Menuju konten utama

Impor Zaman Kolonial: dari Es Batu Hingga Beras

Saat Prabowo Subianto sesumbar "kita tidak akan impor apa-apa" bila terpilih jadi presiden, seolah mengingatkan kembali soal "penyakit" impor sejak era kolonial yang bertahan sampai kini.

Impor Zaman Kolonial: dari Es Batu Hingga Beras
Gedung Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) di Semarang. FOTO/KITLV

tirto.id - Etienne adalah anak dari Surleon Antoine Chaulan, seorang juru masak di Hotel de Provence di sekitar Istana Gubernur Jenderal, Batavia. Sejak 1845, ia membeli hotel ayahnya lewat lelang. Aktivitas bisnisnya menjadi catatan sejarah dalam aktivitas impor pada masa kolonial.

Sosok Etienne, disebut juga oleh Ahmad Sunjayadi dalam artikel Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda yang termuat dalam buku Titik Balik Historiografi di Indonesia (2008:35), Etienne adalah “orang yang mengusulkan sajian es bagi para tamu.” Ia menjadi pengimpor es batu untuk mendukung bisnis hotelnya. Selain menjadi pengimpor, Etienne jadi penjual es batu secara eksklusif di Hindia Belanda.

“Es memang menjadi salah satu sajian andalan Hotel de Provence setiap malam yang secara khusus disajikan di Salon des Glace diiringi permainan musik,” tulis Ahmad Sunjayadi.

Dari Java Courant (22/12/1846), Ahmad Sunjayadi mengutip: “Hari Kamis mendatang beberapa musisi akan memainkan musik di Salon de Glaces. Hotel de Provence. Berbagai macam es akan disediakan sepanjang malam.”

Entah kapan Etienne memulai bisnis impor es batu. Namun, setidaknya pada 1846 es sudah jadi sajian di hotel de Province. Saat itu, memang belum ada pabrik es, sehingga es batu menjadi barang mewah di Hindia Belanda yang ada di zona tropis.

Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia (2008:322) menyebut es-es yang datang masuk ke Indonesia dalam bentuk balok-balok es. Di mana keluarga-keluarga kaya sekitar 1869-an minum air es yang dibawa dari Boston, Amerika.

Air es pada masa lalu pernah disebut aijerbatoe (baca: air batu). Pada 1866, seperti termuat dalam iklan penjualan es batu di Bataviaasch handelsblad (25/08/1866): Lima sen per pon di kota di belakang Bank Jawad an tujuh sen (per pon).

Selain untuk sajian para penggede dan tamu hotel, es digunakan untuk berbagai keperluan. Maskapai dagang Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM), seperti dimuat dalam Verslag van het Beheer en den Staat der Nederlandsche Bezittingen en Kolonien in Oost en West en ter Kust van Guinea over 1852(1856:65) pernah diminta mengatur pembelian 600 ton es batu dari Amerika Utara. Di mana tiap 150 ton ada premi 1000 gulden, di antaranya untuk keperluan rumah sakit.

Kejayaan kegiatan impor es batu di Hindia Belanda akhirnya pudar setelah adanya pabrik es. Kegiatan impor es batu jadi contoh unik dalam sejarah soal barang yang pernah diimpor masuk ke Hindia Belanda (Indonesia).

Barang-barang impor yang masuk ke Hindia Belanda, tak hanya es batu juga barang-barang vital lainnya antara lain kereta api uap untuk jaringan rel kereta di Jawa. Barang impor yang masuk juga mencakup sepeda motor yang diimpor oleh masinis kereta tebu Pabrik Gula Oemboel bernama John C Potter,

Sedangkan impor mobil yang dimulai dari raja Surakarta, selain itu senjata-senjata api yang dipakai serdadu-serdadu KNIL juga berasal dari impor. Bahkan film-film yang ditonton para penggede di Hindia Belanda juga asal impor, dan barang-barang elektronika hingga beras berasal dari impor.

Infografik Impor beras indonesia

Impor Beras

Pada zaman kolonial, tak semua orang Indonesia makan nasi dan mampu beli beras. Ini karena ketergantungan orang-orang Indonesia kala itu terhadap beras tak seperti saat ini. Orang Indonesia tak melulu makan beras, karena ada makanan pokok lain seperti sagu, jagung, umbi-umbian dan lainnya. Beras, yang dihasilkan di Jawa, menjadi bahan makanan yang cukup mewah di masa lalu.

Di zaman kolonial, Hindia Belanda memang sempat tercatat sebagai pengekspor beras ke pasar internasional. “beras yang diekspor itu terdiri beras bermutu tinggi, sebagian dihasilkan di Indramayu (Jawa Barat) dan Lombok,” tulis P Creutzberg dalam artikelnya Pasaran harga Beras di Hindia Belanda dalam buku Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia (1987:96).

Produksi beras Jawa terkenal di masa-lalu. Beras dari Jawa mampu bersaing dengan beras Italia, beras Carolina dan beras-beras lain termasuk beras Burma karena berkualitas

Namun, beras yang dimakan kebanyakan orang Indonesia adalah beras yang harganya lebih murah. Beras-beras itu umumnya berasal dari beras impor dari negara-negara Asia, salah satunya beras Burma atau Beras Ranggon.

Creutzberg menyebutkan sejak 1860-an impor beras dimulai kecil-kecilan. Ada masa di mana, tarif cukai tak dipungut untuk komoditas beras. Namun, kini beras Burma tak dikenal lagi, orang Indonesia lebih kenal beras asal Thailand atau beras Vietnam.

Ketergantungan Pada Barang Jepang

Majunya industrialisasi Jepang mampu menghasilkan barang ekspor termasuk ke Hindia Belanda. Produk Jepang di Hindia Belanda mampu bersaing dengan barang-barang produksi Eropa.

Sejak di zaman kolonial, barang-barang buatan Jepang sudah masuk ke Indonesia. Ong Hok Ham, dalam Runtuhnya Hindia Belanda (1989:23) menyebutkan Jepang mengimpor gula dan minyak dari Hindia Belanda, dan banyak mengekspor barang-barang konsumsi dengan harga murah. Nilai impor Hindia Belanda dari Jepang antara 1918 hingga 1925 saja sudah melampau nilai ekspor ke Jepang.

“Tahun 1929 impor Jepang ke Hindia-Belanda bertambah 42 persen dibandingkan sebelumnya. Arus ekspor-impor perdagangan Hindia-Belanda dan Jepang mulai timpang pada tahun 1927,” kata Susanto Zuhdi dalam Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa (2002:108).

“Sesudah tahun 1930 Asia Tenggara dan Indonesia dibanjiri oleh barang-barang murah dari Jepang,” tulis Ong Hok Ham (1989:23).

Selain barang-barang Jepang yang masuk ke pasar, para pedagang Jepang juga masuk ke beberapa daerah di Indonesia. Mata-mata Jepang di antaranya menyamar masuk ke Indonesia sebagai pedagang sebelum 1942. Mestika Zed dalam Kepialangan, politik, dan revolusi: Palembang, 1900-1950 (2003:239) menyebut “mereka biasanya menyamar sebagai pedagang, diplomat, pengusaha, dan nelayan.”

Salah satu barang yang diimpor dari Jepang adalah permen pastilles bermerek Djintan. Namun, merek "Djintan" sempat jadi istilah pelesetan yang bisa bikin kuping panas pemerintah kolonial Belanda.

“Djenderal Japan Itoe Nanti Tolong Anak Negeri,” canda tokoh pergerakan nasional yang duduk di Dewan Rakyat, Mohamad Husni Thamrin. Singkatan lain yang beredar adalah: “Djepang Itu Nanti Taklukkan Antero Nederland.”

Ramalan Thamrin sebelum meninggal pada 1941, dalam singkatan Djintan itu jadi kenyataan pada 1942. Produk Jepang dan pasukan Jepang yang dapat dukungan jauh-jauh hari dari mata-mata sukses menggulung Hindia Belanda. Produk Jepang pun makin merajalela setelah Orde Baru berkuasa dengan kehadiran mobil dan motor, hingga barang elektroniknya.

Kenyataannya kegiatan impor memang sudah terjadi sejak lama sejak era kolonial. Namun, barangkali yang menyesakkan adalah saat Indonesia kini tak lagi perlu impor es batu karena sudah punya industrinya, tapi impor beras adalah sesuatu yang keterlaluan, karena masih jadi penyakit sampai kini padahal Indonesia mampu memproduksinya, kecuali produk-produk yang Indonesia memang tak punya keunggulan seperti gandum, dan lainnya.

Baca juga artikel terkait IMPOR atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra