pengemudi mengaku ada rekannya sesama pengemudi yang melakukan order fiktif. Mitra ojek online juga tercatat menerima lebih banyak order fiktif ketimbang mitra taksi online.
“Mengkhawatirkan karena itu kan berarti lebih dari setengahnya bilang pernah [ada order fiktif]. Kami menanyakannya dalam kurun waktu seminggu terakhir berapa kali, guna menghindari recall problem. Kalau setahun lalu mungkin orang juga sudah lupa,” kata Direktur Program INDEF Berly Martawardaya di Jakarta pada Kamis (7/6/2018).
Menurut Berly, survei itu dilakukan karena maraknya order fiktif dapat merugikan konsumen, mitra pengemudi yang jujur, serta perusahaan aplikasi ojek dan taksi online. INDEF menilai kasus seperti ini juga dapat berpengaruh pada angka investasi yang masuk ke perusahaan aplikasi, serta mengurangi manfaat keekonomian transportasi online.
Berly memaparkan setidaknya empat dari lima responden survei itu mengaku pernah menerima order fiktif. Mayoritas dari mereka menerima sebanyak 2-3 kali order fiktif dalam sepekan. Sementara itu, sepertiga yang mengalami mengaku pernah menegur rekannya yang diduga menjadi pelaku order fiktif.
Dari survei yang dilakukan, sebanyak 42,05 persen mitra pengemudi mengatakan bahwa Go-Jek merupakan aplikasi yang paling sering menerima order fiktif. Sementara 28,29 persen mengatakan Grab dan 29,65 persen sisanya mengaku tidak tahu atau tidak ada.
Berly menilai manajemen Grab ternyata lebih responsif dalam menindak order fiktif ketimbang Go-Jek. Setidaknya ada 64,08 persen responden survei INDEF yang mengatakan bahwa Grab tahu dan memberi sanksi pada pelaku order fiktif. Sementara hanya 51,84 persen responden yang mengaku Go-Jek tahu serta memberi sanksi pada pelaku oder fiktif.
Berly mengatakan setidaknya ada dua motivasi yang memengaruhi mitra untuk berbuat curang. Kedua hal itu ialah motif meraup keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi dan mengganggu mitra dari perusahaan aplikasi yang berbeda.
“Kami juga baru tahu ada alasan untuk mengganggu [rival] saat di tengah jalan. Ternyata ada yang seperti ini, sehingga sempat diubah juga untuk kuesionernya,” ujar Berly.
Kendati demikian, temuan INDEF ini tidak mengungkapkan jumlah persentase dari mitra ojek online yang berbuat curang dengan mengirim order fiktif.
Menurut Berly, penelitian lembaganya terkendala oleh sikap perusahaan aplikasi yang tidak bersedia membeberkan jumlah mitranya.
“Sehingga (penelitian) ini lebih ke indikatif. Jangan lihat dari persentase-persentasenya, namun lihat bahwa ini positif dan ada. Lebih ke sana arahnya,” ujar Berly.
Survei ini dilakukan pada 16 April-16 Mei 2018 di Jakarta, Bogor, Semarang, Bandung, dan Yogyakarta. Apabila dirinci lebih lanjut, 516 responden itu terdiri dari 105 pengemudi yang berafiliasi dengan Grab Car, 112 pengemudi Grab Bike, 152 pengemudi Go-Car, dan 147 pengemudi Go-Jek.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom