Menuju konten utama

Risiko Bloatware, Aplikasi Tak Diundang dalam Ponsel Pintar

Bloatware istilah untuk aplikasi yang secara otomatis terpasang pada suatu perangkat.

Risiko Bloatware, Aplikasi Tak Diundang dalam Ponsel Pintar
Ilustrasi menghapus Bloatware. FOTO/Istock

tirto.id - Membeli dan memiliki ponsel pintar baru memang menyenangkan. Namun, yang menyebalkan bila hadirnya aplikasi tertentu dalam ponsel baru atau bloatware. Bloatware merupakan aplikasi yang terpasang secara otomatis pada suatu perangkat. Suka atau tidak, berguna atau tidak, aplikasi-aplikasi ini secara otomatis harus diterima para pengguna ponsel baru.

Namun, yang lebih menyebalkan, aplikasi bloatware termasuk yang susah dihapus. Pilihan terbaik yang didapat pengguna hanya sebatas melakukan disable saja aplikasi itu. Cara paksa menghilangkan blotware sukar dilakukan kebanyakan oleh para pengguna ponsel. Risiko ketidakstabilan sistem bisa mengancam sebuah perangkat.

Bloatware memang dilematis, karena bukan cuma soal bisa dihapus atau tidak. Secara umum, aplikasi-aplikasi yang masuk kategori bloatware, lebih jarang dipakai pemilik ponsel pintar. Pada 2014, diberitakan Venture Beat, sebuah firma analisis bernama Strategy Analytics pernah melakukan riset. Dari 250 unit Samsung Galaxy S3 dan S4, terungkap bahwa aplikasi-aplikasi bloatware di ponsel pintar tersebut seperti Chat On, S Memo, dan S Voice hanya rata-rata digunakan oleh penggunanya selama kurang dari 7 menit. Bandingkan dengan rata-rata penggunaan aplikasi macam YouTube yang mencapai angka 149 menit saat riset itu.

Baca juga:Gurihnya Bisnis Aplikasi Ponsel Pintar

Meskipun dianggap kurang bermanfaat, jumlah bloatware yang dipasang terhitung tidak sedikit. Setiap ponsel pintar dari setiap pabrikan berbeda-beda memasangkan sejumlah bloatware dalam perangkatnya. Samsung Galaxy S8, salah satu ponsel pintar terbaru di pasaran, mengusung 37 aplikasi pre-installed, istilah lain dari bloatware. Ponsel pintar lainnya, LG G6, memiliki 16 bloatware yang bermanfaat atau tidak, langsung diterima oleh pembelinya sejak pertama kali ponsel pintar baru ke tangan konsumen.

Merujuk sejarahnya, ponsel pintar bukanlah tempat pertama bloatware bersemayam. PC atau komputer pribadi, merupakan tempat awal aplikasi “tak dikehendaki” tersebut berada. Pada dekade 1990-an, American Online atau AOL bekerjasama dengan pabrikan komputer untuk mengotomatiskan keberadaan bloatware di tiap komputer yang diproduksi. Konsekuensinya, AOL mesti membayar sejumlah uang pada pabrikan komputer.

Daripengalaman itu, adanya bloatware yang bersemayam di komputer maupun ponsel pintar sulit tak terpisahkan dengan urusan uang atau bisnis aplikasi antara pengembang dan pemilik merek sebuah gawai.

Irfan Asrar, peneliti keamanan ponsel pintar dari perusahaan keamanan perangkat mobile, Appthority mengatakan pada Wired bahwa kehadiran bloatware salah satunya disebabkan karena margin keuntungan yang kecil yang diperoleh pabrikan gawai. Aplikasi atau program yang dibuat pengembang akan ditarik biaya tertentu jika sang pengembang menginginkan aplikasinya secara otomatis hadir pada perangkat baru.

“Di beberapa kasus cara ini bisa membantu mengurangi biaya perangkat,” ucap Asrar.

Patrick McDaniel dari Pennsylvania State University dalam tulisannya berjudul “Bloatware Comes to the Smartphone” mengungkap bahwa praktik menarik keuntungan dari pengembang pihak ketiga merupakan praktik umum yang dilakukan pabrikan. Cara ini pada akhirnya justru dapat pula memangkas harga jual perangkat pada konsumen.

infografik bloatware

Secara umum, pabrikan memang tak mengungkap berapa uang yang mereka peroleh atas memasangkan aplikasi pihak ketiga secara otomatis di perangkat yang mereka buat. Contoh yang hampir mirip terjadi antara Google dan Apple. Mengutip The Guardian, dalam sebuah dokumen pengadilan 2014, Google disebutkan membayar uang senilai $1 miliar kepada Apple untuk menjadikan mesin pencari milik mereka bertengger secara otomatis pada iPhone.

Di luar anggapan blotware memberikan keuntungan bagi merek ponsel, tapi tak semua bloatware memberi untung bagi pabrikan ponsel pintar. Hal demikian umumnya disebabkan blotware yang dipasang juga merupakan aplikasi buatan pabrikan sendiri. Samsung Galaxy S8 misalnya, pada perangkat tersebut bersemayam juga aplikasi-aplikasi buatan Samsung seperti Samsung Milk Music, Samsung Notes, dan Samsung Pay. Selain itu, bloatware pun dibuat oleh cukup banyak pihak selain pabrikan atau pengembang pihak ketiga.

Dalam kasus Android, bloatware juga dibuat oleh Google, sang pemilik sistem operasi. Dalam ponsel pintar berbasis Android, umum ditemukan aplikasi-aplikasi milik Google langsung terpasang otomatis. Adapun di beberapa kasus bloatware dibuat oleh distributor atau provider selular. Ini tentu membuat jumlah bloatware sangat fluktuatif.

“Bloatware berbeda dari ponsel ke ponsel dan dari operator ke operator,” ungkap Keith Nowak, yang kala itu menjadi juru bicara HTC pada Wired.

Baca Juga:Android Yang Manis

Di sisi lain, kehadiran bloatware memang dirasa menguntungkan bagi pabrikan. Namun, bagi pengguna masalah bloatware jadi persoalan apabila aplikasi yang otomatis terpasang itu tak dibutuhkan oleh pemilik ponsel pintar.

“Tidak hanya sulit dihapus, tapi juga membebani sumber daya seperti penggunaan data dan mengurangi kekuatan baterai hingga mengangkangi batas-batas privasi,” ungkap Irfan Asrar dari Appthority.

Menurut Chasan Cavusoglu dalam jurnalnya berjudul “Bloatware and Jailbreaking: How Consumer-Initiated Modification Interacts with Product Pricing” mengatakan bahwa bloatware memiliki efek yang cukup negatif bagi pengguna. Baterai cepat habis, penggunaan data internet yang tak terkontrol, pengurangan kekuatan, serta risiko keamanan mengancam melalui bloatware. Bloatware pada Samsung Galaxy S8 menguras 45 persen memori internal ponsel itu.

Baca juga:Ancaman Malware Android pada Smartphone

Bahkan dalam kasus perangkat komputer, dikutip dari How To Geek, Microsoft pernah melakukan uji atas bloatware. Hasilnya, sebanyak 7 laptop uji coba yang menggunakan Windows 7 tanpa blotware terpasang, memiliki peningkatan kecepatan hingga 40 persen, saat laptop tersebut pertama dihidupkan.

Kehadiran bloatware jadi bukti bahwa pabrikan berkuasa atas apa yang mereka ciptakan dan jual ke konsumen. Sementara itu, konsumen tak ada pilihan terhadap bloatware yang datang sebagai tamu yang tak diundang.

Baca juga artikel terkait SMARTPHONE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra