Menuju konten utama

ICJR: Penangkapan Faisol Tak Berdasar dan Menghambat Demokrasi

ICJR menilai penangkapan Faisol Abod Batis dan penetapannya sebagai tersangka tidak berdasar serta berlebihan. 

ICJR: Penangkapan Faisol Tak Berdasar dan Menghambat Demokrasi
Ilustrasi UU ITE. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik langkah kepolisian menangkap pemilik akun instagram @reaksirakyat1, Faisol Abod Batis.

Direktur Eksekutif ICJR Anggara menilai penangkapan Faisol dan penetapannya sebagai tersangka adalah berlebihan.

“Penangkapan terhadap Faisol tidak berdasar. […] Karena apa yang dilakukan oleh Faisol adalah salah satu bentuk ekspresi yang sah yang dijamin oleh UUD 1945,” kata Anggara dalam siaran tertulisnya yang diterima tirto pada Kamis (18/7/2019).

Berdasar keterangan Mabes Polri, Faisol ditangkap pada 10 Juli lalu karena mengunggah konten berisi penghinaan terhadap Presiden RI dan Polri, materi SARA serta ujaran kebencian.

Dalam unggahannya, Faisol mengecam pemimpin negara dan mengaitkannya dengan konflik agraria di era pemerintahan Joko Widodo. Di unggahannya, dia juga menuding kepolisian gagal melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) saat aksi 21-23 Mei 2019.

Faisol ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran Pasal 45 A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 UU ITE dan/atau Pasal 16 jo Pasal 4 huruf (b) UU 40/2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis dan/atau Pasal 14 ayat 2 dan/atau Pasal 15 UU 1/1946 tentang penyebaran berita bohong dan/atau Pasal 207 KUHP dan/atau Pasal 160 KUHP tentang penghinaan ke penguasa dan mengganggu ketertiban umum.

Anggara mempertanyakan penetapan Faisol sebagai tersangka tersebut. Sebab, menurut dia, pernyataan Polri yang menyebut Faisol melakukan penghinaan terhadap presiden tidak memiliki dasar hukum.

Dia menjelaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pengujian Pasal 134, Pasal 136 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP, telah menghapus pasal yang mengkriminalisasi penghinaan ke presiden.

"MK menyatakan kriminalisasi penghinaan presiden tidak lagi relevan bagi negara demokratis, berkedaulatan rakyat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia," ujar Anggara.

Dia menambahkan, dalam pertimbangan putusan MK itu, juga dinyatakan bahwa penggunaan pasal pidana untuk mengkriminalisasi kritik terhadap badan pemerintahan harus dihindari aparat hukum.

"Sehingga apa yang dilakukan kepolisian [di kasus Faisol] tidak berdasar, dan jelas menghambat demokrasi," kata dia.

Selain itu, Anggara melanjutkan, kritik terhadap presiden tidak bisa dianggap ujaran kebencian. Dia mengingatkan tujuan awal pengaturan ujaran kebencian sebagai tindak pidana ialah menjamin pemenuhan hak asasi manusia bagi kelompok minoritas yang rentan menerima diskriminasi berbasis SARA.

“Dalam Pasal 16 UU Nomor 40 tahun 2008 pun telah dinyatakan bahwa perbuatan yang dikriminalisasi harus merupakan perbuatan menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, bukan kritik terhadap institusi negara,” kata Anggara.

Dia juga menyesalkan penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE secara berlebihan dalam kasus ini karena justru mengancam kebebasan berpendapat. Oleh karena itu, ICJR mendesak UU ITE segera direvisi.

“UU ITE semestinya diletakkan untuk melindungi kebebasan berpendapat di ruang elektronik, di mana penghormatan hak asasi manusia adalah salah satu ciri penting dari negara hukum,” kata Anggara.

Baca juga artikel terkait KASUS UU ITE atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH