tirto.id - Peneliti Indonesia Corupption Watch (ICW) Almas Sjafrina menyayangkan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang meloloskan mantan pidana korupsi dapat dicalonkan di pemilihan legislatif pada 2019.
Almas menilai keputusan MA itu, berseberangan dengan data ICW. Catatan ICW sejak 2010 hingga 2017, 435 anggota DPR dan DPRD ditangkap karena korupsi. Sekitar 231 kepala daerah juga telah ditangkap. Data itu belum termasuk tersangka yang ditangkap di Kota Malang dan daerah lain baru-baru ini.
Bahkan dalam sebulan terakhir, dua DPRD Kota Malang dan Jambi santer di pemberitaan media sebab anggota legislatifnya diduga melakukan korupsi berjamaah. Ditambah lagi ada oknum DPRD di Lombok yang kedapatan memeras dana bantuan rehabilitasi fasilitas pendidikan pasca bencana gempa bumi.
Dengan data itu, Almas menilai reformasi perlu dilakukan di internal partai politik. Terlebih publik banyak yang tidak mengetahui bahwa calon yang akan mereka pilih pada Pemilu 2019 nanti pernah terjerat kasus.
“Karena banyak masyarakat yang tidak memiliki akses ke informasi tersebut. Selain itu kadang mereka tidak punya banyak pilihan calon yang baik,” ujar dia dalam diskusi di Gado-Gado Boplo, Jakarta, Sabtu (15/9/2018).
Korupsi Massal di Legislatif Bukan Hal Baru
Almas menjelaskan bahwa korupsi di legislatif bukan hal baru dan memiliki pola yang sama yakni ada keterlibatan kepala daerah, birokrasi, dan DPRD. Tiga sektor yang menjadi lahan korupsi paling umum ialah pembahasan APBD atau RAPBD, pembahasan proyek, dan rancangan daerah.
Ia berpendapat tiga sektor ini harus dibenahi jika Indonesia ingin bersih dari korupsi. Apabila lima sampai sepuluh tahun lagi masih sama, berarti sektor tersebut tidak ada pembenahan.
Lantaran itu, kata Almas, mencegah tindak korupsi di legislatif tidak cukup dengan penindakan oleh aparat penegak hukum tapi juga perlu reformasi dan pembenahan di tubuh partai politik. Setiap partai politik harusnya punya peran dari awal untuk menyeleksi calon, hingga monitoring dan evaluasi kader mereka yang duduk di DPRD.
Selain itu, persepsi bahwa mereka yang korupsi disebabkan biaya Pemilu mahal perlu diubah. Sebenarnya, kata Almas, penyebab mahalnya biaya politik itu karena caleg menggunakan cara ilegal atau cara yang tidak perlu dilakukan. Almas mencontohkan misalnya mahar politik, politik jual beli suara antar kandidat partai politik, lalu biaya saksi.
“Mereka perlu gunakan saksi untuk mengamankan suara di tiap TPS, semakin banyak saksi atau TPS tentu semakin mahal,” ujar Almas.
Penyebab lain adalah kampanye instan para caleg. Hal ini terjadi karena para caleg yang belum banyak melakukan kerja publik, tiba-tiba dicalonkan oleh partai politik. Maka mau tidak mau, ujar Almas, mereka harus gunakan cara instan untuk menang seperti beriklan secara massif. Belum lagi biaya survei dan dikerjai konsultan.
Andaikata sistem Pemilu diganti, kata Almas, belum tentu menjawab permasalahan jika tidak ada reformasi di internal partai politik.
Editor: Agung DH