Menuju konten utama

Imparsial soal ASN Bisa Diisi TNI-Polri: Ancam Nasib Demokrasi

Imparsial menilai, upaya membolehkan TNI-Polri mengisi jabatan ASN itu akan mengancam nasib demokrasi.

Imparsial soal ASN Bisa Diisi TNI-Polri: Ancam Nasib Demokrasi
Aparatur Sipil Negara (ASN) Kabupaten Aceh Utara mengikuti apel gabungan terakhir di tahun 2018 di halaman kantor Bupati Aceh Utara, Aceh, Senin (31/12/2018). ANTARA FOTO/Rahmad/wsj.

tirto.id - Langkah pemerintah yang akan memperbolehkan TNI-Polri menjadi ASN dan mendapatkan jabatan sipil, ramai dikritik sejumlah pihak. Upaya pemerintah itu lewat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait tata kelola aparatur sipil negara (ASN) yang hampir selesai.

Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri, menilai, upaya membolehkan TNI-Polri mengisi jabatan ASN itu akan mengancam nasib demokrasi. Dia menilai pemerintah kembali melegalisasi kembalinya praktik Dwi fungsi ABRI seperti pada masa otoritarian Orde Baru.

"Jelas hal itu akan mengancam demokrasi karena melegalisasi kembalinya praktik Dwi fungsi ABRI seperti pada masa otoritarian Orde Baru," kata Gufron kepada Tirto, Jumat (15/3/2024).

Dia menjelaskan TNI merupakan alat pertahanan negara yang bertugas menghadapi ancaman perang. Sedangkan, Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) dan penegakan hukum. Dia memandang kedua lembaga itu sepatutnya dan seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan politik dan menduduki jabatan-jabatan sipil.

"(Karena) itu bukan fungsi dan kompetensinya. Dengan demikian penempatan TNI dan Polri di jabatan sipil merupakan sesuatu yang menyalahi jati diri mereka," ucap Gufron.

Lebih lanjut, Gufron menyinggung salah satu amanat reformasi yang mencabut peran TNI dan Polri dalam urusan politik, dan mengembalikan fungsi mereka menjadi militer dan aparat penegak hukum yang profesional. Sebab itu, rencana penyusunan PP itu dinilai semakin membuktikan kebijakan pemerintah saat ini sudah melenceng jauh dan telah bertolak belakang dengan semangat reformasi.

Gufron mengatakan, kehidupan demokrasi yang dicapai dan dinikmati hari ini adalah buah dari perjuangan politik berbagai kelompok pro demokrasi pada 1998. Elit politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis di pemerintahan diminta menjaga dan bahkan memajukan sistem dan dinamika politik demokrasi hari ini.

"Bukan sebaliknya malah mengabaikan sejarah dan pelan pelan ingin mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru," tutur Gufron.

Dia mengatakan penghapusan Dwi fungsi ABRI (TNI dan Polri) pada 1998 dilakukan sebagai bentuk koreksi terhadap penyimpangan fungsi dan peran ABRI yang lebih sebagai alat kekuasaan di masa otoritarian.

ASN Papua Barat

ASN di lingkungan Pemprov Papua Barat saat mengisi absensi usai mengikuti apel gabungan belum lama ini. Antaranews/Toyiban

Di sisi lain, untuk mendorong terwujudnya TNI yang profesional dan secara lebih luas lagi merupakan bagian dari agenda pembangunan demokrasi di Indonesia. Salah satu praktik Dwi fungsi ABRI yang dihapuskan adalah penempatan anggota TNI dan Polri aktif pada jabatan-jabatan sipil, baik di kementerian, lembaga negara maupun pemerintah daerah (Gubernur, Bupati, Walikota).

Tetapi, dia menjelaskan, terdapat pengecualian yakni bagi militer aktif hanya dapat menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan seperti Kementerian Pertahanan, Kemenko Polhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung (Pasal 47 ayat 2 UU TNI).

Dia menilai penting bagi elite politik untuk tidak membuka ruang dihidupkannya kembali praktik politik era otoritarian tersebut. Pasalnya, lanjut dia, sekali ruang tersebut dibuka dan apalagi dilegalisasi melalui UU maka sama saja membalikan kembali peran TNI-Polri seperti di masa otoritarianisme Orde Baru.

"Kami menilai wacana perwira militer dan kepolisian aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian dan lembaga, diragukan hal tersebut bertujuan untuk pembangunan dan penataan TNI dan Polri," kata Gufron.

Kritik senada sebelumnya disampaikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). KontraS menilai langkah pemerintah itu bentuk pembangkangan terhadap semangat reformasi.

Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian, mengatakan, langkah pemerintah itu mengangkangi supremasi hukum dan sipil.

"Tentu saja suatu pembangkangan yang sangat serius terhadap semangat reformasi," kata Rozy kepada Tirto, Rabu (13/3/2024).

Reformasi, kata Rozy menghendaki penghapusan dwifungsi ABRI. Aktor-aktor keamanan itu dikembalikan lagi ke barak khususnya militer. Begitu pun dengan polisi. Selama ini, lanjut Rozy, mereka menuntut polisi bersikap secara profesional, menjalankan tugasnya sesuai mandat konstitusi, yakni tugas keamanan.

Langkah pemerintah itu alih-alih menilik UU TNI-Polri yang menghendaki TNI maupun Polri tidak boleh menduduki jabatan sipil selama masih aktif.

Baca juga artikel terkait ASN atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Intan Umbari Prihatin